Muhammadiyah
Buku Suplemen Berbuah Protes
Kultum (kuliah tujuh menit) bakda lohor yang disampaikan Achmad Solomo, Selasa dua pekan lalu, itu membuat resah jamaah. Pasalnya, kultum yang disampaikan anggota Lembaga Pembina dan Pengawas Keuangan PP Muhammadiyah di Masjid At-Taqwa, di kawasan Gedung Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, itu mengkritik tiga buku yang diajarkan untuk lembaga pendidikan Muhammadiyah.
Tiga buku yang diterbitkan atas kerja bareng Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) PP Muhammadiyah dengan Maarif Institute itu adalah Buku Ajar Pendidikan Al-Islam Berwawasan Hak Asasi Manusia, Buku Ajar Pendidikan Kemuhammadiyahan Berwawasan Hak Asasi Manusia, serta Buku Panduan Guru Al-Islam & Kemuhammadiyahan Berwawasan Hak Asasi Manusia (HAM). Ketiga buku itu ditulis dengan bahasa yang komunikatif dan dihiasi dengan ilustrasi atraktif.
Oleh Achmad Solomo, ketiga buku itu dinilai tidak sesuai dengan pedoman hidup Islami warga Muhammadiyah. Sebab judulnya disertai "berwawasan HAM". Penyertaan dua kata itu juga dimasalahkan oleh Risman Muchtar, Wakil Sekretaris Majelis Tablig dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah.
Risman bersama wakil ketua majelis itu, Fakhrurrazi Reno Sutan, melayangkan surat tanggapan resmi kepada penerbitnya. Dalam surat tanggapan itu, kata Risman, ketiga judul buku yang selesai dicetak pada Agustus lalu itu tidak sesuai dengan pemahaman resmi Muhammadiyah tentang Islam. Teks "berwawasan HAM" itu mengindikasikan bahwa Al-Islam dan kemuhammadiyahan menjadi sub-ordinat HAM. "Harusnya HAM yang menyesuaikan dengan ajaran Islam," ujarnya.
Lebih jauh lagi, lanjut Risman, dalam pengantarnya disebutkan, selain bersumber pada Al-Quran dan sunah, juga berlandaskan HAM. Embel-embel berwawasan dan berlandaskan HAM itu dinilai Risman merusak ajaran Al-Islam dan kemuhammadiyahan yang benar. Sehingga, kata Risman, ada kesan, Al-Islam dan kemuhammadiyahan dalam tiga buku itu merujuk pada HAM yang berpaham Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
Dengan demikian, menurut Adian Husaini, yang juga anggota majelis itu, karena sudah meletakkan HAM sebagai landasan untuk memahami Al-Quran dan sunah, maka buku itu mendukung DUHAM kelahiran San Francisco tahun 1948. DUHAM itu dinilainya memosisikan syariat Islam di bawah HAM. Yang benar, lanjut Adian, syariat Islam berada di atas HAM, sebagaimana Deklarasi Kairo menegaskannya pada 1990. "Sejumlah pasal Deklarasi Kairo merupakan koreksi terhadap DUHAM," papar Adian.
Selain itu, kata Risman, isi buku-buku kaya kelir itu provokatif. Karenanya, buku-buku itu berpotensi menimbulkan salah paham tentang ajaran Islam. Contohnya, menurut Risman, dapat dilihat di halaman 74 pada Buku Panduan Guru Al-Islam & Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM. Pada halaman itu, Risman tidak setuju tafsiran "din yang berarti agama" dalam surat Al-Kaafirun diartikulasikan lebih jauh hingga menjadi tujuh poin. "Pengertiannya sudah jauh dari asbaabu an nuzuul yang utama," katanya.
Untuk itu, Risman meminta penerbit tiga buku itu urung mengedarkan dan mengajarkannya ke seluruh lembaga pendidikan menengah Muhammadiyah. Ia pun meminta Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah melibatkan pimpinan majelis-majelis lain yang terkait dengan materi tersebut. Misalnya Majelis Tablig dan Dakwah Khusus atau Majelis Tarjih dan Tajdid. "Kami sangat berkepentingan karena majelis menangani dai-dai di akar rumput secara langsung," ia menegaskan.
Selain di tingkat pusat, geger buku itu juga terjadi hingga tingkat pimpinan daerah. Jamaludin, Ketua Majelis Dikdasmen Pimpinan Daerah Muhammadiyah Jember, Jawa Timur, misalnya, menolak sosialisasi dan launching buku itu pada Oktober silam. "Sejak Rakernas Dikdasmen se-Indonesia di Pondok Gede, Oktober lalu, saya minta tiga buku itu dicabut," katanya.
Jika akan diralat, lanjut Jamaludin, judul buku itu harus berbunyi "HAM Berwawasan Islam & Kemuhammadiyahan". Ini dapat dipahami bahwa Islam adalah rahmatan lil'alamin. "Al-Islam dan kemuhammadiyahan berwawasan HAM itu berarti berwawasan sempit," ujarnya.
Tapi Husni Toyyar, Wakil Ketua Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, menanggapinya dengan kalem. Ia menerangkan, tiga buku itu sebetulnya bukan buku pokok atau wajib dan harus diajarkan di seluruh lembaga pendidikan menengah Muhammadiyah di Indonesia. Sifatnya mubah saja. "Itu buku suplemen, bukan buku pokok atau wajib," katanya.
Lagi pula, kata Husni, tiga buku itu belum resmi diedarkan, baru sebatas diuji coba di tiga wilayah: Jawa Barat, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Timur. Suplemen itu, menurut Husni, sebetulnya hasil pengembangan buku wajib pendidikan Al-Islam dan kemuhammadiyahan level SMA, yang telah disusun dan diedarkan ke seluruh sekolah Muhammadiyah di Indonesia.
Setelah dikaji secara berjamaah, kata Husni, dalam buku wajib yang berdasarkan pada standar isi dan standar kompetensi lulusan itu ditemukan materi-materi yang berkaitan dengan HAM. Lewat materi yang berkaitan dengan HAM inilah kemudian terjalin kerja sama dengan Maarif Institute untuk menerbitkan tiga buku itu.
Husni juga mengklarifikasi pengantar Ketua Majelis Dikdasmen, Yahya A. Muhaimin, dalam buku itu yang berbunyi "berlandaskan HAM". Menurut dia, itu terjadi karena kesalahan teknis. Yang benar adalah "berwawasan HAM". Baginya, kata "berwawasan HAM" tidak perlu dipersoalkan. Sebab kata "berwawasan" itu berarti memperkaya dan menambah cara pandang, bukan mendasarkan atau melandasi. Justru dua deklarasi HAM itu menghiasi isi buku tersebut. "Rujukan ajaran Muhammadiyah tetap Al-Quran dan sunah," ia menegaskan.
Terkait contoh soal "din yang berarti agama" dalam surat Al-Kaafirun itu, Husni memaklumi bila ada sekelompok orang yang berpandangan berbeda. Sebab, bila dibaca secara utuh, tidak akan menjauh dari substansi sebab-sebab keturunan ayat itu. Ayat itu, lanjut Husni, menjelaskan tentang menghargai keberadaan agama selain Islam. Lalu menghargai hidup dan berdampingan dengan nonmuslim dalam konteks Indonesia yang heterogen. "Soal iman akidah memang harus teguh. Tapi kita juga tetap berkomunikasi sosial dengan nonmuslim," katanya.
Direktur Program Maarif Institute, Fajar Riza Ul Haq, menyatakan bahwa buku-buku itu bagian dari agenda besar institusinya. Agenda yang dilakukan sejak Mei 2007, berkerja sama dengan New Zealand Agency For International Development, itu adalah program pengembangan kapasitas pendidikan Al-Islam dan kemuhammadiyah, dengan pilot project Jawa Barat, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Timur.
Sebelum buku-buku itu terbit, kata Fajar, pihaknya melakukan berbagai kegiatan. Dari halaqah, penelitian, hingga lokakarya. "Buku itu sudah di-review berulang-ulang oleh editor ahlinya," tuturnya. Fajar dan Husni menyatakan akan meralat isi tiga buku itu, setelah Majelis Tarjih dan Tajdid mengkajinya secara intensif. Sebab majelis inilah yang dinilai paling berkompeten menyelesaikan dan memvonisnya di internal Muhammadiyah.
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid, Syamsul Anwar, mengakui adanya polemik atas tiga buku itu. Ia pun memakluminya. Di Muhammadiyah, menurut Syamsul, masih berkembang dua tipikal kelompok. Yakni kelompok literalis dan kontekstual. Kelompok literalis lebih cenderung pada pendekatan teks dan berlatar belakang pendidikan tradisional. Kelompok ini masih kuat di wilayah-wilayah.
Sedangkan kelompok kontekstual lebih mempertimbangkan konteks sosial dan dinamika kebudayaan dalam menafsirkan teks. "Saya akan segera menjelaskan hasilnya bila proses membaca dan mengkajinya sudah selesai," ujar Syamsul.
Deni Muliya Barus
[Buku, Gatra Nomor 4 Beredar 4 Desember 2008]
No comments:
Post a Comment