http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=204316
Jumat, 30 Des 2005,
Ujian Buat Din
Inisiatif untuk membantu orang yang sedang susah, baik bagi yang
mengaku beragama ataupun tidak, tentu akan berbilang kebajikan. Kalau
inisiatif itu diamalkan, ia tentu akan berbuah pahala di akhirat dan
pujian di dunia. Namun, kali ini nasib baik tidak berpihak kepada Din
Syamsuddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah). Iktikad baiknya untuk
membantu orang susah justru dihujat sumpah serapah.
Kisah tragis itu bermula ketika Din menggelar pertemuan tokoh-tokoh
lintas agama di gedung PP Muhammadiyah, Rabu (21/12) lalu, tepat empat
hari menjelang Natal. Saat itu, salah seorang pengurus gereja
berkeluh-kesah karena kesulitan mencari tempat ibadah untuk merayakan
Natal.
Respons Din sangat manusiawi dan agamawi, "Kecuali masjid, semua
fasilitas Muhammadiyah bisa dipinjam untuk keperluan Natal." Dengan
sedikit penekanan, dia yang berwajah simpatik menambahkan, "Ini
perintah Ketua Umum Muhammadiyah kepada seluruh pengurus Muhammadiyah
di daerah." (Jawa Pos, 22/12).
Pernyataan Din itu tampaknya bukan sekadar warta, tapi titah Ketua
Umum PP Muhammadiyah. Titah itu sudah semestinya dianggap bijak,
simpatik, dan heroik. Ini kejutan baru dan termaju yang pernah
dilontarkan Din dalam merespons keadaan sosial-keagamaan kita dewasa
ini. Sebab, tahun ini, sebagaimana tahun sebelumnya, NU pun hanya
menurunkan Banser untuk mengamankan perayaan Natal.
Namun, untuk disebut terlalu maju, tentu saja tidak. 15 abad lampau,
dengan konteks yang agak berbeda, Nabi Muhammad pun telah menyediakan
masjidnya di Madinah untuk kebaktian delegasi Nasrani Najran yang
dipimpin Abu Al-Harits. Kanjeng Nabi menyediakan satu hamparan di
dalam masjid, bukan sekadar menawarkan gedung, ruang pertemuan, rumah,
barak, atau tempat-tempat "sekuler" lainnya buat digunakan sebagai
tempat kebaktian.
Namun sudahlah! Untuk Din, pernyataan itu sudah bisa dianggap maju,
meski menantang arus. Karena itu, tak heran banyak pihak yang kaget
dan ragu. Ujaran spontankah atau pernyataan serius? Bisa dimengerti,
dengan pernyataan itu, Din telah melawan arus besar konservatisme yang
selama ini melingkupinya.
Tapi, dengan mengecualikan masjid dari tawaran acara Natal, Din sudah
menunjukkan penilaian yang cermat dan penuh sadar akan kondisinya. Din
memang tak ingin membanting kendali, lalu melawan arus. Din mungkin
saja sedang bertekad membangun aliansi strategis agar tak terlalu
diombang-ambing oleh arus besar yang mengepungnya. Itu artinya, Din
memang serius dengan tawarannya.
Selain itu, titah Din juga terhitung lumrah. Ia adalah seorang
pemimpin sebuah ormas keagamaan yang selama ini dikenal moderat dan
sangat peduli terhadap masalah-masalah sosial anak bangsa. Lebih dari
itu, Din adalah Ketua IComRP (Indonesian Commission on Religion and
Peace), salah satu wadah komunitas lintasagama di Indonesia.
Kepedulian atas nasib para penganut agama menjadi salah satu titik
perhatian IComRP. Ketika beberapa waktu lalu tersiar kabar penutupan
rumah tinggal yang terpaksa dijadikan gereja dengan cara kekerasan,
Din termasuk orang yang menentang. Ketika tuntutan pengusiran atas JIL
menguat, Din ikut menolak sembari berkomentar bijak: "Janganlah dalam
kehidupan masyarakat yang plural ini, kita saling usir-mengusir. Kita
harus membangun kehidupan bersama yang santun, dialog terbuka, dan
betul-betul menerapkan toleransi yang riil."
Tragisnya, iktikad baik Din justru mendapat penolakan dan hujatan dari
dalam dan luar lingkungan Muhammadiyah. Titah Din, dibantah
mentah-mentah oleh bawahan, rekan, dan sejawatnya. Mereka seakan-akan
tak sudi bila Din berbagi empati dan solidaritas dengan pihak lain.
Malang bagi Din, ia tak punya kharisma sekuat Syafi'i Ma'arif,
pendahulunya di Muhammadiyah, atau Gus Dur, punggawa NU, yang titahnya
tak bisa sekonyong-konyong ditampik lingkungan internalnya.
Yang disayangkan, menghadapi derasnya penolakan dan hujatan, iktikad
Din bukan hanya surut, tapi juga tampak kedodoran. Dia seolah menyerah
kalah. Padahal, kalau dia benar-benar sadar kalau titahnya akan
menebar benih-benih kebajikan dan toleransi, tentu dia tak perlu mudah
menyerah.
Karena itu, komitmen Din yang surut absah juga dipertanyakan. Mengapa
dia begitu gampang mundur, padahal membangun lembaga keagamaan yang
otoritatif, independen, dan moderat, pastilah diperlukan komitmen dan
perjuangan yang sungguh-sungguh. Di tengah derasnya arus terorisme dan
radikalisme agama, komitmen Din yang sempat menyejukkan hati itu,
tentu harus terus-menerus didorong, meski ia tak akan pernah lepas
dari ujian. Semoga Din selalu kuat! [Mohamad Guntur Romli]
Dedicated to boosting research and scholarship on the Muhammadiyah and strengthening this movement
No comments:
Post a Comment