Republika, 13 Oktober 2005
Salafisme Wasathiyyah
Azyumardi Azra
Berbicara dan berdialog dalam Pengajian Ramadhan Pimpinan Pusat Muhammadiyah 1426 H di kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pekan lalu (9/10), saya menemukan banyak hal menarik. Di antara kesan itu, yang pasti, ada kegelisahan, kekhawatiran, dan kecemasan di antara para peserta pengajian yang merupakan kalangan pimpinan Muhammadiyah pada tingkat nasional, wilayah/provinsi (PWM), dan organisasi otonom (ortom).
Sebagian kegelisahan dan kekhawatiran itu tidaklah baru; sudah lama menjadi wacana dan perdebatan di lingkungan Muhammadiyah sendiri, dan juga menjadi sorotan kalangan pengamat luar. Sebagian kegelisahan itu agaknya sudah ada sepanjang usia Muhammadiyah, yang kini berumur hampir satu abad, sejak masa kelahirannya pada 1912. Dan, Muktamar Muhammadiyah ke-45 yang baru usai tiga bulan lalu (3-8 Juli 2005), tampaknya belum mampu menepis kegundahan dan kekhawatiran itu, sehingga menjadi semacam burning issues di lingkungan pimpinan Muhammadiyah dalam berbagai tingkatannya.
Ada macam-macam kekhawatiran yang terungkap dari jamaah; mulai dari gejala memudarnya ideologi dan identitas Muhammadiyah, adanya fenomena radikalisme yang menyeret-nyeret kalangan anak muda Muhammadiyah sampai pada kecemasan bahwa Muhammadiyah hanya akan menjadi penonton di tengah perubahan yang begitu cepat pada tingkat nasional maupun global.
Diundang berbicara sebagai outsider, saya melihat perlunya perumusan kembali 'ideologi' --atau identitas paham keagamaan--Muhammadiyah, jika organisasi ini tetap ingin relevan di tengah berbagai perubahan zaman. Dari sudut sejarah pemikiran Islam, bagi saya 'ideologi' Muhammadiyah bercorak Salafiyah (Salafisme), yang pada intinya adalah kembali kepada Islam yang murni, yang belum tercemar --baik oleh tradisi budaya lokal ataupun oleh wacana doktrinal tertentu--yang ada pada masa Nabi Muhammad SAW dan para Sahabatnya, yang biasa juga disebut kaum Salaf.
Tetapi jelas, wacana dan gerakan Salafiyah jauh daripada tunggal dan monolitik. Hal ini bisa disimak dari pemikiran dan gerakan tokoh-tokoh yang biasa diasosiasikan sebagai pencetus dan perumus Salafisme, mulai dari Ibn Taymiyyah (1263-1328), Muhammad ibn Abd al-Wahhab (1703-1787), dan Muhammad Abduh (1849-1905). Pendekatan masing-masing pun berbeda dalam upaya mengajak kaum Muslim untuk kembali kepada Islam Salafi; Ibn Taymiyyah cenderung polemisis, Muhammad ibn Abd al-Wahhab suka memakai cara-cara kekerasan, dan Abduh senang dengan pendekatan rasional.
Lalu saya ditanya: Muhammadiyah ikut aliran Salafiyyah yang mana? Apa ikut orang-orang yang belakangan ini menyebut diri sendiri Salafi, yang berpakaian --yang katanya-- seperti pakaian Nabi Muhammad, makan dengan cara --yang konon-- seperti cara Nabi bersantap, dan seterusnya; mereka adalah orang-orang Salafi yang 'kembali' kepada zaman Nabi dan para Sahabatnya secara sangat simbolis dan harfiah.
Hemat saya, Salafisme Muhammadiyah jauh --dan seyogianya jauh-- dari model Salafiyah literal semacam itu. Salafisme Muhammadiyah sebenarnya telah memiliki distingsinya sendiri, yang tidak lagi persis model Ibn Taymiyyah atau Abduh, apalagi Abd al-Wahhab. Realitas historis dan sosio-religius Islam di nusantara pada gilirannya mempengaruhi corak Salafisme Muhammadiyah. Salafisme Muhammadiyah dalam istilah saya sendiri adalah "Salafisme Wasathiyyah", Salafisme yang berada di tengah-tengah, Salafisme moderat.
Salafisme Wasathiyyah jelas berbeda dengan Salafisme Wahhabi, yang tidak hanya literal pada tingkat doktrin, tetapi juga radikal dalam praksis dan aksi. Sejarah Islam di Indonesia membuktikan, Salafisme Wahhabi yang radikal tidak pernah bisa menanamkan akarnya dan, bahkan istilah 'Wahhabisme' menjadi semacam anathema bagi kaum Muslimin di kawasan ini.
Salafisme Washatiyyah ala Muhammadiyah jelas --dan seharusnya-- berkembang tidak literal. Dalam perspektif saya, literalisme bahkan tidak cocok dengan salah satu prinsip dasar Muhammadiyah, yaitu pengembangan ijtihad. Secara sederhana, ijtihad berarti mengerahkan segenap daya pikiran dan kekuatan intelektual untuk menghasilkan rumusan-rumusan 'baru' dalam berbagai bidang kehidupan; jelas tidak terbatas pada bidang fikih, tetapi juga dalam bidang sosial, budaya, pendidikan, politik, teknologi, seni, dan seterusnya.
Jika Muhammadiyah ingin tidak hanya menjadi 'penonton' di tengah perubahan yang begitu cepat dan far-reaching sekarang ini, maka revitalisasi ijtihad merupakan agenda mendesak. Tetapi jelas pula, revitalisasi ijtihad sangat tergantung pada Muhammadiyah sendiri untuk dapat memberikan ruang gerak kepada imajinasi, wacana, dan praksis kreatif kepada jamaahnya. Sikap reaksioner yang berlebihan hanyalah akan membelenggu; dan pada gilirannya ijtihad sulit teraktualisasikan.
No comments:
Post a Comment