http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/02/Bentara/1592653.htm
Kompas, Rabu, 02 Maret 2005
Sukidi
ARTIKEL ini menganalisis pemikiran keagamaan tiga intelektual Iran: Sayyid Jamâl al-Dîn al-Afghânî (1838-1897), Ali Sharî’ati (1933-1977), dan Hashem Aghajari (1955-sekarang). Ketiganya dinilai sebagai Muslim Luther atas apresiasi mereka yang tinggi terhadap Martin Luther dan Reformasi Protestan abad ke-16 di Eropa dan seruan mereka atas Protestanisme Islam di Iran. Namun, artikel ini tak bermaksud membandingkan dua reformasi keagamaan di Eropa dan Iran. Ia lebih menganalisis pengembaraan gagasan Protestanisme Islam dari Afghânî, Sharî’ati, ke Aghajari.
Traveling theory Edward Said (1984) dipakai untuk menganalisis gerak sejarah-dinamis gagasan Protestanisme Islam "dari orang ke orang, situasi ke situasi, dan dari satu periode ke periode lain". Seperti halnya Traveling Theory mengalami revisi ulang, gagasan Protestanisme Islam mengalami modifikasi, penafsiran ulang, dan penyegaran kembali setelah terjadi pengembaraan sebagai tanggapan atas tantangan berbeda-beda.
Afghânî: awal Muslim Luther Iran
Afghânî lahir pada tahun 1838 di Desa Asadabad, dekat Kota Hamadan, Iran, memiliki nama asli Sayyid Jamâl al-Dîn Asadâbâdî. Nama Afghânî hanya dipakai tahun 1869 untuk memikat dan memengaruhi lebih luas kalangan Muslim Sunni. Di dunia Islam, nama Sayyid diindikasikan punya garis keturunan ke Nabi Muhammad. Ayahnya, Sayyid Safdar, memang berasal dari kalangan terhormat Sayyids Shi’ah dan memiliki kedekatan dengan 12 imam Shi’ah, terutama Shaikh Murtazâ Ansârî. Dari ayahnya, ia belajar bahasa Arab, Al Quran, dan fikih, di samping menempuh pendidikan Shi’ah di Qazvin, Teheran.
Masa pembentukan awal di lingkungan Shi’ah membuat Afghânî tertarik pada filsafat Islam, terutama dalam tradisi Ibn Sînâ. Baginya, filsafat Islam adalah jalan menuju rasionalitas dan instrumen pengetahuan untuk mengubah masyarakat dari situasi kejumudan menuju kemajuan. Ia tegaskan "(Filsafat) adalah penyebab pertama aktivitas intelektual manusia... dan argumen terbesar untuk mentransformasi suku bangsa dan masyarakat dari keadaan nomadisme dan kekejaman menuju kebudayaan dan peradaban".
Melalui sentuhan filsafat, Islam dan akal atau ilmu pengetahuan modern bisa berjalan seiring. Tahun 1883, ia menulis artikel Answer to Renan di Journal des Débats (18 Mei 1883) sebagai respons kritis atas pidato Ernest Renan, Islam and Science, di Sorbonne dan publikasinya di Journal des Débats (29 Maret 1883). Afghânî menolak dua hal. Pertama, prasangka negatif Renan bahwa Islam bermusuhan dengan ilmu pengetahuan. Kedua, asumsi rasialis Renan bahwa orang Arab bermusuhan dengan filsafat dan ilmu pengetahuan. Faktanya, ia berargumen, "seseorang tak dapat membantah bahwa melalui (pendidikan) agama-entah itu Muslim, Kristen, entah penganut Pagan-semua bangsa telah bangkit dari barbarisme bergerak menuju peradaban lebih maju.... Di sini saya memohon kepada Tuan Renan tidak memandang agama orang Muslim (Islam) sebagai penyebabnya, tetapi lebih karena ratusan juta manusia yang hidup dalam barbarisme dan ketidaktahuan". Afghânî menilai Islam dan Muslim sebagai dua entitas yang evolutif dan, karenanya, bergerak dari barbarisme menuju peradaban. Inilah yang dapat dilihat melalui kejayaan zaman keemasan Islam klasik: bercirikan peradaban modern, pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, kuatnya militer, dan kemakmuran ekonomi.
Itu sebabnya Afghânî menangkis asumsi rasialis Renan: "tak seorang pun dapat membantah bahwa orang Arab, selagi masih dalam kondisi barbarisme, segera berproses menuju tahap intelektual dan kemajuan ilmiah dengan kecepatan yang hanya disejajarkan dengan kecepatan daerah-daerah taklukannya. Hanya dalam tempo satu abad, orang Arab merebut dan mengasimilasi hampir semua ilmu pengetahuan orang Yunani dan Persia yang berkembang lambat-laun selama berabad-abad di tanah asalnya, seperti halnya mereka memperluas dominasi wilayah kekuasaannya dari jazirah Arab, pegunungan Himalaya, sampai ke puncak Pyrene".
Di samping pengaruh filsafat Islam, keyakinan Afghânî terhadap akal juga dipengaruhi penulisan sejarah Francois Guizot (1787-1874). Guizot dikenal sebagai sejarawan Perancis, negarawan dan keturunan keluarga Protestan, yang menyampaikan pidato sejarah peradaban Eropa abad ke-19. Keyakinannya pada akal dan solidaritas sosial sebagai sumber kemajuan Barat menginspirasi Afghânî menafsirkan kembali Islam sebagai keyakinan terhadap akal, kemajuan, dan peradaban ketimbang sejumlah doktrin keagamaan yang dogmatis. Inilah kesimpulan penting Hourani (2002: 114): "Ide Peradaban adalah salah satu yang berpengaruh di Eropa abad ke-19 dan melalui Afghânî, ide itu sampai di dunia Islam. Ide itu disampaikan oleh Guizot dalam pidatonya tentang sejarah peradaban di Eropa. Afghânî telah membaca Guizot dan terpesona olehnya. Karya itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab tahun 1877 dan Afghânî mengilhami muridnya, ’Abduh, menulis artikel sebagai sambutan atas terjemahan sekaligus penjelasan rinci tentang doktrin buku tersebut."
Menurutnya, seruan menafsirkan kembali Al Quran yang selaras dengan akal, kemajuan, dan peradaban dapat mengantar pada reformasi Islam model Protestan. Afghânî benar-benar dipengaruhi Guizot yang melihat Reformasi Protestan sebagai faktor menentukan yang mengantar Eropa ke kemajuan dan peradaban modern. Afghânî mengakui: "tak terbantahkan bahwa Guizot... berkata sebagai berikut: salah satu penyebab utama kemajuan peradaban Barat adalah munculnya kelompok yang mengatakan, ’meskipun agama kita Kristen, kita mencari pembuktian atas hal-hal mendasar dalam keyakinan kita’. Para Imam tidak memberi izin dan mereka berkata agama (Kristen) disandarkan pada imitasi. Ketika sebuah kelompok di atas menjadi kuat, gagasan mereka pun menyebar; rasio membebaskan diri dari belenggu kebodohan dan kemajalan (berpikir) menuju pergerakan dan kemajuan; dan orang-orang berikhtiar meraih berkah peradaban".
Mirip para imam dalam Kristen, Afghânî yakin ulama konservatif menjadi penyebab jatuhnya peradaban Islam selama berabad-abad. Hak memeluk Islam dengan penalaran demonstratif tidak lagi diperkenankan otoritas ulama karena pintu ijtihad dinyatakan tertutup. Pilihan antara mengikuti otoritas keagamaan atau akal pikiran benar-benar berada dalam gugatannya. Terinspriasi oleh Luther, yang secara terbuka menggugat otoritas imam dalam Gereja, Afghânî mulai menggugat konservatisme ulama. Baginya, reformasi dan kemajuan Islam tak akan pernah terwujud jika ulama tetap memelihara pandangan keislaman yang konservatif. Ia pun berjuang mendobrak konservatisme Islam, stagnasi keagamaan (jumud), dan imitasi buta (taklid), yang ia nilai sebagai musuh Islam yang benar. Afghânî lebih mengimani Islam sebagai agama yang selaras dengan akal, kemajuan, dan peradaban yang dapat mengantar pada terwujudnya reformasi Islam model Protestan. ’Abd al-Qâdir al-Maghribî, yang mencatat perbincangan Afghânî’ dengan sejumlah murid dan koleganya di Istanbul, Turki (1892-1897), bertanya kepadanya tentang metode yang tepat mencapai kemajuan modern-Barat. Afghânî menjawabnya: "Ini harus melalui gerakan (reformasi) keagamaan... jika kita mempertimbangkan argumen di balik transformasi kondisi Eropa dari barbarisme menuju peradaban, kita melihat bahwasanya hal itu semata-mata dipicu gerakan keagamaan yang dipelopori dan disebarkan oleh (Martin) Luther. Manusia hebat ini-ketika dia melihat bahwasanya orang Eropa mengalami kemerosotan dan kehilangan vitalitas akibat periode lama yang mereka persembahkan kepada pemimpin gereja dan imitasi keagamaan, bukan disandarkan pada penalaran akal yang jelas-memulai gerakan keagamaan (Reformasi Protestan).... Dia (Luther) mengingatkan orang Eropa bahwasanya mereka dilahirkan dalam keadaan bebas dan mengapa mereka menyerahkan diri kepada para tiran.
Karena itu, Afghânî menganggap Luther sebagai pahlawan besar. Dia sering memandang diri sebagai sang Muslim Luther Iran yang terinspirasi Reformasi Protestan sebagai titik tolak reformasi Islam di Iran. Ia lalu berargumen bahwa buah Reformasi Protestan dan kompetisi dinamisnya dengan Katolik telah membawa Eropa menuju reformasi dan kemajuan. Baginya, kemajuan dan reformasi Islam tak mungkin terwujud jika orang Islam tak memetik hikmah dari Reformasi Protestan. Karenanya, Afghânî berargumen Islam memang butuh seorang Luther untuk mewujudkan reformasi Islam model Protestan. Prinsip dasar pun ia jabarkan: (1) mirip seruan Luther untuk kembali kepada Bibel, reformasi Islam model Afghânî juga berupa seruan untuk kembali pada Al Quran sebagai kitab suci progresif; dan (2) seruan membuka kembali pintu ijtihad untuk menemukan kembali spirit Al Quran yang selaras dengan akal, kemajuan, dan peradaban. Baginya, Al Quran dengan sendirinya rasional dan progresif jika ditafsirkan secara rasional dan progresif. Dan, penafsiran Al Quran yang tepat, demikian Afghânî menambahkan, haruslah bercorak rasional, progresif, filosofis, dan ilmiah sebagai pembacaan alternatif terhadap penafsiran Islam yang statis dan fatalistik di kalangan ulama konservatif.
Ali Sharî'ati: inteligensia progresif dan seruan Protestanisme Islam
Sharî'ati, lahir 3 Desember 1933 di Mazinan, dekat Mashhad, Iran. Dia menempuh pendidikan dasar di Mashhad dan bergelar sarjana dalam bahasa Arab dan Perancis tahun 1958. Ia memenangi beasiswa pemerintah (1959) melanjutkan doktornya pada sosiologi dan sejarah Islam di Sorbonne, Paris. Ia belajar dengan sejumlah orientalis dan marxis: Massignon, Sartre, dan Fanon. Ia terjemahkan What is Poetry? (Sartre), Guerrilla Warfare (Guevara), dan adikarya Fanon, The Wretched of the Earth. Tahun 1963, dia menyelesaikan disertasi tentang Fadâ’il al-Balkh (Les Merites de Balkh). Setiba di Iran, ia langsung ditahan dan dijebloskan enam bulan di penjara atas sangkaan aktivitas politik antipemerintahan Shah di Paris.
Setelah bebas, Sharî'ati pulang kampung di Khurasan dan mengajar di sekolah tingkat atas serta Universitas Mashhad. Reputasinya sebagai dosen segera tersiar luas ketika pindah ke Teheran (1969) dan mulai reguler menyampaikan kuliah umum di Husayniah Irshâd, pusat keislaman progresif prarevolusi Iran. Ia dikenal sebagai orator ulung dan berseru menyatukan kekuatan melawan rezim Shah. Akibat ketakutan berlebihan atas pengaruh politiknya, rezim Iran kembali menjebloskannya ke penjara 18 bulan. Sejarawan Iran, Abrahamian, berargumen ulama dan intelektual konservatif memainkan peran tersembunyi di balik pemberhentian pidatonya karena rezim Iran menyewa intelektual bayaran menuduh Sharî'ati sebagai biang keladi propaganda antiulama dan penganjur marxisme Islam. Fatwa pun dikeluarkan untuk mendiskreditkan reputasi intelektualnya. Para pengikut fanatiknya dilarang menghadiri pidato Sharî'ati atau sekadar membaca bukunya (Rahmena, 1998: 275).
Tekanan publik dan protes internasional berhasil memaksa rezim Shah membebaskannya dari penjara meski tetap dalam tahanan rumah dua tahun (1975-1977) sampai akhirnya ia pergi ke London dan meninggal secara misterius pada 19 Juni 1977. Meski meninggal sebelum revolusi Iran (1978-1979), ia dijuluki sebagai ideolog revolusi. Selama revolusi berlangsung, kebanyakan demonstran di jalan-jalan mengibarkan dua gambar intelektual Iran: Ayatollâh Khomeini dan Ali Sharî’ati. Pidato Sharî’ati pun ditranskrip ke dalam lebih dari 50 pamflet dan buku kecil. Rekaman pidato dan slogan populernya direkam dan disebarkan di Iran dan luar.
Mengikuti seruan Afghânî untuk kembali pada Al Quran, Sharî'ati juga berseru pentingnya kembali pada "Islam yang benar" yang selama ini disalahtafsirkan ulama konservatif sebagai agama statis dan membisu. Ia menyalahkan ulama konservatif karena (1) tidak melanjutkan proyek reformasi Islam yang dirintis Afghânî dan (2) menghamba dalam kepemimpinan politik Shah yang tugasnya memberikan stempel politik-keagamaan demi kelanggengan status quo. Atas dasar itu, ia pertama-tama melakukan distingsi yang ketat antara "Islam yang dipeluk rakyat tertindas" dengan "Islam yang dipeluk ulama konservatif dan penguasa". Ia tegaskan: "Tidaklah cukup sekadar berseru bahwa kita harus kembali kepada Islam. Kita harus merujuk secara spesifik Islam yang mana: Islam Marwan penguasa atau Islam Abu Zarr. Keduanya dipanggil Islam, tetapi terdapat perbedaan tajam antara keduanya. Satunya adalah Islam kekhalifahan, istana, dan penguasa; sementara satunya lagi adalah Islam rakyat, tertindas, dan jelata. Lebih dari itu, tak cukup berkata bahwa seseorang sebaiknya peduli pada orang miskin jelata. Para penguasa yang korup pun berkata serupa. "Islam yang benar" lebih dari sekadar kepedulian dengan menginstruksikan umat untuk berjuang demi keadilan, persamaan, dan pengentasan orang dari kemiskinan (Sharî'ati, Islamology, Lesson 3; Abrahamian, 1982).
Seruan kembali pada "Islam yang benar", menurutnya, harus dinakhodai dan disebarluaskan oleh inteligensia progresif (rûshanfekrân) yang kritis terhadap otoritas keagamaan dan rezim korup. Sharî’ati menganggap rûshanfekrân sebagai pendukung gagasan Protestanisme Islam yang revolusioner. Ia pun terbuka memuji Afghânî bersama ’Abduh (Mesir, 1849-1905) dan Iqbal (India, 1877-1938) sebagai inteligensia progresif yang menyelaraskan reformasi Islam dengan rasionalitas, ilmu pengetahuan, dan peradaban modern Eropa. Harapannya pada inteligensia progresif adalah dapat memainkan peran keagamaan serupa seperti diperankan Luther dan Calvin dalam rangka mentransformasikan roda kepemimpinan dari otoritas ulama konservatif ke pundak inteligensia progresif. Dalam Mission of a Free Thinker, ia tegaskan: "Apa yang sesungguhnya penting buat kita saat ini adalah etos kerja Luther dan Calvin karena mereka mentransformasikan etika Katolik- yang telah memenjarakan Eropa dalam tradisi selama berabad-abad-ke arah gerak dinamis dan kekuatan kreatif. Misalnya, Max Weber mendiskusikan hubungan antara kapitalisme dan etika Protestan. Weber berargumen negara-negara yang dominan Katolik, seperti Spanyol, Perancis, dan Italia, kurang progresif dibandingkan dengan Inggris, Jerman, dan Amerika yang dominan Protestan. Karena itu, Weber berargumen terdapat keterkaitan langsung antara etika Protestan dan kapitalisme."
Dalam pidatonya di Universitas Teknik Teheran, November 1971, Sharî’ati mulai terbuka menyerukan pentingnya Protestanisme Islam: "Seperti halnya Kristen Protestan abad pertengahan, inteligensia progresif sebaiknya mulai (reformasi Islam) dengan Protestanisme Islam yang: (1) menghancurkan faktor degeneratif yang, atas nama Islam, telah melumpuhkan proses berpikir dan nasib masyarakat dan (2) memberi sumbangsih bagi pemikiran dan pergerakan baru." Seruan Protestanisme Islam telah menjadi pernyataan terbuka dan lebih jelas ketimbang apa yang dirintis Afghânî. Dengan Protestanisme Islam, inteligensia progresif dapat: (1) menjembatani meningkatnya kesenjangan antara elite-intelektual dan massa; (2) menyelamatkan masyarakat Iran dari intervensi politik-keagamaan destruktif yang dipraktikkan rezim Shah dan ulama konservatif; (3) berjuang melawan takhayul, taklid, dan kepatuhan buta yang menjadi penanda utama Islam populer; dan (4) mempromosikan spirit nalar berpikir rasional dan independen yang dapat mentransformasikan masyarakat Iran ke arah tipikal manusia rasional, independen, dan revolusioner.
Hashem Aghajari: Muadzin Protestanisme Islam
Aghajari, berusia 49 tahun, terkenal sebagai jurnalis, dosen sejarah Universitas Hamedan, dan aktivis sosial sayap reformis di Islamic Revolution’s Mujâhidîn Organization (IRMO). Ia tiba-tiba jadi selebriti intelektual setelah berpidato terbuka: Seruan atas Protestanisme Islam (Juni 2002) sebagai kado peringatan 25 tahun wafatnya Sharî’ati. Ia dikenal pendukung setia Sharî’ati dan penerjemah gagasannya. "Sekarang ini," demikian pidatonya, "Kita butuh Protestanisme Islam yang telah diperjuangkan Sharî'ati." Ia "meminjam secara kreatif" gagasan Protestanisme Islam Sharî’ati untuk melancarkan kritiknya terhadap kaum ulama dan monopolinya atas penafsiran Islam. Aghajari berargumen, mirip yang terjadi dengan hierarki gereja dan otoritas imam dalam Kristen abad Pertengahan pra-Reformasi Protestan, struktur keagamaan dan kehidupan keislaman di Iran telah jadi sedemikian hierarkis dan birokratis. Seperti halnya Reformasi Protestan bermaksud menyelamatkan Kristen dari cengkeraman para imam dan hierarki Gereja, seruan Protestanisme Islam dimaksudkan untuk membebaskan Islam dan Muslim Iran dari cengkeraman politik-keagamaan kaum ulama.
Aghajari segera ditahan pada Agustus 2002 dan dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Hamedan, 6 November, atas sangkaan penghinaan terhadap para ulama Shi’ah dan pejabat tinggi rezim berkuasa Iran meski akhirnya ia terbebaskan dari dakwaan itu. Terinspirasi oleh peran Luther yang mendeligitimasi terpusatnya otoritas imam gereja, seruan Protestanisme Islam menjadikan ulama dalam kekuasaan sebagai sasaran kritiknya. Ia sadar tidak ada sistem kependetaan dalam Islam. Namun, model hierarki keagamaan di Iran sudah mirip dengan hierarki gereja dalam Kristen abad pertengahan pra-Reformasi Protestan. Sekarang ini, lanjutnya, hierarki ulama Shi’ah Iran lebih dekat menyerupai Katolik ketimbang Islam yang tidak mengenal sistem kependetaan. Para ulama terlampau mencampuri urusan personal umatnya dengan bertindak sebagai mediator. Aghajari memberikan terapi kejut dengan mengatakan: "tidak ada mediator antara seorang Muslim dan Tuhan dalam hal beribadah kepada-Nya dan memahami Kitab Suci-Nya. Mengikuti jejak Luther tentang imamat am orang percaya, ia berargumen bahwa setiap Muslim menjadi imam bagi dirinya sendiri. Keselamatan pun sepenuhnya ditentukan sendiri: melalui kejernihan pikiran-dan ketulusan hati-nya ke hadirat Tuhan.
Mengikuti jejak Luther tentang pentingnya umat Kristen mengakses langsung Bibel, Aghajari berseru agar Muslim diberi jaminan sepenuhnya dan sebebas-bebasnya dalam mengakses Al Quran, tidak seperti ororitarianisme Mullah yang melarang Muslim mengakses Al Quran melalui metodenya sendiri. Metode apa pun terbuka bagi Muslim, melalui pintu ijtihad, sehingga Muslim Iran terlatih berpikir rasional dan independen. Dalam pidatonya, Aghajari melancarkan kritik tajamnya: "Selama bertahun-tahun generasi muda takut membuka Al Quran. Mereka bilang, ’kita harus pergi dan bertanya kepada Mullah tentang yang Al Quran katakan...’. Generasi muda pun tak diperkenankan mendekati Al Quran; (Generasi muda) diberi tahu bahwasanya (pertama-tama) mereka membutuhkan (latihan dalam) 101 metode berpikir dan mereka tidak memilikinya. Konsekuensinya, (generasi muda) takut membaca Al Quran. Kemudian datanglah Shari’ati dan bercerita kepada generasi muda bahwasanya ide seperti itu sudah bangkrut; (ia berkata) kamu dapat memahami Al Quran dengan metodenya sendiri...."
Mengikuti jejak pikiran Sharî’ati, ajakan penafsiran Al Quran secara rasional dan independen ditujukan untuk mendeligitimasi otoritas tunggal dan hierarkis ulama Shi’ah. Muslim Iran harus diberikan hak yang setara dengan ulama dalam mengakses dan menafsirkan Al Quran. Tak ada keistimewaan apalagi status kesakralan di kalangan ulama. Aghajari (2002: 2) meluruskan kekeliruan asumsi teologis yang melihat ulama sebagai komunitas sakral. Baginya, mereka bukanlah manusia sakral dan, karenanya, kita tak akan pernah memberi status demikian. Faktanya, mereka memainkan kekuasaan politik-keagamaan untuk kepentingan diri mereka sendiri. Aghajari memuji Sharî’ati sebagai reformis yang begitu tajam mengkritik para Imam Iran: "Kamu bukanlah para imam, bukan pula para nabi; (kamu) tidak bisa menganggap orang-orang sebagai makhluk setengah manusia." Puluhan tahun para ulama dan rezim berkuasa Iran mengabaikan prinsip dasar hak-hak asasi manusia dan membelah rakyatnya menjadi the insiders dan the outsiders, lantas memberangus the outsiders. "Inikah logika keislaman? Ketika tak ada penghormatan terhadap manusia?" gugatnya. Ia memandang manusia sebagai subjek yang rasional, humanis, dan independen sesuai dengan semangat utama seruan Protestanisme Islam.
Pengembaraan gagasan Protestanisme Islam
Seperti halnya orang-orang dan mazhab kritis, ide-ide dan teori-teori juga mengembara- dari orang ke orang, situasi ke situasi, dan dari satu periode ke periode lain.
Kultur dan kehidupan intelektual biasanya dipelihara dan sering kali dipertahankan melalui sirkulasi ide-ide dan entah itu terwujud dalam bentuk pengakuan, pengaruh tak sadar, peminjaman kreatif, atau penyesuaian secara keseluruhan pergerakan ide-ide dan teori-teori dari satu tempat ke tempat yang lain adalah fakta kehidupan dan memungkinkan aktivitas intelektual yang bermanfaat. (Edward Said, 1984:226)
Menganalisis pemikiran ketiga Muslim Luther Iran dan seruannya atas Protestanisme Islam dapat ditarik sejumlah temuan menarik.
Pertama, gagasan Protestanisme Islam terbukti mengembara dari Afghânî, Sharî’ati, ke Aghajari. Terdapat apa yang dirumuskan Said sebagai a point of origin, di mana suatu gagasan lahir atau memasuki ruang diskursus. Di sini a point of origin ditemukan pada pemikiran keagamaan Afghânî. Tentunya ia belumlah menyerukan gagasan Protestanisme Islam secara eksplisit. Namun, ia dikenal sebagai reformis Muslim Iran yang menaruh apresiasi dan kekaguman tinggi terhadap Luther dan kesuksesan Reformasi Protestan. Memandang Luther sebagai pahlawan besarnya, Afghânî kemudian melihat dirinya sebagai sang Muslim Luther Iran yang memetik buah Reformasi Protestan sebagai model reformasi Islam. Ide bahwa "Islam butuh sang Luther", menurut Hourani, adalah "tema favorit Afghânî dan barangkali dia memandang dirinya sendiri dalam peran serupa". Dengan alasan itu, "reformasi Islam model Protestan" yang dirintisnya dapat diletakkan sebagai a point of origin yang pada gilirannya memasuki ruang diskursus akhir abad ke-19. Terbukti, Afghânî menghabiskan waktu di Istanbul dalam diskursus liat dengan murid dan koleganya seputar Martin Luther, Reformasi Protestan, Akal dan Kemajuan, Peradaban Barat, dan Reformasi Islam model Protestan di Iran.
Gagasan Protestanisme Islam lalu mengembara dari Afghânî menuju Sharî’ati. Sejumlah pidato umum dan tulisannya memperlihatkan Sharî’ati mengikuti jejak Afghânî tentang "Reformasi Islam model Protestan". Misalnya, dalam pidato umum di Husayniah Irshâd pada 1970-an ia terbuka memuji Afghânî sebagai inteligensia progresif yang telah memunculkan dan menyebarluaskan "Reformasi Islam model Protestan". Ia juga terbuka dan eksplisit menyebut pentingnya Protestanisme Islam sambil memberi napas pemikiran dan gerakan baru terhadap gagasannya sehingga lebih revolusioner berhadapan dengan kekuasaan otoriter Shah.
Akhirnya, gagasan Protestanisme Islam mengembara dari Sharî’ati menuju Aghajari. Ia memang sepenuhnya berada di bawah "pengaruh sadar" Sharî’ati. Dalam pidatonya, Aghajari menyebut Sharî’ati dan mengutip secara kreatif gagasannya lebih dari 10 kali untuk mengartikulasikan versinya sendiri tentang pentingnya Protestanisme Islam di Iran. Ia persis melakukan apa yang dirumuskan Said (1984) sebagai "peminjaman kreatif" dalam memodifikasi dan menyegarkan kembali gagasan Protestanisme Islam. Dibandingkan dengan Afghâni dan Sharî’ati, Aghajari relatif berhasil membuat gagasan Protestanisme Islam jadi diskursus publik lintas nasional yang populer. Perhatian sejumlah intelektual terkemuka, dalam maupun luar Iran, benar-benar tersedot. Di Amerika, misalnya, intelektual dan kolumnis prolifik, Thomas Friedman, harus menulis kolom khusus di koran terkemuka The New York Times (4/12/2004) tentang Aghajari: "Yang terjadi di Iran," tulis Friedman, "…adalah bentuk kombinasi antara Martin Luther dan Tiananmen Square", yang menyerukan Protestanisme Islam.
Kedua, pengembaraan gagasan Protestanisme Islam dari Afghânî, Sharî’ati, ke Aghajari tidaklah terjadi dalam konteks kevakuman sejarah. Sebuah gagasan mengembara, meminjam rumusan Said (1984), sebagai respons terhadap perubahan sosial dan sejarah yang spesifik. Ketiga Muslim Luther Iran itu hidup dalam kurun berbeda dengan tantangan berbeda pula. Afghâni hidup dalam suatu masa ketika negara Eropa mencapai puncak dominasi kolonialismenya di dunia Islam. Gagasan reformasinya lahir dan berkembang sebagai respons spesifik terhadap tantangan ganda: memperkuat dunia Islam sekaligus menaklukkan imperialisme. Satu sisi dia menyerukan pentingnya persatuan dunia Islam dan gagasannya diarahkan demi kemajuan umat Islam di dunia modern. Namun, di sisi lain, gagasannya juga dipakai sebagai senjata keagamaan-politik melawan kekuasaan kolonial dan imperialisme. Selama di Paris, ia bersama murid liberalnya, Abduh, menerbitkan jurnal Pan-Islam terkemuka, al-’Urwa al-Wuthqâ, sebagai respons terhadap dan bentuk perjuangan intelektual yang canggih melawan kebijakan imperialisme Inggris di Mesir, India, dan Sudan.
Berbeda dengan Afghâni, seruan Protestanisme Islam Sharî’ati lebih diarahkan sebagai respons spesifik terhadap meningkatnya proses internalisasi kolonialisme dalam diri dan kepemimpinan rezim Shah. Dikenang sebagai ideolog revolusi, ia berhasil membangunkan kesadaran kritis di hampir semua lapisan untuk bersatu padu melawan rezim Shah. Meskipun dia punya banyak kesamaan dengan Afghâni dalam hal mengimani Islam sebagai sumber kemajuan dan peradaban, Sharî’ati tampak lebih revolusioner. Ini kemungkinan besar dipengaruhi sosiologi marxisme, teori dunia ketiga Fanon, dan pengajaran Islam atas martir Shi’ah Iran periode awal.
Ternyata, silih bergantinya rezim baru Iran pascarevolusi (1978-1979) sampai terpilihnya Presiden Khatami untuk kali kedua tidaklah mengantarkan era baru: dari revolusi menuju secercah reformasi dan berbalik ke era kegelapan kembali. Pidato kontroversial Aghajari tentang seruan Protestanisme Islam adalah sebagai respons terhadap kecenderungan meningkatnya otoritarianisme, baik di kalangan ulama maupun rezim Khatami. Masuknya ulama dalam kekuasaan menjadi distingsi jelas antara tantangan yang dihadapi Sharî’ati dan Aghajari. Dalam pidatonya ia menegaskan "beda antara zaman kita dengan Sharî’ati adalah bahwasanya keulamaan tidak memiliki kekuasaan. Sekarang Islam berada di kekuasaan, ulama berada di pemerintahan. Itu sebabnya Protestanisme Islam jadi lebih penting saat ini". Keterlibatan ulama dalam kekuasaan telah menjadi tantangan serius Aghajari membebaskan Islam dan Muslim Iran dari cengkeraman politik-keagamaan ulama dan rezim. Reformasi Islam Iran masih jauh dari harapan!
Sukidi Kader Muda Muhammadiyah; Associate Researcher di The Indonesian Institute; dan Mahasiswa Teologi di Universitas Harvard, Cambridge, MA, AS
No comments:
Post a Comment