Kompas, Bentara, Sabtu, 02 Juli 2005
Di tahun 2005 ini, selain memperingati satu abad The Special Theory of Relativity Albert Einsten, dunia juga seyogianya perlu merayakan satu abad karya agung lainnya yang terus menjadi inspirasi dan wacana dunia hingga hari ini: The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism Max Weber.
Syukur buat kita di Indonesia, Sukidi, kader muda Muhammadiyah yang sedang belajar di Harvard itu, setidaknya menurut tafsiran saya sudah memulainya pada lembaran Bentara Kompas Maret lalu: Pengembaraan Gagasan Protestanisme Islam. Esai Sukidi itu kemudian ditanggapi Robert W Hefner, guru besar antropologi agama Universitas Boston, pada April melalui Protestanisme Islam dan Reformasi Protestan yang kemudian dikristalkan oleh Sukidi pada Mei dalam Etika Protestan Muslim Puritan� dengan subjudul Muhammadiyah sebagai Reformasi Islam Model Protestan.
Selain meramaikan perayaan di atas, tulisan ini ingin memberikan tambahan pita pada bungkusan kado pemikiran Sukidi yang ia persembahkan untuk Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang awal Juli ini.
Dalam esai yang pertama, menggunakan traveling theory Edward Said, Sukidi menganalisis pengembaraan gagasan Protestanisme Islam di Iran dalam dan melalui tiga tokoh reformisnya: Sayyid Jamal al-Darn al-Afghanar (1838-1897), Ali Shar'ati (1933-1977), dan Hashem Aghajari (1955-sekarang). Kesimpulan inti yang ingin saya garis bawahi ialah pentingnya mendengar seruan bagi inovasi pemikiran, reformasi gagasan, dan penafsiran ulang ajaran dalam sebuah pergulatan sejarah melawan tirani dan hegemoni penguasa agama yang mengungkung demi kemajuan sosial yang membebaskan sebagaimana dicita-citakan oleh spirit keagamaan itu sendiri.
Hefner, sesudah memuji esai Sukidi dan mengamini relevansi reformasi Protestan bagi dunia Islam, kemudian menambahkan sejumlah catatan kritis. Yang terpenting dikatakannya: seruan reformasi ala Protestan itu harus diambil secara berhati-hati di Indonesia karena dua hal. Pertama, reformasi Protestan tidak cuma sebuah pencapaian intelektual yang mendorong umat lebih bertanggung jawab terhadap iman masing-masing, tapi berpilin berkelindan dengan sejumlah peristiwa politik yang sangat kompleks. Kedua, terdapat sejumlah unintended consequences yang buruk dari reformasi Protestan itu sendiri, terutama dalam bentuk eksekusi yang zalim atas puluhan ribu (konon bahkan ratusan ribu) orang yang dianggap sebagai penganut bidah, tukang sihir dan golongan sesat, atas nama pemurnian iman. Saran Hefner, agar tidak terjebak, maka arah yang sebaiknya ditempuh kaum Muslimin di Indonesia ialah pendalaman iman tentang pluralisme dan pemikiran yang menjadi ciri utama kaum Islam Sunni sejak dulu kala.
Pada esai yang kedua, sesudah meringkas jernih teori Weber tentang asal muasal dan logika terbentuknya kapitalisme Barat yang dari rumpun reformasi Protestan yang terutama dipelopori oleh Martin Luther dan Johannes Calvin itu, Sukidi mengatakan, gerakan Muhammadiyah di Indonesia mirip dengan reformasi Protestan itu. Kata Sukidi, kaum Protestan dan Muhammadiyah sama-sama bersemboyan �Kembali pada Kitab Suci�, sama-sama menjunjung nalar serta menolak semua elemen magis (takhayul, bidah, dan khurafat) dalam pencarian keselamatan, sama-sama merasionalkan doktrin agama melalui purifikasi iman dan ijtihâd untuk meraih kemajuan, sama-sama bekerja sistematik melalui penggunaan birokrasi modern, dan sama-sama mengadopsi innerworldy asceticism untuk mengubah dunia. Ahmad Dahlan (1868-1923), pendiri Muhammadiyah, sang reformis Islam Indonesia, oleh Sukidi digambarkan sebagai seorang Muslim puritan yang asketis sekaligus seorang saudagar. Islam reformed yang dianutnya kemudian mewujud dalam perilaku bisnisnya (etos kerjanya) yang �cerdas, rajin, pekerja keras, jujur, tekun, suka membantu, sangat sosial�. Ia hidup sederhana, saleh-asketis, dan mandiri. Ia mengabdikan dirinya secara total pada aktivitas bisnis dan sosial-keagamaan sekaligus. Pengikut Dahlan semakin terbentuk. Kata Sukidi, para kapitalis Yogyakarta pada zaman itu memang didominasi oleh kaum Muhammadiyah. Apa yang dilakukan Dahlan sejatinya adalah sebuah reinterpretasi doktrin keislaman agar sejalan dengan aspirasi dunia modern yang bersendikan rasionalitas dan bernapaskan kemajuan. Islam dan kemajuan, dengan demikian, direkonsiliasikan.
Dikotomi Tuhan dan dunia
Dalam setiap agama selalu terdapat sekte atau aliran yang mempertentangkan Tuhan dan dunia, mendualismekan kesalehan dan kemakmuran, atau mendikotomikan ibadah yang sakral dan kerja yang profan. Dan ayat-ayat kitab suci untuk membangun teologi demikian memang tersedia banyak. Dari agama Kristen bisa dikutip ayat, �Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.� Di sini, Mamon umumnya ditafsirkan sebagai harta. Intinya, untuk berkenan pada Tuhan, orang harus menolak dunia dengan segenap harta, kekuasaan, dan kemuliaannya. Jadi, umat harus memilih salah satu, berkenan pada Tuhan atau berkenan pada dunia. Akibatnya, umat yang ingin hidup benar dan saleh kemudian tertinggal dari derap kemajuan dunia. Lebih parah lagi, kaum saleh ini kemudian (bisa) terjebak dalam jenis keberagamaan yang campur aduk dengan elemen magis yang penuh takhayul, bidah, dan khurafat. Makin jauhlah umat demikian tertinggal.
Di pihak lain terdapat elite agama, misalnya di Eropa pada zaman Martin Luther, atau di Iran seperti yang digambarkan Sukidi, bersekutu erat dengan kaum penguasa, bahkan menjadi penguasa itu sendiri, bergelimang dengan keduniawian sambil atas nama konservatisme mengekang gerak dan aspirasi umat yang ingin bebas mengecap kemajuan, membuat keluruhan umat tertinggal dari modernitas yang umumnya dimotori oleh sains, teknologi, bisnis, investasi, dan manajemen terkini. Sesungguhnya dua hal itulah yang ditentang kemudian diperbarui oleh para reformis di Eropa, Iran, dan Indonesia. Pokok persoalannya, bagaimana mengharmoniskan iman dan rasionalitas, kesetiaan pada kitab suci dan aspirasi kemajuan, kesalehan dan kemodernan. Sederhananya, bagaimana berkenan pada Tuhan dan berkenan pada dunia.
Max Weber adalah orang pertama yang berhasil menunjukkan bahwa kaum beragama—dalam hal ini kaum Protestan— bisa melakukannya. Sejak Weber pelbagai studi tentang etos kerja berbasis agama sudah banyak dilakukan dengan hasil yang secara umum mengonfirmasikan adanya korelasi positif antara sebuah sistem kepercayaan tertentu dan kemajuan ekonomi, kemakmuran, dan modernitas. Contoh populer ialah disertasi Robert N Bellah, terbit dengan judul Tokugawa Religion: The Cultural Roots of Modern Japan (1957) menganalisis kemajuan Jepang, menjelaskan peranan nilai agama pramodern itu dalam proses modernisasi.
Bagi penganut Katolik yang sempat ditengarai Weber sebagai umat dengan etos kerja rendah bila dibandingkan dengan etos kerja Protestan Michael Novak dalam The Catholic Ethic and the Spirit of Capitalism (1993) berhasil mengidentifikasikan dan menganalisis gagasan Katolik yang relevan, bahkan menjadi fondasi sistem sosial, demokrasi, dan kapitalisme dalam masyarakat bebas. Untuk agama timur, Francis Fukayama dalam Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity (1995) menjelaskan karakter unik dari nilai Konfusianisme, apabila dicangkokkan ke dalam lingkungan pasar bebas, ternyata sangat bersesuaian dengan semangat kapitalisme modern. Untuk Indonesia, Clifford Geertz yang datang meneliti ke Jawa pada tahun 1950-an membuat kesimpulan ala Weber: pertumbuhan ekonomi dan pembaharuan Islam berjalan secara beriringan. Mohamad Sobary dalam Kesalehan dan Tingkah Laku Ekonomi (1999) juga menyimpulkan hal sama untuk masyarakat Betawi di Desa Suralaya. Studi terbaru di bidang ini (2003) dilakukan oleh Ahmad Janan Asifudin, dengan telaah psikologi, lagi-lagi membuktikan bahwa agama Islam lebih dari cukup untuk menjadi basis etos kerja Islami untuk menghasilkan kemajuan.
Kesimpulan yang bisa ditarik ialah bahwa sesungguhnya setiap agama, setiap sistem kepercayaan dan budaya, sangat memadai untuk dijadikan sebagai basis bagi pengembangan etos baru yang mampu menjawab tantangan kehidupan modern.
Pilihan doktrin yang relevan dengan dunia
Dari sejarah kita tahu bahwa ketika Luther dan Calvin melancarkan reformasi keagamaan di Eropa, tak sedikit pun terbetik dalam pikiran mereka membangun sistem kapitalisme dunia seperti yang dipahami Weber empat abad kemudian atau yang kita pahami lima abad sesudahnya. Waktu itu, mereka cuma ingin berkenan pada Tuhannya secara murni, melepaskan diri dari sistem keagamaan yang mereka rasakan sangat sesak, menindas, mengekang, dan korup. Namun, ternyata gerakan reformasi itu punya unintended consequences, kali ini yang positif: berkenan pada dunia.
Dari kacamata sosiologi, Weber telah menunjukkan doktrin predestinasi dalam Protestanisme itu, khususnya cabang Calvinisme, mampu melahirkan etos berpikir rasional, berdisiplin tinggi, bekerja tekun sistematik, berorientasi sukses (material), tidak-mengumbar-kesenangan-namun-hemat-dan-bersahaja (asketik), serta menabung dan berinvestasi, yang menjadi titik berangkat bagi kapitalisme di dunia modern.
Jika sebagai unintended consequences saja sebuah doktrin keagamaan bisa menghasilkan sehimpunan perilaku baru, sebuah etos yang lebih berkualitas, maka seyogianya sebuah doktrin pasti bisa secara intended, secara termaksud dan proaktif, ditujukan buat mengembangkan sebuah sistem perilaku yang mampu menjawab aspirasi dunia dan kemajuan masa kini. Bahkan, tidak hanya demi perilaku positif itu saja, lebih luas lagi, demi sebuah etos baru, sebuah budaya baru yang secara kategorial lebih unggul. Bukan cuma agar orang saleh bisa makmur, atau Muhammadiyah lebih berjaya, tetapi lebih raya lagi: agar seluruh rakyat dan bangsa Indonesia bisa terangkat dari kemiskinan, keterpurukan, dan kehinaan dalam pandangan internasional.
Sudah umum diketahui, bahkan sering dibicarakan dan diperbicangkan, bahwa aspirasi dunia masa kini, yaitu tuntutan abad ke-21, setidaknya mensyaratkan sepuluh pasang nilai utama berikut ini: [1] Kualitas dan Produktivitas, [2] Efisiensi dan Keefektifan, [3] Kecepatan dan Ketepatan, [4] Disiplin dan Kerja sama, [5] Integritas dan Ketepercayaan, [6] Kreativitas dan Inovasi, [7] Pelayanan Publik dan Kepuasan Pelanggan, [8] Tanggung jawab Sosial dan Lingkungan, [9] Respek pada Hukum dan Rule of Law, serta [10] Demokrasi dan HAM. Inilah semangat dunia modern terkini yang sedang kencang-kencangnya mengalami proses globalisasi.
Maka, salah satu tantangan buat umat Islam di Indonesia, khususnya Muhammadiyah yang sejatinya reformis, puritan dan modernis itu—meminjam bahasa Sukidi—sebagai arah baru studi dan pendalaman ke depan, ialah memilih beberapa doktrin yang relevan dengan sepuluh pasang nilai utama di atas dari khazanah doktrin keislaman yang begitu luas. Misalnya saja, bagaimana mengelaborasi sampai tandas dan lalu mendayagunakan secara tuntas [1] Doktrin Rahmatan Lil Alamin, [2] Doktrin Amar Ma’ruf Nahi Munkar, [3] Doktrin Akhlakul Kharimah, dan [4] Doktrin Kerja Sebagai Amanah dan Ibadah —dengan tetap setia pada akidah dasar keislamannya—untuk menjawab kebutuhan di atas, serta pada saat yang sama, di sisi lain, mampu menghentikan kemunafikan, lemahnya tanggung jawab, rapuhnya watak, masih bercokolnya jiwa feodalisme, kegemaran pada takhyul, serta budaya korupsi dan kolusi seperti ditengarai Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia (1977). Doktrin yang dipilih itu harus bagai pisau bermata dua: mampu membabat yang busuk dan buruk serta mengukir yang baik dan indah, sekaligus dan serentak.
Standar dan kadar: name of the game
Seorang menteri yang beragama Islam, baru-baru ini berkata kepada saya bahwa mobil dinasnya hanya dipakai untuk keperluan dinas saja. Tatkala belum lama ini menikahkan anaknya, dia memilih perayaan sederhana bersama keluarga terdekat saja. Sahabatnya, seperti saya, hanya dikirimi undangan pascapernikahan, memohon doa restu bagi kedua mempelai. Dia tak menggunakan opportunity sebagai menteri untuk bermegah-ria atau mengumpulkan ungkapan kasih yang mahal-mahal. Pak Menteri ini pernah sharing bahwa ia membasiskan perilaku luhurnya itu dari doktrin rahmatan lil alamin.
Paus Yohanes Paulus II pernah ditanyai wartawan bagaimana ia bisa menjelaskan fenomena Bunda Teresa, suster yang sederhana, guru biasa saja, tetapi kemudian bertiwikrama menjadi raksasa karitas dunia. Paus menjawab transformasi personal demikian adalah buah perenungan akan Tuhan. Ungkapan iman seorang Bunda Teresa diwujudkan dalam karya karitasnya dengan doktrin pelayanan yang khas: give until it hurts yang sering diterjemahkan menjadi mengasihi sampai terluka.
Kedua contoh itu, masing- masing berangkat dari doktrin keagamaan yang khas namun tak baru sama sekali, mampu menghasilkan perilaku sosial dan etos kerja terpuji. Yang signifikan di sini ialah standarnya atau kadarnya. Ibarat logam mulia, keduanya sama-sama emas berkadar tinggi.
Karena itu, umat beragama sesungguhnya tidak memerlukan doktrin baru dari kitab suci masing-masing.
Yang lebih diperlukan: pendalaman doktrin secara vertikal, menukik dalam sampai ke hakikatnya, bahkan sampai ke ruhnya yang paling murni, lalu dengan kekuatan ruh tersebut (napas, motivasi, api, semangat) mengaplikasikannya secara horizontal dengan standar setinggi mungkin ke dalam pelbagai bidang: sosial, hukum, bisnis, ekonomi, politik, birokrasi, atau pendidikan.
Bagi kaum Muslimin Indonesia umumnya dan Muhammadiyah khususnya, maka etos kerja Islami yang diperlukan —selain harus relevan dengan sepuluh nilai utama tadi—haruslah juga berstandar dan berkadar tinggi sehingga tak boleh kalah dengan standar etos kerja yang bersumber dari tradisi keimanan mana pun juga.
Mengingat Muhammadiyah merupakan gerakan Islam pembaruan yang sangat penting di Indonesia, karena itu reformasi negeri ini sampai derajat yang signifikan ditentukan olehnya, maka ia memerlukan penegasan kredo kadar keimanan yang lebih murni, penguatan keyakinan yang lebih kukuh, pendalaman komitmen yang lebih dahsyat, standar etos yang lebih tinggi, serta kebersamaan yang dipandu oleh visi yang terang dan menjulang dari segenap pemimpin dan warga Muhammadiyah.
Jansen H Sinamo Direktur Institut Mahardika Jakarta, sebuah institusi yang secara khusus mendalami dan mengajarkan etos kerja; penulis buku Ethos21: Delapan Etos Kerja Profesional.
No comments:
Post a Comment