Dedicated to boosting research and scholarship on the Muhammadiyah and strengthening this movement
Monday, November 29, 2010
Bung Karno and the Bintang Muhammadiyah: A Political Affair
On 10 April 1965 a little known event took place in Jakarta when a delegation from the Muhammadiyah, Indonesia's massive modernist Islamic organisation, attended the Presidential Palace for an audience with President Sukarno. The entourage of forty-five, led by Chairman K.H.A. Badawi, consisted of the Muhammadiyah national leadership, together with members of its various councils. Also included was Oei Tjeng Hien (Abdul Karim) a former adviser to Muhammadiyah with whom Sukarno had been closely associated in his Bengkulu days (1838-42). The ostensible purpose of the delegation was to bestow on Sukarno the Bintang Muhammadiyah (Muhammadiyah medal) in recognition of his service to the organization. Beyond certain circles this event attracted only modest attention at the time and since then has almost disappeared from history. Perhaps now, however, a re-examination of this affair can shed some additional light on its chief protagonists and on the politics of 1965 Indonesia.
Wednesday, November 24, 2010
Christmas and Muhammadiyah
The Jakarta Post | Sat, 12/24/2005 11:57 PM | Opinion
Some Christians might have felt that Santa Claus came early when Din Syamsuddin -- the chairman of the country's second largest Muslim organization Muhammadiyah, and also vice chairman of the Indonesian Ulema Council (MUI) -- on Wednesday offered the use of Muhammadiyah buildings for Christmas services. However, most Christians feel skeptical about the offer by hard-line group, the Islam Defenders Front (FPI), to protect churches during the Christmas celebrations.
It is a lesser surprise to see such a friendly offer coming from the country's largest Muslim organization, Nahdlatul Ulama (NU), as this organization has had an impressive track record on tolerance and pluralism over a long period of time.
The goodwill gestures from Muhammadiyah and the FPI are encouraging for Christians. It is a pleasant surprise that a major Muslim organization, and the FPI -- to be frank the FPI engenders a strong a perception of intolerance and violence among non-Muslims -- have offered facilities and protection to Christians in the exercise of their religious rights as guaranteed by the 1945 Constitution.
However, like gifts from Santa Claus, which are always very welcome but do not normally have major implications for our lives, Christians need more than just gestures of goodwill.
Especially after the Christmas Eve disaster in 2000 where self-proclaimed Muslim warriors bombed a number of churches around the country, Christians feel anxious about their security during Christmas services, despite a strong police presence at nearly all churches.
Jesus, actually, is not a stranger to Muslims as Islam recognizes Jesus as a prophet and messenger. Islam, however, does not recognize Jesus as the Son of God and his crucifixion as the salvation of mankind.
The offer from Muhamadiyah is especially heartening. Many Christians have lost their places to worship over the last several years following forced closures by radical Muslim groups, particularly in West Java, with the excuse normally being a lack of official permits. In reality, most closures are due to the fact that Muslim groups cannot accept the presence of churches in their neighborhoods. Many of the places of worship that were forcibly shut did, in fact, have official permits.
There is a strong fear of ""Christianization"" among Muslims as Christians are perceived as being wealthier, and because of the imperative of spreading the Christian message. Although about 90 percent of the population is Muslim, worries about the proselytizing issue remain high.
Many Muslims do not understand why there are so many churches in the country compared to the number of Christians. Many of them, perhaps, do not realize that the Christian religion is made up of very many different churches.
While the 1945 Constitution firmly guarantees the freedom of religion, the government is often weak, if not actually unwilling, in carrying out its constitutional obligations.
Non-Muslims often complain about what they feel is increasingly discriminatory treatment from state institutions. They feel they are being treated as second class citizens just because their faith is different from that of the majority of the population. On the other hand, the majority sees the minority as suffering from a persecution complex, especially given the economic power of the Christian section of the community.
Of course, Christians must try to comprehend the sentiments of other people and stop practices that could upset Muslims, especially as regards proselytizing
We sincerely hope that the Muhammadiyah offer is the starting point toward discussing a more substantial issue: the protection of Christians and other non-Muslims in the performance of their religious obligations in their daily lives, not just at Christmas, while also ensuring the freedom of Muslims to exercise their rights.
Indonesia is the world's most populous Muslim nation and is often cited as a model for its relatively tolerant, moderate and pluralistic character. It is matter of pride and honor that we preserve this character, especially given the current situation where many in the West perceive Islam as an intolerant and violent religion.
On this Christmas Eve, it comes as a big surprise to hear Christmas carols being sung in Muhammadiyah buildings. This should be seen as concrete evidence of tolerance and pluralism, a perception that would be reinforced should it be followed by more concrete actions by all sides in this country.
What would be more significant would be for organizations like Muhammadiyah to start fighting against discriminatory treatment not only against Christians, but even against non-conformist Muslim groups like, for example, the Ahmadiyahs.
The real problem in Indonesia in the fact that people need to be protected while praying. Thus, the most important thing is to eliminate the need for physical protection for worshipers as this need flies in the face of all the values espoused by the ""Pancasila"" state.
In conclusion, it only remains for us to wish all our readers a very merry Christmas!
— JP
Monday, November 22, 2010
Membaca Shofan, Membaca Masa Depan Muhammadiyah
Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo
Buku yang ditulis oleh Moh. Shofan dkk, ini adalah merupakan suatu kumpulan karangan yang ditulisnya sejak ia mengalami peristiwa pemecatan dirinya sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Gresik. Buku ini menarik karena mencerminkan perkembangan terakhir di lingkungan Muhammadiyah yang menyangkut isu mengenai pluralisme dan kemerdekaan berfikir di lingkungan suatu organisasi terbesar di Indonesia yang konon disebut sebagai mewakili pandangan Islam Indonesia yang moderat.
Dalam suatu keterangannya yang dimuat di Majalah Tabligh terbitan Muhammadiyah, Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Gresik menyatakan bahwa pemikiran semacam Shofan ini tidak bisa ditolerir karena merupakan refleksi dari pandangan yang disebutnya paham sipilis (sekularisme, pluralisme dan liberalisme). Suatu plesetan yang bertujuan untuk melakukan pembunuhan karakter terhadap pemikiran Islam liberal.
Saya adalah orang yang mengetahui secara dekat latar belakang penulisan tentang artikel yang menyebabkan pemecatan tersebut. Pada suatu hari, saya mendapatkan telepon dari seseorang yang belum saya kenal yang menyebut dirinya Moh. Shofan. Dia menyatakan baru saja dipecat sebagai dosen dari Universitas Muhammadiyah Gresik akibat sebuah tulisannya mengenai pluralisme. Dia ingin bertemu dengan saya untuk menceritakan kasusnya tersebut. Saya bersedia bertemu dengan dia, kemudian dia datang ke kantor LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat) yang saya pimpin.
Di situ saya bertanya, “Lho, anda dipecat kok hanya karena sebuah tulisan, coba saya ingin lihat tulisan anda itu seperti apa sih?” Kemudian dia membacakan artikelnya yang dimuat di koran Surya. Setelah saya mendengar pembacaan tulisan itu sampai akhir, saya sangat terkesan sekali dengan tulisan itu karena dia dengan bagus sekali mencerminkan suatu pandangan pluralis di lingkungan Islam, khususnya mengenai sikapnya terhadap ucapan natal yang diharamkan oleh Majelis Ulama. Karena itu, maka saya langsung bersimpati kepadanya. Hemat saya, dia orang yang pantas dibela karena kebebasan berpikirnya diberangus di lingkungan Muhammadiyah.
Peristiwa ini mirip dengan peristiwa yang saya alami sendiri karena saya dikabarkan di media masa telah dipecat dari Muhammadiyah, karena sikap saya dan pandangan-pandangan saya mengenai kelompok-kelompok atau aliran-aliran Islam khususnya Ahmadiyah, Salamullah dan juga mengenai masalah penutupan gereja-gereja oleh sekelompok umat Islam yang berpandangan ekstrim. Tapi, keterangan ini dibantah oleh Din Syamsudin. Dia mengatakan bahwa Muhammadiyah tidak memecat Dawam Rahardjo, tetapi Dawam Rahardjo telah memecat dirinya sendiri. Suatu keterangan yang tidak bisa saya pahami, karena menurut hemat saya, memecat diri sendiri berarti pernyataan keluar dari Muhammadiyah, sedangkan saya tidak pernah menyatakan keluar dari Muhammadiyah. Bahkan, saya mengatakan sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah, sebagaimana yang dikatakan oleh Bung Karno.
Din Syamsudin, juga mengatakan bahwa saya dipecat bukan karena sikap saya yang membela Ahmadiyah, pluralisme dan sebagainya, tetapi karena saya dianggap tidak amanah saat memegang Koordinator Badan Ekonomi di PP. Muhammadiyah yang hal itu juga tidak mempunyai dasar sama sekali. Ini menunjukkan bahwa PP. Muhammadiyah itu tidak bertanggung jawab terhadap sikap-sikap dan tindakannya dan berusaha untuk mencari kambing hitam terhadap apa yang dilakukan. Saya berpendapat bahwa seandainya pun saya itu bersalah maka semestinya PP. Muhammadiyah mengambil alih tanggung jawab, karena saya di sini bertindak sebagai anak buah PP. Muhammadiyah. Tetapi, hal ini tidak pernah dilakukan oleh PP. Muhammadiyah. Jadi, yang salah bukan saya, tetapi pimpinan Muhammadiyah yang hanya mencari kambing hitam. Bagi saya, ini sebuah kedzaliman.
Saya sendiri percaya bahwa Muhammadiyah anti pluralisme dan saya juga tidak keberatan Muhammadiyah anti pluralisme karena itu haknya. Kendati demikian, maka hendaknya Muhammadiyah bersikap terus terang, jangan bersikap mendua dan kemudian memberikan argumen-argumen yang tidak masuk akal sebagaimana yang disampaikan oleh ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin.
Saya pernah membaca satu berita di koran Solopos, yang memberitakan ucapan Din Syamsudin, tentang pembelaannya terhadap gerakan Islam radikal. Sikap inilah yang sama sekali tidak saya hargai. Seharusnya Muhammadiyah mempunyai sikap yang jelas, tegas, terus terang, tidak sembunyi-sembunyi mengenai apa yang dipandangnya, sekalipun sikap itu adalah sikap konservatif. Kalau memang Muhammadiyah itu berhaluan konservatif dengan suatu alasan-alasan tertentu, misalnya mempertahankan Islam atau membela Islam Indonesia, katakan demikian saja. Jangan di tempat yang lain mengatakan yang sebaliknya yaitu misalnya bersikap liberal dan pluralis dan sebagainya.
Jadi, saya mengambil kesimpulan bahwa Muhammadiyah ini tidak mau berterus terang, karena di satu pihak Din Syamsudin menyatakan dirinya sebagai orang yang berpandangan liberal dan pluralis. Dia beberapa kali terlibat dalam diskusi dan seminar termasuk seminar internasional mengenai pluralisme, tetapi di lain pihak dia memposisikan seolah-olah melindungi dan membela kelompok-kelompok Islam yang bertindak ekstrem melakukan sejumlah kekerasan, karena perbedaan keyakinan dan perbedaan pandangan seperti halnya yang terjadi dengan Ahmadiyah dan kelompok-kelompok lain. Jadi, menurut hemat saya, ini merupakan suatu sikap yang munafik.
Seperti diketahui oleh banyak orang, bahwa saya adalah orang yang pertama kali menentang fatwa MUI (Majlis Ulama Indonesia) mengenai pengharaman pluralisme, liberalisme dan sekularisme. Dan saya mereaksi itu dengan suara yang lantang untuk membela dan mengatakan bahwa tiga trilogi (pluralisme, liberalisme, sekulerisme) inilah yang sebenarnya merupakan kunci bagi pemecahan krisis di lingkungan umat Islam.
Di sini, saya mengembangkan argumen-argumen, mengapa trilogi ini merupakan satu panacea terhadap penyakit umat Islam yang dihadapi dewasa ini yang mengalami stagnasi dan bahkan makin lama makin terpojokkan. Saya tidak menginginkan bahwa nanti terjadi suatu revolusi atau tindakan seperti yang terjadi di Turki yang secara radikal menyingkirkan agama dari wacana publik. Saya berpendapat bahwa justru trilogi itulah yang akan memberikan peluang atau kesempatan bagi Islam untuk melakukan wacana publik, tetapi wacana yang dilakukan secara bebas, terbuka dan demokratis. Terserah bagaimana tanggapan masyarakat umum.
Saya kira tanggapan masyarakat umum akan lebih positif, karena sebetulnya, masyarakat Indonesia pada umumnya itu cinta kepada agama, cenderung taat pada agama, cenderung untuk bersikap religius dan ini menurut hemat saya harus dipertahankan, dipelihara yaitu dengan cara memberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk berkeyakinan dan beragama. Sehingga karena itu jika ada perbedaan-perbedaan paham dan perbedaan aliran dalam Islam harus dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan bahkan juga sebagai sesuatu yang baik, karena ini merupakan suatu reaksi positif terhadap perkembangan zaman. Islam memang harus berinteraksi dengan perubahan-perubahan dan perkembangan zaman.
Saya sebenarnya tidak berkeberatan terhadap tulisan-tulisan yang menentang gagasan pluralisme, liberalisme dan sekularisme. Karena tulisan-tulisan itu memang mencerminkan kondisi pemikiran umat Islam dewasa ini, sehingga karena itu, saya berpendapat bahwa, jika umat Islam dewasa ini mengalami krisis peradaban yang sangat berat, sebagaimana pernah saya tulis dan ceramahkan dalam suatu orasi kebudayan di Universitas Paramadina, maka reaksi-reaksi ini memberikan suatu bukti betapa gerakan Islam makin lama makin bersifat konservatif. Oleh karena itu, saya menganggap tulisan-tulisan seperti Adian Husaini, Hartono Ahmad Jaiz dan lainnya, sebagai sesuatu yang memberikan informasi dan konfirmasi mengenai kondisi intelektual dan pemikiran Islam dewasa ini yang menurut hemat saya mengalami stagnasi dan krisis. Cuma, yang saya sayangkan adalah bahwa tulisan-tulisan itu umumnya miskin etika dan miskin moral. Sebagai contoh adalah tulisan-tulisan yang diterbitkan oleh media dakwah. Saya sendiri misalnya, pernah dituduh atau dikatakan mengangkangi Warda Hafidz. Ini kan suatu statemen yang jorok dan sangat menyinggung, tetapi inilah yang dilakukan oleh majalah yang menamakan diri sebagai media dakwah Islam.
Dalam jurnal Kebudayan dan Ulumul Qur’an, jurnalis dan ahli komunikasi, Ade Armando pernah membuat tulisan mengenai penampilan majalah media dakwah dengan kritis. Salah satu yang diungkapkannya adalah bahwa Media Dakwah–sebuah majalah Islam yang membawa misi dakwah–tidak memiliki etika dan moral sebagaimana yang seharusnya dicerminkan oleh sebuah majalah Islam, apalagi majalah Islam yang membawa misi dakwah. Hal yang sama juga diulang oleh Majalah Tabligh, penerbitan resmi PP. Muhammadiyah yang dikenal sebagai sarang konservatisme di lingkungan Muhammadiyah yang ide-idenya bertolak belakang dengan generasi muda Muhammadiyah yang berpandangan liberal.
Menurut cerita yang disampaikan oleh Moh. Shofan, ia pada suatu hari ditelepon oleh seorang reporter majalah Tabligh yang mengatakan bahwa majalah itu akan melakukan wawancara mengenai pluralisme. Sudah tentu, Moh. Shofan menerima permintaan itu dan akhirnya dilakukanlah wawancara. Singkat cerita, setelah dilakukan wawancara mengenai pluralisme itu panjang lebar, reporter majalah tersebut malah mengajukan tema wawancara lain, yaitu wawancara tambahan mengenai kasus pemecatannya sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Gresik. Selanjutnya, selang beberapa waktu Moh Shofan pun menunggu-nunggu penerbitan majalah itu. Tetapi apa hasil? Alangkah terkejut dan kecewanya dia, karena wawancara mengenai pemikiran pluralismenya tidak jadi dimuat. Justru yang dimuat adalah wawancaranya mengenai kasus pemecatan dirinya di Universitas Muhammadiyah Gresik.
Di lain pihak, majalah tersebut juga menyiapkan wawancara dengan dua orang, yaitu pertama dari PDM Gresik dan kedua dari Rektor UMG. Dua orang itu menyerang pemikiran-pemikiran Moh. Shofan yang disebutnya ”sipilis”. Dalam surat edaran yang dibuat oleh PDM yang ditujukan kepada Rektor UMG, menyatakan bahwa pandangan-pandangan Shofan dianggap berbahaya dan tidak sesuai dengan akidah Muhammadiyah. Sikap keberatan PDM Gresik, terhadap pandangan-pandangan Moh. Shofan itu dinilai bertentangan dengan AD/ART, Muqoddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, Kepribadian Muhammadiyah, Khittah Perjuangan Muhammadiyah dan keputusan P.P Muhammadiyah nomor: 149/KEP/1.0/B/2006, tentang Kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengenai konsolidasi organisasi dan amal usaha Muhammadiyah.
Mereka juga menuduh Moh. Shofan telah menyebarkan paham-paham sesat (baca: liberal) melalui proses perkuliahan di kelas, penerbitan buku dan berbagai kegiatan ilmiah lainnya, seperti seminar dan bedah buku. Bahkan, acara bedah buku dalam rangka ‘Nurcholish Madjid Memorial Lecter’ yang sejatinya dilaksanakan di UMG bekerja sama dengan Universitas Paramadina Jakarta, secara mendadak dibatalkan oleh Rektor UMG dengan alasan menyebarkan paham sesat.
Nah, dari keterangan di atas, menjadi jelas kiranya bahwa, Moh Shofan itu dipecat dari Universitas Muhammadiyah Gresik karena pandangan-pandangannya. Itu menunjukkan bahwa di lingkungan Muhammadiyah sudah tidak ada lagi kemerdekaan berpikir. Ini adalah merupakan bentuk kecil-kecilan dari inkuisisi yang selalu dikritikkan ke alamat orang-orang Kristen pada zaman abad tengah yang memang memberangus atau tidak memberikan kesempatan kemerdekaan berpikir, sehingga menimbulkan perang agama. Agama pada waktu itu menjadi bencana bukan menjadi rahmat dan setelah mengalami perang selama 80 tahun akhirnya diperoleh perundingan dan kesepakatan yang merupakan awal dari sekularisme yaitu pemisahan antara agama dan politik, dan seterusnya seperti yang terjadi di Eropa.
Umat Islam pada umumnya bersikap mendua. Kalau sekularisme di lingkungan Kristen mereka menyetujui dan ajaran Kristen dianggap salah dan patut disekularisasikan, tetapi kalau sudah menyangkut umat Islam mereka menolak penyamaan Islam dengan Kristen. Padahal yang terjadi itu sama saja, baik yang terjadi di lingkungan umat Islam dewasa ini maupun yang terjadi di lingkungan Kristen pada masa abad pertengahan. Hanya saja, umat Islam mengalami keterlambatan. Sehingga, menurut hemat saya, umat Islam sekarang ini memasuki zaman gelap dan menunggu datangnya masa pencerahan melalui trilogi; liberalisme, pluralisme dan sekularisme. Itu yang sekarang saya perjuangkan dan diperjuangkan oleh penulis dan pemikir muda Moh Shofan.
Moh Shofan ini ternyata seorang penulis yang produktif. Dalam beberapa tulisannya yang tercecer di berbagai media–yang diterbitkan dalam buku kumpulan karangan ini–pikiran-pikirannya banyak membuat kalangan Islam yang tidak sejalan dengannya kerap menuduhnya sebagai orang yang berpikiran sesat sebagaimana yang dituduhkan Majalah Tabligh. Pernah dalam salah satu opininya yang diterbitkan oleh Media Indonesia mendapat tanggapan serius dari kalangan Muhammadiyah seperti misalnya Abd. Rahim Ghazali. Dalam tanggapannya, di Media Indonesia, Abd. Rahim Ghazali, memutar balikkan persoalan yang menurut hemat saya tidak ilmiah dan bersifat fitnah yang harus dijawab, untung seorang penulis muda yaitu Asep Gunawan telah membantah habis-habisan apa yang di tulis oleh Abdul Rahim Ghazali itu. Jadi, masalahnya sekarang sudah clear.
Kasus pemecatan Moh Shofan ini telah menjadi bahan di dalam tesis yang ditulis oleh Pradana Boy ZTF. Dalam penelitiannya yang berjudul ‘In Defence of Pure Islam: The Conservative-Progressive Debate Within Muhammadiyah’, Boy dengan tegas dan berani menggambarkan bahwa ada pertarungan antara kubu konservatisme dan kubu progresifisme di Muhammadiyah. Boy juga meng-highlight tragedi pemecatan Moh. Shofan dari UMG dan pemecatan Dawam Rahardjo sebagai gejala konservatisme yang berbahaya bagi masa depan Muhammadiyah. Bukti empirik lainnya yang menggambarkan konservatisme Muhammadiyah adalah Muktamirin di Malang yang sangat kritis terhadap isu-isu kontemporer seperti pluralisme, liberalisme dan gender. ‘Terlemparnya’ para intelektual liberal dari kepengurusan Muhammadiyah seperti M. Dawam Rahardjo, Abdul Munir Mulkhan, Moeslim Abdurrahman dan Amin Abdullah serta terpilihnya Din Syamsuddin sebagai Ketua PP Muhammadiyah sebagai kemenangan kubu konservatif.
Penelitian Pradana Boy ini akan menjadi saksi sejarah tentang apa yang sebenarnya terjadi di Muhammadiyah dan merupakan pembongkaran terhadap segala sesuatu yang selama ini tersembunyi, karena Muhammadiyah selama ini merasa terbuai oleh berbagai macam pujian, baik di dalam buku-buku, tesis, disertasi dan sebagainya. Tetapi kali ini mulai muncul penelitian yang melontarkan kritik terhadap Muhammadiyah dan kekhawatiran terhadap salah satu organisasi terbesar di Indonesia ini.
Kesimpulan yang saya tarik adalah Muhammadiyah meluncur menjadi gerakan yang konservatif. Sekarang ini Muhammadiyah bergerak dari konservatisme menjadi fundamentalisme dengan masuknya beberapa tokoh seperti Adian Husaini, Yunahar Ilyas dan juga Godwill Zubair yang merupakan tokoh pentolan dari paham fundamentalisme.
Perkembangan yang terjadi di Muhammadiyah ini menarik karena hal ini memang sudah pernah disinyalir oleh Cak Nur (Nurcholish Madjid) yang mengatakan bahwa Muhammadiyah telah berhenti menjadi organisasi pembaharu, sedangkan rekannya yaitu NU justru telah mengalami pembaharuan, walaupun pada waktu tulisan Cak Nur itu dibuat atau diterbitkan, gerakan pembaharuan itu belum kentara, tetapi sekarang ini sudah makin kentara. Saya melihat bahwa NU berbeda jurusan dengan Muhammadiyah. Kalau Muhammadiyah sekarang meluncur ke arah konservatisme dan fundamentalisme, maka di NU, justru mengalami liberalisasi pemikiran dan lebih mencerminkan satu pemikiran Islam yang modern dan moderat serta bersatu dengan gerakan kebangsaan di Indonesia. NU sekarang ini berkembang sebagai gerakan pembaharu Islam karena ada tokoh semacam Abdurrahman Wahid yang dengan kepemimpinannya yang pasti dan jelas melindungi pemikiran-pemikiran dan menfasilitasi pemikiran-pemikiran liberal. Kalau di lingkungan Muhammadiyah unsur-unsur muda progresif itu disingkirkan paling tidak diwaspadai untuk ditegur. Tapi di lingkungan NU, seliberal apapun pemikirannya–seperti yang dilakukan Ulil Abshar Abdalla– walaupun dulu diusulkan untuk dilarang, tetapi NU tidak mengambil sikap untuk melarang gerakan tersebut.
Memang, di lingkungan Muhammadiyah sendiri ada juga gejala-gejala liberalisasi pemikiran dengan munculnya kelompok JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) dan juga PSAP (Pusat Studi Agama dan Peradaban). Demikian juga, saat Muhammadiyah dibawah kepengurusan Ahmad Syafi’i Ma’arif, yang telah tampil sebagai orang yang dianggap liberal bersama dengan pengurus pusat lainnya, seperti Abdul Munir Mulkhan, Amin Abdullah, Moeslim Abdurrahman dan juga saya sendiri. Tetapi, dalam kepengurusan Din Syamsudin, orang-orang itu telah tersingkir. Tokoh-tokoh itu konon dianggap sudah sepantasnya dikeluarkan dari Muhammadiyah karena berpikiran liberalis, pluralis dan sekuralis.
Hal ini sekali lagi memberikan bukti bahwa Muhammadiyah telah ditinggalkan oleh orang-orang yang berpandangan liberal, sehingga Muhammadiyah mengalami kemunduran lantaran sikap konservatisme dan fundamentalismenya. Hari depan Muhammadiyah dengan demikian adalah hari depan yang suram karena tidak lagi mewakili pemikiran yang moderat dan modern di Indonesia. Padahal semestinya, Muhammadiyah harus digantikan oleh anak-anak muda progresif, berpandangan liberal dan pluralis.
Saya merasa bersyukur sudah keluar dari lingkungan Muhammadiyah, sehingga saya merasa bebas untuk menulis mengenai apa yang saya yakini. Saya akan tetap berjuang untuk memperjuangkan trilogi yang diharamkan oleh MUI, karena saya mempunyai keyakinan, bahwa inilah jalan menuju pencerahan umat Islam dan hanya melalui pencerahanlah umat Islam akan bangkit kembali dan diterima oleh dunia modern. Sehingga umat Islam mengalami kemajuan secara internal dan memberikan sumbangan-sumbangan yang positif di dalam apa yang disebut public religion atau agama publik dengan sumbangan-sumbangan pemikiran keagamaan yang dibutuhkan sekali oleh bangsa kita dewasa ini.
Akhirnya, bagi mereka yang memiliki buku ini saya ucapkan selamat membaca. Dalam buku ini disertakan tulisan-tulisan tanggapan dari penulis lain seperti misalnya Budhy Munawar-Rachman, Zuhairi Misrawi, Martin Lukito Sinaga, Pradana Boy ZTF, Masdar Hilmi, Hasibullah Satrawi dan lain-lain yang melengkapi buku ini dalam bentuk dialog yang lebih menarik. Saya berharap bahwa buku ini tidak saja dibaca oleh kalangan umum yang bersimpati terhadap gerakan liberalisasi pemikiran Islam, tetapi dibaca juga oleh kalangan Muhammadiyah. Dan saya juga berharap bahwa buku ini akan mendapat reaksi yang sangat keras dari lingkungan Muhammadiyah sendiri karena Muhammadiyah memang sekarang berkembang menjadi gerakan konservatif dan reaksioner.
http://mohshofan.blogspot.com/2008/11/membaca-shofan-membaca-masa-depan.html
Sunday, November 21, 2010
Pluralisme Bukan Sekadar Toleransi
Catatan dari Kolokium Nasional Pemikiran Islam
Pluralisme Bukan Sekadar Toleransi
Didit Majalolo -
Din Syamsuddin
Para peserta sedang menyimak pendapat para pembicara dalam Kolokium Nasional Pemikiran Islam.
Namun yang membuat hati Muhadjir ketar-ketir, gelisah dan bahkan membuatnya sulit tidur, adalah masuknya satu pesan atau short message service (SMS) dari tokoh elite Muhammadiyah ke ponsel 'Presiden' Pengurus Pusat Muhammadiyah (PPM) yang kemudian di forward ke ponsel miliknya. Dalam SMS itu berisi kecaman keras atas dukungan Rektor UMM terhadap penyelenggaraan kolokium di kampus yang pernah menjadi tempat penyelenggaraan Muktamar ke-45 Muhammadiyah, beberapa tahun silam.
Terus terang, kata Muhadjir, begitu Ketua Umum PPM Din Syamsuddin, berkenan hadir membuka kolokium, Senin, 11 Februari 2008 lalu, yang dihadiri pula Direktur Al Maun Instritute Jakarta, Moeslim Abdurrahman dan Kepala PSIF UMM Syamsul Arifin itu, membuat hatinya plong. Ia menyadari, bahwa belum semua elite Muhammadiyah bersedia mendengar (apalagi menerima) atas munculnya keanekaragaman pemikiran kaum muda (Muhammadiyah) sesuai tantangan zaman di era global. Kaum muda yang gandrung dengan kekinian, yang kemudian lebih dikenal dengan kaum progresif, buru-buru oleh kaum elite Muhammadiyah yang lebih tua (dilabelisasi sebagai kaum konservatif), dicap sebagai kelompok radikal dan atau liberal.
"Terus terang, dengan kesediaan ketua umum PPM membuka dan memberikan kata sambutan pada kolokium yang diikuti sekitar 250 intelektual muda Muhammadiyah se-Indonesia, paling tidak ini dapat diisyaratkan sebagai legalitas (penyelenggaraan dialog oleh kaum progresif) dari pucuk pimpinan kelembagaan PPM," kata Muhadjir sambil menyebutkan adanya tiga kasta atau ordo dalam perserikatan (Muhammadiyah), yakni; ordo agamawan, ordo cendekiawan dan ordo pelayan. Yang kemudian oleh Din Syamsuddin ditambah dengan ordo keempat, yakni ordo penggembira.
Bukan Din Syamsuddin jika harus menunda tanggapan atas anggapan rektor UMM. "Saya kira, saya datang ke sini (acara kolokium) bukan untuk memberi legalitas, apalagi yang bersifat organisatoris. Kalaupun kehadiran saya secara fisik ini dianggap sebagai legalitas, mungkin legalitas etis semata karena pertemuan semacam ini merupakan bagian dari etika itu sendiri," ujar Din Syamsuddin. Namun Din kemudian buru-buru menyatakan sangat mendukung dan menyukai kegiatan tersebut karena ia secara pribadi pernah menggagas dan menyampaikan kepada kawan-kawan lain agar segera dilakukan dialog pemikiran dari kalangan pemikir Muhammadiyah di berbagai mazhab pemikiran, school of thought, baik atas pengaruh almamater mau pun pengaruh tempat tinggal, daerah, lokalitas, termasuk dua mazhab besar (kaum liberal dan kaum konservatif) yang muncul pascamuktamar ke 45 Muhammadiyah di UMM beberapa tahun silam.
Semua ini, kata Din Syamsuddin, dapat dilihat secara santai sebagai sebuah proses terapi yang kalau "diseriusi" kemungkinan bisa menjadi sesuatu yang menyedihkan. Kalau interaksi di antara keduanya (progresif dan konservatif) lebih mengedepankan dialektika pemikiran (diposisikan berhadap-hadapan) daripada dialog pemikiran (mencari titik-titik yang dianggap sama), maka yang terjadi justru benturan-benturan yang tidak akan pernah selesai, apalagi saling mendekat.
Dialog pemikiran yang sejuk guna menemukan wujud yang inovatif dan kreatif, menurut Din diperlukan dengan menjunjung tinggi budaya toleransi yang penuh kearifan. Masih rendahnya budaya toleransi atau kearifan (dalam kemajemukan umat itu sendiri), pada akhirnya tidak hanya melahirkan perbedaan-perbedaan semata, namun juga tidak menutup kemungkinan akan melahirkan dikotomi-dikotomi baru yang tidak perlu dan menguras banyak energi. "Saya kira disini penting untuk bersikap proporsional antara puritanisme dan modernisme," ujar Din.
Keagamaan yang Eksklusif
Sama dengan Muhadjir Effendy (dan mungkin pula sama dengan Direktur Al Maun Institute Jakarta, Moeslim Abdurrahman), maka Biyanto, dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya menyebutkan, tema pluralisme merupakan salah satu wacana yang banyak dibicarakan dalam kaitan hubungan sosial internal dan eksternal antarumat beragama. Pluralisme merupakan tantangan utama yang dihadapi agama-agama, kendati sejujurnya setiap agama muncul dari lingkungan kagamaan dan kultural yang plural, tetapi dalam rentang sejarah perkembangannya memunculkan sikap dan wawasan keagamaan yang eksklusif, bertentangan dengan nilai-nilai pluralisme itu sendiri.
Sebagaimana laporan dari pimpinan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) belum lama ini, selama rentang 2004-2007 terdapat 108 kasus penutupan, penyerangan, dan penyegelan gereja, tempat peribadatan kaum Kristinai. Daerah-daerah yang mengalami peristiwa penistaan itu di antaranya yang paling sering terjadi ada di kawasan Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah (Poso), dan Bengkulu.
Berbicara tentang pluralisme, menurut Biyanto yang paling banyak menyedot perhatian kaum (intelektual) muda Muhammadiyah direspon dengan sikap yang beragam, sejalan dengan luasnya wawasan dan pemahaman (faktor sosial) yang ikut membentuk karakter pandangan masing-masing. Sama dengan Din Syamsuddin, maka variasi respon terhadap pluralisme terbagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok setuju (pluralisme) yang diberi label kelompok progresif atau liberal dan kelompok yang tidak setuju yang dicap sebagai kelompok konservatif. Karena faktor sosial itulah, menurut Biyanto yang kemudian dijadikan perspektif dalam mengamati fenomena pluralis pandangan kaum muda Muhammadiyah.
Sejarah tentang pluralisme, menurut Biyanto dipergunakan para sarjana ekonomi dan politik seperti H J Boeke dan G S Furnivall untuk melihat fenomena kemajemukan masyarakat. Dalam perkembangannya, istilah pluralisme juga dipergunakan untuk memotret masyarakat yang multi agama. Masalah pluralisme menyeruak di benua Eropa dengan munculnya gerakan Protestanisme yang dipelopori Martin Luther yang mendobrak otoritas gereja Katolik Roma.
Sejak itu, Eropa menyadari bahwa agama sebagai kekuatan sosial memiliki kontribusi terhadap konflik sosial, sehingga sejak abad ke 17, Eropa memberikan pengakuan terhadap kemajemukan agama dalam masyarakat. Di Indonesia pun menunjukkan pengalaman fenomena yang relatif sama. Menyitir pendapat Budhy Munawar Rahman yang menggaribawahi, bahwa pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan keadaban, yang berarti terdapat mekanisme pengawasan dan pengimbangan sehingga terwujud keselamatan bagi umat manusia.
Biyanto menyitir lagi pendapat Diana L.Eck, yang menyebutkan, bahwa pluralisme bukanlah diversitas tetapi merupakan perjanjian yang penuh semangat dalam keragaman; pluralisme bukan sekadar toleransi melainkan usaha aktif untuk saling memahami perbedaan lintas batas; pluralisme tidak sama dengan relativisme tetapi merupakan pertemuan dari beberapa komitmen; serta pluralisme didasarkan pada dialog. Khusus dengan karakter dialog itu sendiri (seperti diinginkan Din Syamsuddin), maka dialog adalah bertemu, membahas secara mendalam, memberi dan menerima dengan penuh kearifan, kritis, termasuk kritis terhadap paham dan keyakinan masing-masing.
Studi dari Harold Coward menegaskan, bahwa pluralisme keagamaan dapat ditemukan dalam tradisi agama Yahudi, Kristen, Hindu, Budha dan Islam. Dalam agama Islam, prinsip pluralisme tampak lebih tegas dikarenakan agama ini mengajarkan doktrin mengenai ahli kitab, sekalipun penafsirannya sangat bervariasi. Dalam doktrin Islam ahli kitab mencakup kaum Yahudi dan Nasrani. Meski pluralisme dapat diketemukan dalam semua tradisi keagamaan, namun harus diakui bahwa pluralisme hanya mendapatkan tkanan yang kecil dibanding visi dan paham yang menekankan keunggulan satu agama trhadap agama yang lain.
Pluralisme merupakan kesadaran tentang koeksistensi yang absah dari sistem keagamaan, pemikiran, kehidupan sosial dan tindakan-tindakan yang dihakimi tidak kompatibel. Pluralisme keagamaan mengandung pandangan bahwa bentuk-bentuk yang berbeda dan bahkan bertentangan dengan keyakinan maupun perilaku keagaman, harus dapat hidup berdampingan. Persoalan pluralisme muncul ketika suatu tradisi tertentu mendominasi masyarakat, menafikan legitimasi aliran yang lain dan menganggapnya sebagai fenomena sektarian.
Dialektika Pemikiran
Penolak pluralisme menurut Biyanto seringkali memposisikan wacana itu sebagai bagian dari sekularisme dan liberalisme, sehingga lahir istilah Sipilis, kependekan dari sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Keputusan Fatwa Nomor: 1/Munas VII/MUI/2005 tanggal 29 Juli 2005 sendiri, ketiga paham (Sipilis) itu telah divonis sesat.
Pluralisme agama yang difatwakan sesat oleh MUI itu merupakan paham yang mengajarkan bahwa semua agama sama yang karenanya kebenaran setiap agama dinilai relatif. Setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama lain salah. Di sini (pluralisme) juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
Pluralisme dalam pengertian inilah yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam. Sementara berkaitan dengan fenomena pluralitas agama, MUI menganggap sebagai kenyataan bahwa di negara (atau daerah) tertentu memang terdapat berbagai pemeluk agama yang harus hidup secara berdampingan.
Biyanto sengaja mengemukakan definisi MUI karena menurut pendapat Adian Husaini, pengertian pluralisme yang divonis sesat MUI sering dimanipulasi oleh para penentangnya. Adian mencontohkan pendapat Syafi'i Anwar yang menyatakan pluralisme agama bukan berarti menyamakan semua agama melaikan lebih pada mutual respect dan semangat saling menghormati. Juga Ulil Abshar Abdallah, menyatakan bahwa pluralisme berarti sikap positif dalam menghadapi perbedaan, yakni sikap ingin belajar dari kelompok lain yang berbeda
Pendapat Syafi'i Anwar dan Ulil Abshar Abdallah menurut Adian Husaini sangat berbeda dengan makna akademis dan teologis mengenai pluralisme. Bagi Ardian, pluralisme merupakan paham yang khas dalam teologi dan bertujuan mempersamakan agama. Pluralisme tidak dapat didefinisikan seenaknya. Walau pun secara redaksional memberikan pernyataan yang berbeda, namun substansi pendapat Ulil Abshar Abdallah, Sumanto al Qurtuby, Budhy Munawar Rahman dan Ahmad Wahid, jelas-jelas menyamakan Islam dengan semua agama dan menolak kebenaran ekslusif akidah Islam. Lebih lanjut Adian menegaskan, bahwa pluralisme agama sebagai paham sirik.
Selain Adian, menurut Biyanto, penolakan terhadap gagasan pluralisme juga dikemukakan Syamsul Hidayat, Nuim Hidayat, Masyhud, dan Fakhrurrozi Reno Sutan. Muhammadiyah, disebutkan Syamsul Hidayat tidak menganut pluralisme karena paham ini mengajarkan kemusyrikan. Namun demikian, Muhammadiyah dapat memahami dan menerima pluralitas agama sehingga membuka diri untuk hidup berdampingan dan bekerja sama dengan siapa pun dalam masalah kebangsaan dan kemasyarakatan. [SP/Aries Sudiono]
Friday, November 19, 2010
Moh. Shofan dan Pemikiran Kontroversialnya Itu...
Moh. Shofan dan Pemikiran Kontroversialnya Itu...
(Tulisan ini dimuat dalam kata pengantar editor buku 'Menegakkan Pluralisme' Karya Moh. Shofan)Ali Usman
Tak banyak orang yang mendapat kesempatan seperti Moh. Shofan, menelurkan percik pemikiran kontroversialnya dalam sebuah buku, yang kemudian dikomentari oleh teman-teman sejawatnya. Shofan, di usianya yang masih belia telah menjadi “buah bibir” banyak orang dan cukup “dikenal” bak selebritis yang sedang naik daun. Gaung pemikiran dan keterkenalan dirinya berawal dari tulisan provokatifnya di harian Surya yang berjudul ‘Natal dan Pluralisme Agama’ pada akhir Desember 2006, membuat para petinggi di jajaran kepengurusan Cabang dan Daerah Muhammadiyah serta di kampus tempat dirinya bernaung, Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG) “kebakaran jenggot”. Shofan mungkin tak pernah menyangka, bahwa hanya lantaran mengucapkan selamat Natal bagi umat Kristiani telah menyebabkan dirinya tersingkir dari jabatannya sebagai dosen.
“Ah, sungguh malang nasibmu kawan”, kataku selang beberapa hari mendengar berita mengejutkan itu. “Ya, itulah mungkin perjalanan hidup aku yang dititahkan oleh-Nya”, jawabnya menimpali. Kesanku, Shofan dalam hal ini sungguh tegar menerima “cobaan” ini. Entah waktu itu, yang saya pikirkan adalah nasib istri dan anaknya yang masih belia.
Tetapi beberapa waktu kemudian, ia kembali mengabariku, bahwa ia sedang berada di Jakarta. “Wah, kini ia berada di posisi aman”, pikirku—sambil menyamakan layaknya posisi dalam kompetisi atau pertandingan olahraga. Firasatku ternyata benar. Di Jakarta, ia lebih leluasa dapat bertemu secara intens dengan banyak tokoh dan pemikir pluralis tersohor di Tanah Air. Ia pun merapat dan berteduh di PSIK (Pusat Studi Islam dan Kenegaraan) Universitas Paramadina dan LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat) yang dimotori oleh M. Dawam Rahardjo dan juga Budhy Munawar-Rachman.
Alhasil, dengan terus mengamati kiprahnya sejak di Jakarta, pemikiran-pemikiran Shofan menurut saya, jauh lebih progres dan produktif bila dibandingkan ketika ia berada dalam sangkar yang memenjara kebebasan berfikirnya di UMG. Saya yakin, hal itu juga tampaknya dirasakan oleh Shofan.
Padahal kampus, menurut Shofan, mestinya akomodatif terhadap segala pemikiran yang plural dan liberal sekalipun, sekaligus menjunjung tinggi kebebasan berpikir di lingkungan akademis. Dalam artian kata, perlu dibedakan antara wilayah perguruan tinggi (Islam) dengan masyarakat umum. Sebuah perguruan tinggi menurut Munir Mulkhan, dibangun dan dipelihara untuk mengembangkan tingkat intelektualitas. Salah satu bentuk intelektualitas itu adalah lewat berpikir kritis. Nah, salah satu hasil dari pola berpikir kritis itu adalah dihasilkannya teori baru atau pandangan baru. Dan Shofan menurut saya, mengupayakan hal yang demikian.
Dalam skala lebih luas, “kasus lokal” yang menimpa Shofan sebenarnya terkait erat dengan isu nasional yang sejak masa Orde Baru, pemerintah melalui MUI mengharamkan seorang muslim mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani. Kondisi ini kembali diperkeruh oleh “lagi-lagi” pengharaman paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme. Sementara bagi Ormas Islam (termasuk Muhammadiyah?) seolah mengamini begitu saja fatwa MUI tersebut, tanpa penyaringan yang ketat.
Shofan adalah korban atas “kesuksesan” negara melakukan intervensi berlebih kepada warga negaranya dalam urusan beragama. Agama yang semestinya menjadi ruang privasi bagi pemeluknya, malah diangkat menjadi kepentingan negara. Mungkin inilah, tulis Hannah Arent dalam The Human Condition-nya, kegagalan modernitas yang menjadi “berhala” bagi negara-negara maju dan berkembang (termasuk Indonesia) menganggap tidak relevan lagi memisahkan antara “ruang publik” dan “ruang privat”.
Maka tak heran, bila Muhammed Yunis, seorang pemikir keagamaan Mesir, dalam al-Takfir baina al-Din wa al-Siyasah mengemukakan, bahwa pengkafiran (takfir), klaim sesat, dan sejenisnya, tak pernah lepas dari perskongkolan antara negara (politik) dan lembaga keagamaan (agama). Bagi Yunis, nuansa politis terhadap sesuatu yang menyangkut persoalan agama dalam hubungannya dengan warga di suatu negara, dipastikan ada “main mata” antara politik dan agama itu sendiri.
* * *
Saya memang tidak terlalu lama mengenal sosok pribadi Shofan. Perkenalan itu terjadi ketika saya ikut serta mencarikan penerbit di Yogyakarta untuk menerbitkan bukunya yang pertama berjudul Pendidikan Berparadigma Profetik: Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam (IRCiSoD, 2004). Sejak itulah, komunikasi pun terus terjalin hingga saat ini.
Shofan yang saya kenal, tidak seperti yang dicitrakan negatif oleh “musuh-musuhnya” ketika mengomentari pemecatan dirinya, baik di milis (milling list) maupun dalam kesehariannya. Sungguh itu fitnah kubra. Bukankah fitnah lebih kejam dari membunuh (al-fitnatu asyaddu min al-qatl)? Tetapi perlu disadari, bahwa pejuang kebenaran itu tak pernah absen dari intimidasi, penindasan, dan pengusiran. Masih beruntung Shofan sebagai salah satu dari para pejuang kebenaran hanya dipecat dari kampus. Para pejuang dari kalangan filsuf-sufi, seperti al-Hallaj, Syekh Siti Jenar, Suhrawardi, dan lain-lain, harus rela mati di tiang gantungan demi mempertahankan kebenaran. Begitu halnya dengan Shofan. Demi membela pluralisme dan kemanusiaan, ia berani menanggung akibat yang amat “memprihatinkan”. Orang yang tidak sepaham dengannya boleh bilang bahwa pemikiran-pemikirannya “berbahaya”, melenceng dari akidah Islam, bahkan dibilang “sesat dan menyesatkan”. Namun ketersesatan itu menurut saya, berada di jalan yang benar.
Di era kontemporer sekarang ini, banyak kalangan tiada henti-hentinya mengingatkan akan pentingnya pengakuan sebuah pluralisme, sehingga tercipta keharmonisan dan kedamaian hidup di dunia. Dalam hal ini, terkadang saya berpikir, kok bisa-bisanya Shofan yang secara akademik ber-basic pendidikan (tarbiyah)—baik S1 maupun S2 yang ia tempuh di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)—sangat lihai dan fasih berbicara tentang pluralisme, civil society, kemanusiaan, dan pembelaan terhadap kaum marjinal. Mengapa ia tidak “tertarik” menyuarakan isu-isu tentang pendidikan yang humanis, pendidikan pembebasan atau kondisi pendidikan nasional di negara kita, misalnya? Hal itu menunjukkan bahwa usaha menyadarkan akan pentingnya mengakui pluralisme dalam pengertian yang seluas-luasnya adalah tugas semua kalangan tanpa melihat kelas dan basic pendidikan.
Dari itu, mengacu pada kasus Shofan tersebut, menurut saya, adalah lagkah mundur bagi Muhammadiyah secara institusi. Sebuah ormas Islam yang mengaku diri sebagai salah satu kelompok pembaharu Islam di Indonesia, yang “bertitel” kaum moderat(isme). Pamor Muhammadiyah secara tidak langsung sebenarnya telah runtuh, dan memang dalam banyak hal, kini sudah mengalami pergeseran.
Secara pribadi, saya sebagai orang luar (bukan warga Muhammadiyah) yang tak tahu apa-apa dan tidak punya kepentingan apapun, turut berempati sekaligus ironi atas kondisi tersebut. Jika dahulu pada masa-masa berdirinya Muhammadiyah sempat dijuluki sebagai “kaum berdasi” karena sikap moderatnya itu, sementara ormas lain seperti NU dikatakan “kaum sarungan”, santri atau tradisional yang identik dengan sikap kolot, jumud, dan anti kemajuan. Tetapi kini, predikat itu tampaknya telah mengalami keterbalikan.
Terjadinya pemecatan seorang dosen di “kandangnya” sendiri, yang boleh jadi, tidak hanya dilatari oleh alasan teologis tetapi juga diselubungi oleh kepentingan-kepentingan tertentu menjadi bukti kuat adanya “sikap konservatisme” di tubuh Muhammadiyah. Di samping itu, jika mau jujur, “sikap konservatisme” yang ditunjukkan oleh sebagian tokoh dan kalangan Muhammadiyah merupakan identitas aslinya, yang menurut Nur Khalik Ridwan (2005) sebagai penyeru “Islam murni” dengan berkedok gerakan Wahabi dari Timur Tengah. Karenanya, tak salah bila Muhammadiyah dan ormas Islam lain yang mirip dan “sealiran” dengannya, seperti Persatuan Islam (Persis) yang berpusat di Bandung dilabeli sebagai “agama borjuis”.
Kritik Nur Khalik Ridwan ini mestinya menyadarkan umat Islam Indonesia yang tanpa disadari banyak dipengaruhi kuat oleh “Islam ala Arab”, sementara “Islam berwajah asli nusantara atau Indonesia”—meminjam istilah Gus Dur tentang gagasan pribumisasi Islamny— tersingkiran. Tidak heran apabila pola keberagamaan umat Islam cenderung melenceng dari nilai-nilai luhur keramahan sebagai budaya dan karakteristik masyarakat Indonesia. Kekerasan dengan jubah atas nama agama sering terjadi di negeri ini yang konon dikenal sebagai bangsa yang ramah.
Di sini, Muhammadiyah berwajah paradoks; moderatisme di satu sisi, dan di sisi lain juga menampilkan wajah konservatismenya. Misalnya, sejak awal berdirinya, Muhammadiyah dengan lantang dan tanpa ampun memerangi penyakit apa yang dinamai TBC (takhayul, bid’ah dan khurafat). Lantas, apakah persoalan kebebasan berpikir dan kreativitas dalam menulis (berkarya) seperti yang ditunjukkan Shofan itu termasuk dari penyakit TBC, sehingga pantas diberantas?
Dalam bidang pendidikan, sikap konservatisme yang ditonjolkan (sebagian?) warga Muhammadiyah itu tak seirama dengan mendulangnya bangunan perguruan tinggi yang dimiliki. Lihatlah betapa canggih dan megahnya universitas-universitas Muhammadiyah yang ada; seperti di Malang (UMM), Yogyakarta (UMY), Jakarta (UMJ), Surabaya (UMS), termasuk di Gresik (UMG). Kepopulerannya itu masih menyimpan bias konservatif dalam perilaku, tindakan dan terlebih pada pemahaman keagamaannya. Hukum kausalitas tidak berlaku bagi Muhammadiyah. Bangunan pendidikannya yang semakin mewah, megah dan canggih sebagai penanda kemodernan, tak mampu merubah pola sikap dan pemahaman keagamaan warganya yang masih konservatif dan tradisional. Apalagi, luasnya bidang sosial yang digarap oleh Muhammadiyah yang dikenal dengan tiga serangkai; rumah sakit, pendidikan dan panti asuhan, menimbulkan tanda tanya besar di kalangan masyarakat, terutama dari sisi pembiayaan (finansial).
Mungkin seandainya KH. A. Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah masih hidup, niscaya ia akan menangis dan meratapi kondisi sosial ini. Pendidikan dan prasarana lembaga sosial, yang pada mulanya dicanangkan oleh A. Dahlan untuk membantu sekaligus ikut serta mencerdaskan anak bangsa—terutama bagi kaum miskin—tetapi pada kenyataannya tidak semua lapisan masyarakat menjangkau biaya pendidikan yang dibebankan oleh lembaga Muhammadiyah.
* * *
Berawal dari provokasi saya kepada Shofan, bagaimana jika seandainya dia mengumpulkan ragam tulisan-tulisannya yang berserakan, baik yang sudah dimuat di media massa maupun dalam bentuk makalah, yang ia presentasikan di banyak tempat. Tak dinyana, Shofan menyambutnya dengan sangat antusias, sehingga lahirlah percik pemikiran-pemikirannya dalam buku ini, yang ia tulis kurang lebih dua tahun pascatragedi pemecatan itu.
Beberapa bulan kemudian, sebagai tindak lanjut dari provokasi tersebut—seolah tak mau kalah—Shofan kembali menghubungi saya dengan langsung melemparkan tanggung jawab penyuntingan kepada saya. Dan apa boleh buat, atas nama persahabatan, saya menerimanya dengan senang hati. Apalagi, daya tarik buku ini dilengkapi dengan tanggapan yang berisi pro-kontra atas diri Shofan dan gagasan pluralisme yang ia usung. Saya tidak menganggap kehadiran buku ini sebagai counter dan pembelaan Shofan terhadap oknum yang terlibat “konspirasi” atas pemecatan Shofan yang hanya lantaran mengucapkan selamat Natal. Tetapi lebih dari itu, merupakan sebagai “dokumentasi akademik”, agar di kemudian hari menjadi cerminan untuk generasi intelektual berikutnya. Biarlah publik dan anak cucu kita kelak tahu yang sebenarnya, bahwa ada yang “tidak beres” dengan Ormas Islam yang menamakan diri Muhammadiyah ini. Shofan hanyalah menjadi “tumbal” atas konservatisme di perguruan tinggi—yang mengklaim diri sebagai gerakan pembaharu Islam Indonesia.
Selain itu, belajar dari kasus Shofan, persinggungan dan pertarungan antar kelompok di Muhammadiyah—yang selama ini banyak diragukan, dan bahkan ditutup-tutupi oleh sebagai kalangan—semakin tampak jelas dan tersingkap. Bahwa saat ini, pertentangan antara kelompok progresif-liberal versus kelompok fundamentalisme-konservatif di tubuh Muhammadiyah benar-benar berwujud nyata.
Fakta ini juga diperkuat oleh temuan mutakhir Pradana Boy dalam tesisnya berjudul ”In Defence of Pure Islam: The Conservative-Progressive Debate Within Muhammadiyah”, yang ia pertahankan di Australian National University (ANU). Tidak hanya kasus Shofan, Boy juga mensinyalir tersingkirnya tokoh-tokoh penting seperti M. Dawam Rahardjo, M. Amin Abdullah, dan M. Munir Mulkhan dari kepengurusan Muhammadiyah, hingga kemenangan Din Syamsuddin sebagai ketua di Muktamar Malang 2004 menjadi bukti nyata dominasi kelompok fundamentalisme-konservatif di tubuh Muhammadiyah, yang perlahan-lahan tapi pasti bakal membuang jauh-jauh kelompok progresif-liberal.
Jadi untuk mengetahui perkembangan arah gerakan Muhammadiyah mutaakhir, boleh jadi penelitian Boy tersebut adalah salah satu—untuk tidak mengatakan satu-satunya—acuan yang wajib dibaca dan diketahui oleh khalayak umum. Shofan dan kawan-kawan lain yang “sealiran” dengannya, hemat saya, menjadi apa yang oleh Gayatri Spivak (1985) disebut sebagai “subaltern”, yaitu subjek tertindas dan kelas inferior (Gramscian). Kelompok ini dalam banyak kasus, memang selalu mengalami kekalahan dalam perebutan “kuasa makna” (dalam pengertian Foucault).
Karena itu secara sadar, Shofan mengaku siap dan berani menghadapi resiko atas konsekuensi terbitnya buku ini, yang dipastikan membuka “luka lama” di tubuh Muhammadiyah. Shofan hendak membuktikan, bahwa “subaltern” mampu berbicara, mengangkat bendera “perlawanan” demi mempertahankan kebenaran. Pluralisme dalam pandangan Shofan, tidak hanya berkutat pada persoalan ide, tapi sejatinya dapat ditegakkan di muka bumi.
Sebagai kata pamungkas, saya ingin mendedahkan ungkapan Roland Barthes dalam artikel yang terkenal, The Death of Author dalam berkreativitas melahirkan sebuah karya. Menulis, kata Barthes, adalah kedalamannya subjek melarikan diri, hitam putih dan semua identitas hilang, mulai dengan identitas tubuh pengarang (Heraty, 2000). Itu sebabnya, Dee (Dewi Lestari) juga menyadari hal yang sama. Bahwa menurutnya, “menulis adalah perjalanan menuju suatu kelahiran. Dan karya yang dilahirkan ibarat air nan bergulir bebas di lereng perasaan dan pikiran. Ia dapat tertahan di semak. Ia bisa hinggap di akar yang merambat. Namun ia juga bisa menggelinding lancar untuk melebur dalam samudera luas. Tak ada yang dapat menghitung berapa ceruk di lereng itu. Tak ada yang tahu seberapa gerah tetumbuhan di sana. Ia hanya akan bisa mengalir... sebisanya”. Baik Barthes maupun Dee di atas hendak mendengungkan bahwa pengarang (author) sebenarnya telah “mati” bilamana teks yang ia gubah itu telah menyeruak ke publik. Di sini, otonomi pembaca sangatlah ditekankan. Sapere aude!
http://mohshofan.blogspot.com/2009/01/moh-shofan-dan-pemikiran.html
Thursday, November 18, 2010
Colonial Educational Policy and Muhammadiyah's Education (Analitical History of Muhammadiyah in Yogyakarta 1912-1942)
Jurnal/Journal from digilib-uinsuka / 2008-06-13 16:47:53
By : DRS. YAHDAN IBNU HUMAN SALEH, SU., Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Created : 2008-06-13, with 1 files
Keyword : COLONIAL EDUCATIONAL POLICY AND MUHAMMADIYAH'S EDUCATION
Muhammadiyah was an Islamic missionary organization and movement founded on November 18, 1912 by Kyai Haji Ahmad Dahlan at Yogyakarta. It had aim to spread of the true and genuine teaching of Islam among the population and especially among its members.
If the various kinds of an economic, social, political, as well as cultural aspects were the whole process of growth of Indonesian Nationalism, Muhammadiyah, for this reason, could be said had the goal or value orientation. Because it could be considered as the Muslim, social, educational and religious movement prossessed the goal to attain a way of life free from colonialism.
In a colonialism situation nationalism might be seen as a social and moral force which had and orientation towards the future. In the mean while, Muhammadiyah might be understood as a group action or collective activity to face a condition of backwardness by responding according ti its position.
This organization fashioned nationalism by constituting and influential moral force, that tried to moralize all developments in the society, without any political ambition whatsoever, as a response to political, cultural and social conditions.
Some social changes were introduced in 1912-1942 with a formal and non-formal education system were adopted of the methods of the West, which were practised in other activities. For these purpose, unser the first four period charismatic leaders, the foundation of educational and social establishment had been set up and dedicated for the people's welfare and progress.
The social contribution given by Muhammadiyah in the field of social welfare from 1912-1942 were: bureaucratization as the process of retionalizing organization, the establishment of the new system of educational institution (1912, 1920, 1921, 1926, 1934, 1937), the form of scout movement Hiab al-wathan (1918), to educate young generation, the founding of hospital and clinic (1923) and orphanage (1925) among the Indonesian in general, and the Muslim in particular, which were not only in backwardness, but also in weakest condition socially, economically and politically, suppressed by Dutch colonialism.
Muhammadiyah emphasized the importance of schools as means of education in both general and religious subjects. The combination of the two kinds of education so that became typical in all Muhammadiyah schools, from kindergartens to senior high schools. The schools established by Muhammadiyah had been most beneficial to the Indonesian people, particularly in the Dutch Colonial rule when schools were rare.
Colonial educational policy was only to supply skilled and semi-skilled labourers for industries and plantation owned by the Dutch and to fill jobs as lower government officials. It was not possible the Dutch policy to emancipate the indonesian people from the backwadness and therefore the number of public school was kept as low as possible.
Copyrights : Copyright (c) 2008 by Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Verbatim copying and distribution of this entire article is permitted by author in any medium, provided this notice is preserved.
http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka--drsyahdani-161
Neo-Sinkretisme Petani Muhammadiyah
Jurnal/Journal from digilib-uinsuka / 2008-06-19 14:54:57
By : ABDUL MUNIR MULKHAN , Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Created : 2008-06-19, with 1 files
Keyword : Neo-Sinkretisme, Petani, Muhammadiyah
In essence, the syncretic belief of the peasants is not in accordance with Muhammadyah principles. Eventhough, the data show an increasing number of rural peasants who commit to this organization. This commitment means distortion of functional relationship pattern between work and belief. Being Muhammadiyah folowers can bring contradiction to thier previous belief and thier life pattern. Such kind of internal contradiction raises a conflict of belief which leads to the rise of syncretism and MUhammadiyah movement changed on the bases of their cultural system. This fact shows belief dualism among rural peasants.
Muhammadiyah has a mission eradicating syncretisme which has been the basis of rural peasants' view. The Comitment of the peasants to folllow this organiszation does not mean rejection of this belief. Rather, life pattern and struggle of fulfilling their daily needs make them choose both, organization and belief, which give rise to new syncretism.
economic and political crisis urges the peasants to take Muhammadiyah as their new identity which will bring up their position in the changing social structure. Consequently, the function of the organization changes into more or less, a mediator in facing social, economic and political structure which is bigger and modern. On one hand, to make them accepted by MUhammadiyah community, their syncretic belief and its ritual systems are modified. and the other hand, some of MUhammadiyah institution components are sacralized according to thier way of life. Such a condition could bring a carismatic experience, in which Muhammadiyah Commmitment of peasants is stronger than that of other followers.
http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka--abdulmunir-239
Wednesday, November 17, 2010
The Muhammadiyah and the Theory of Maqasid al-Shari`ah
Fathurrahman Djamil
Abstraksi
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi dan gerakan sosial-keagamaan di Indonesia yang berhubungan dengan reformasi (tajdid) Islam pada umumnya dan hukum Islam khususnya. Bagi Muhammadiyah, tajdid memiliki makna ganda: reformasi dan modernisasi. Untuk menjalankan tajdid secara benar, menurut Muhammadiyah, perlu menggunakan kekuatan pikiran yang sesuai dengan ajaran Islam. Dalam hal ini, tajdid sangat berdekatan dengan ijtihad. Muhammadiyah memandang bahwa ijtihad dapat dilakukan atas permasalahan yang belum ditetapkan oleh Qur'an dan Sunnah secara tegas dan juga terhadap masalah-masalah yang sudah ditetapkan oleh kedua sumber tersebut.
Terhadap masalah pertama Muhammadiyah menggunakan metodologi ijtihad yang dicanangkan oleh para usuliyyun, sementara terhadap masalah yang kedua, organisasi ini mencoba untuk menafsirkan al-Qur'an dan Sunnah sesuai dengan keadaan masyarakat Islam kontemporer. Tentu saja, dalam menyelesaikan masalah-masalah kontemporer, peran akal tidak dapat diabaikan.
Dengan menggunakan teori maqasid al-shariah, Muhammadiyah mencoba untuk menangani masalah-masalah fiqhiyyah kontemporer, khususnya yang menyangkut kehidupan duniawi. Sejauh mengenai penerapan konsep maslahah, Muhammadiyah tampak lebih mementingkan maslahah dibandingkan nas.
Download file
Prof. Dr. M. Amien Rais: Pluralisme Kebablasan!
Baca pikiran Pluralisme Agama oleh Amien Rais. Wawancara ini dikutip dari Majalah Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah Edisi Maret 2010.
Apa pendapat Anda mengenai aliran pluralisme?
Akhir-akhir ini saya melihat istilah pluralisme yang sesungguhnya indah dan anggun justru telah ditafsirkan secara kebablasan. Sesungguhnya toleransi dan kemajemukan telah diajarkan secara baku dalam Al-Quran. Memang Al-Quran mengatakan hanya agama Islam yang diakui di sisi Allah, namun koeksistensi atau hidup berdampingan secara damai antar-umat beragama juga sangat jelas diajarkan melalui ayat, lakum diinukum waliyadin” (Bagiku agamaku dan bagimu agamamu). Dalam istilah yang lebih teknis, wishfull coexistent among religions, atau hidup berdamai antarumat beragama di muka bumi.
Adakah yang keliru dari aliran pluralisme?
Nah, karena itu tidak ada yang salah kalau misalnya seorang Islam awam atau seorang tokoh Islam mengajak kita menghormati pluralisme. Karena tarikh Nabi sendiri itu juga penuh ajaran toleransi antarberagama. Malahan antar-umat beragama boleh melakukan kemitraan di dalam peperangan sekalipun. Banyak peristiwa di zaman Nabi ketika umat Nasrani bergabung dengan tentara Islam untuk menghalau musuh yang akan menyerang Madinah.
Jadi apa yang dibablaskan?
Saya prihatin ada usaha-usaha ingin membablaskan pluralisme yang bagus itu menjadi sebuah pendapat yang ekstrim, yaitu pada dasarnya mereka mengatakan agama itu sama saja. Mengapa sama saja? Karena tiap agama itu mencintai kebenaran. Dan tiap agama mendidik pemeluknya untuk memegang moral yang jelas dalam membedakan baik dan buruk. Saya kira kalau seorang muslim sudah mengatakan bahwa semua agama itu sama, maka tidak ada gunanya shalat lima waktu, bayar zakat, puasa Ramadhan, pergi haji, dan sebagainya.
Karena agama jelas tidak sama. Kalau agama sama, banyak ayat Al-Quran yang harus dihapus. Nah, kalau sampai ajaran bahwa “semua agama sama saja” diterima oleh kalangan muda Islam; itu artinya, mereka tidak perlu lagi shalat, tidak perlu lagi memegang tuntunan syariat Islam. Kalau sampai mereka terbuai dan terhanyutkan oleh pendapat yang sangat berbahaya ini, akhirnya mereka bisa bergonta-ganti agama dengan mudah, seperti bergonta-ganti celana dalam atau kaos kaki.
Apakah kebablasan pluralisme karena faktor kesengajaan atau rekayasa?
Saya kira jelas sekali adanya think tank atau dapur-dapur pemikiran yang sangat tidak suka kepada agama Allah, kemudian membuat bualan yang kedengarannya enak di kuping: semua agama itu sama. Jika agama itu sama, lantas apa gunanya ada masjid, ada gereja, ada kelenteng, ada vihara, ada sinagog, dan lain sebagainya.
Yang dimaksud dengan think-tank ?
Saya yakin think tank itu ada di negara-negara maju yang punya dana berlebih, punya kemewahan untuk memikirkan bagaimana melakukan ghazwul fikri (perang intelektual terhadap dunia Islam). Misalnya, kepada dunia Islam ditawarkan paham lâ diniyah sekularisme yang menganggap agama tidak penting, termasuk di dalamnya pluralisme, yang kelihatannya indah, tapi ujung-ujungnya adalah ingin menipiskan akidah Islam supaya kemudian kaum muslim tidak mempunyai fokus lagi. Bayangkan kalau intelektual generasi muda Islam sudah tipis imannya, selangkah lagi akan menjadi manusia sekuler, bahkan tidak mustahil mereka menjadi pembenci agamanya sendiri.
Sepertinya aliran pluralisme itu sudah masuk ke kalangan muda Muhammadiyah, pendapat Anda?
Kalau sampai aliran pluralisme masuk ke kalangan muda Muhammadiyah, ini musibah yang perlu diratapi. Oleh karena itu, saya menganjurkan sebelum mereka membaca buku-buku profesor dari Amerika dan Eropa, bacalah Al-Quran terlebih dahulu. Saya sendiri yang sudah tua begini, 66 tahun, sebelum saya membaca buku-buku Barat, baca Al-Quran dulu. Karena orang yang sudah baca Al-Quran, dia akan sampai pada kesimpulan bahwa berbagai ideologi yang ditawarkan oleh manusia seperti mainan anak-anak yang tidak berbobot. Jika meminjam istilah Sayyid Quthb, seorang yang duduk di bawah perlindungan Al-Quran ibarat sedang duduk di bukit yang tinggi, kemudian melihat anak-anak sedang bermain-main dengan mainannya. Orang yang sudah paham Al-Quran akan bisa merasakan bahwa ideologi yang sifatnya man-made, buatan manusia, itu hanya lucu-lucuan saja. Hanya menghibur diri sesaat, untuk memenuhi kehausan intelektual ala kadarnya. Setelah itu bingung lagi.
Kenapa paham pluralisme itu bisa masuk ke kalangan muda Muhammadiyah? Apa karena Muhammadiyah terlalu terbuka atau karena tidak adanya sistem kaderisasi?
Hal ini perlu dipikirkan oleh pimpinan Muhammadiyah. Saya melihat, banyak kalangan muda Muhammadiyah yang sudah eksodus. Kadang-kadang masuk ke gerakan fundamentalisme, tapi juga tidak sedikit yang masuk Islam Liberal. Islam yang sudah melacurkan prinsipnya dengan berbagai nilai-nilai luar Islam. Hanya karena latah. Karena ingin mendapatkan ridho manusia, bukan ridho Ilahi. Oleh karena itu, lewat majalah Tabligh, saya ingin mengimbau kepada anak-anak saya, calon-calon intelektual Muhammadiyah, baik putra maupun putri, agar menjadikan Al-Quran sebagai rujukan baku . Saya pernah tinggal di Mesir selama satu tahun. Saya pernah diberitahu oleh doktor Muhammad Bahi, seorang intelektual Ikhwan, ketika saya bersilaturahmi ke rumah beliau, beliau mengatakan, “Hei kamu anak muda, kalau kamu kembali ke tanah airmu, kamu jangan merasa menjadi pejuang Muslim kalau kamu belum sanggup membaca Al-Quran satu juz satu hari.” Waktu itu saya agak tersodok juga, tetapi setelah saya pikirkan, memang betul. Kalau Al-Quran sebagai wahyu ilahi yang betul-betul membawa kita kepada keselamatan dunia-akhirat, kita baca, kita hayati, kita implementasikan, kehidupan kita akan terang benderang. Tapi kalau pegangan kita pada Al-Quran itu setengah hati. Kemudian dikombinasikan dengan sekularisme, dengan pluralisme tanpa batas, dengan eksistensialisme, bahkan dengan hedonisme, maka kehidupan kita akan rusak. Sehingga betul seperti kata pendiri Muhammadiyah dalam sebuah ceramah beliau, “Ad-dâ’u musyârokatullâhi fii jabarûtih”. Namanya penyakit sosial, politik, hukum, dan lain-lain, itu sejatinya bersumber kepada menyekutukan Allah dalam hal kekuasaannya. Obatnya bukan menambah penyakit, yakni dengan isme-isme yang kebablasan, tapi obatnya itu, “adwâ’uhâ tauhîddullâhi haqqa”. Obatnya adalah tauhid dengan sungguh-sungguh. Jadi, saya juga ingat dengan kata-kata Mohammad Iqbal: “The sign of a kafir is that he is lost in the horizons. The sign of a Mukmin is that the horizons are lost in him.” Saya pernah termenung beberapa hari setelah membaca pernyataan Mohammad Iqbal yang sangat tajam itu. Karena betapa seorang mukmin akan begitu jelas, begitu paham, begitu terang benderang memahami persoalan dunia. Sedangkan orang kafir, bingung dan tersesat.
Sepertinya Muhamadiyah mulai terseret arus pluralisme, contohnya pada saat peluncuran novel Si Anak Kampoeng. Penulisnya mengatakan, sebagian dari keuntungan penjualan akan digunakan untuk membentuk Gerakan Peduli Pluralisme, pandangan Anda?
Saya tidak akan mengomentari apa dan siapa. Cuma adik saya yang anggota PP Muhammadiyah, pernah memberikan sedikit kriteria atau ukuran yang sangat bagus. Dia bilang begini, “Kalau orang Muhammadiyah sudah tidak pernah bicara tauhid dan malah bicara hal-hal di luar tauhid, apalagi kesengsem dengan pluralisme, maka perlu melakukan koreksi diri.” Apakah itu tukang sapu di kantor Muhammadiyah, apakah tukang pembawa surat di kantor Muhammadiyah, apakah profesor botak, sama saja. Kalau sudah tidak kerasan berbicara tauhid, mau dikemanakan Muhammadiyah? Muhammadiyah ini bisa bertahan sampai satu abad, tetap kuat, tidak pikun, dan masih segar, karena tauhidnya. Implementasi tauhidnya di bidang sosial, pendidikan, hukum, politik, itu yang menjadikan Muhammadiyah perkasa dan tidak terbawa arus. [www.hidayatullah.com]
Thursday, November 11, 2010
Muslim Women's Politics in Advancing Their Gender Interests: A Case-Study of Nasyiatul Aisyiyah in Indonesian New Order Era
Jurnal/Journal from digilib-uinsuka / 2009-10-22 10:08:25
By : SITI SYAMSIYATUN, Jurnal Al Jami'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Created : 2009-10-22, with 1 files
Keyword : Women Organization, Gender, Interest, Nasyiatul Aisyiyah, Politics, New Order
Copyrights : Copyright (c) 2009 by Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Verbatim copying and distribution of this entire article is permitted by author in any medium, provided this notice is preserved.
http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka--sitisyamsi-2989
Wednesday, November 10, 2010
Post-Puritanisme Muhammadiyah: Studi Pergulatan Wacana Keagamaan Kaum Muda Muhammadiyah ( 1995-2002)
Kaum Modernis tentang Pluralisme Agama
Potret Pergeseran Wacana Keagamaan Kaum Muda Muhammadiyah*
“Relative to many other countries, what is remarkable about the Indonesia case is that, at the moment, so many prominent Muslim leaders support the pluralist understanding of religion rather that the establishmentarian view. In
part, I suspect, this reflects the rich heritage of pluralism within Indonesian Islam” (Robert Hefner).[i]
“Religious pluralism as a framework for inter-religious dialogue and peaceful co-existence is a recent phenomenon, inspired by modern secular humanism rather than theologies of the major religious tradition” (Mahmoud M. Ayoub).[ii]
Wacana pluralisme dan toleransi di Indonesia bukankah fenomena baru, setidaknya pada masa awal Orde Baru, gagasan ini telah didengungkan sebagai agenda resmi pemerintah dalam rangka menciptakan kerukunan hidup umat beragama di Indonesia. Demikian pula halnya, pluralisme dan toleransi telah cukup lama menjadi wacana akademis yang dilansir oleh sebagian besar kaum akademisi dan elit intelektual yang berada di dunia kampus. Bahkan jauh sebelum itu, pluralisme telah menjadi bagian dari peradaban manusia. Oleh karena itu, membincangkan pluralisme ibarat menawarkan tema lama melalui kemasan baru. Isu pluralisme dan toleransi dalam relasi kehidupan sosial keagamaan akan senantiasa kontekstual. Sebab, ia senantiasa berada dalam ruang pergulatan manusia yang dinamis.
Setelah cukup lama terlebur dalam aktivitas berorganisasi, dinamika pemikiran keagamaan di Muhammadiyah mulai menampakkan geliatnya, setidaknya hal itu terlihat pasca-Muktamar Muhammadiyah ke-43 yang diselenggarakan di Banda Aceh pada tahun 1995. Perubahan yang dianggap cukup mendasar saat itu adalah dengan ditransformasikannya Majelis Tarjih Muhammadiyah menjadi Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI). Dampak dari perubahan itu agaknya membawa beberapa dampak dan perubahan di Muhammadiyah, baik itu dampak yang bersifat sosiologis, politis, dan spiritual.
Meski sudah lebih dahulu dikenal orang sebagai gerakan pembaru, di kalangan Muhammadiyah sendiri hasrat untuk mengembangan wacana baru nampaknya terus berkembang. Hal itu utamanya dimotori oleh beberapa kalangan akademisi yang memiliki latar belakang akademis di bidang studi keislaman. Dalam perjalanan sejarahnya, peran Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah Islam di Indonesia dan posisinya sebagai gerakan sosial keagamaan tidak jarang mengalami pergulatan intern dalam menyikapi berbagai persolaan keagamaan. Namun demikian, wacana pluralisme agama dapat dikatakan merupakan persoalan yang belum mendapat perhatian tersendiri dalam rentang waktu yang cukup lama. Begitu wacana ini bergulir, seiring dengan beberapa isu lainnya di Indonesia, ketegangan intelektual pun tak terhindari. Tokoh Muhammadiyah mau tidak mau akhirnya memperdebatkan wacana ini, salah satunya terlihat dari kontroversi saat diluncurkannya buku “Tafsir Tematik Alquran Tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama”[iii] sebagai satu-satunya “buku tafisr” yang secara utuh ditulis oleh orang Muhammadiyah dan diterbitkan oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam beberapa tahun silam.
Kontroversi terus bergulir, Muhammadiyah sendiri secara kelembagaan terus melakukan reproduksi wacana keagamaan. Prinsip gerak dan ijtihad yang diusung Muhammadiyah selama ini mulai dipertanyakan dan direorientasikan. Apakah pembaruan itu akan bertendensi lebih puritanistik ataukah sebaliknya, menjadi lebih dinamis. Sementara itu, “generasi baru” Muhammadiyah, termasuk “generasi Muda” yang terpetakan dalam berbagai Ortom, memberikan respons yang cukup dinamis. Di luar wacana pluralisme dan toleransi, isuisu keislaman kontemporer, seperti, rekonstruksi spiritualitas, kalam dan tasawuf, gender dan pemberdayaan kaum perempuan, multikulturalisme, dan persoalan budaya lokal terus bergulir dan menggelnding dan menjadi sebuah bola salju yang memberikan getaran yang cukup terasa dalam tubuh organisasi ini.
* Judul asli: “Post-Puritanisme Muhammadiyah: Studi Pergulatan Wacana Keagamaan Kaum Muda Muhammadiyah ( 1995-2002),” Tanwir: Jurnal Pemikiran Agama dan Peradaban, Edisi 2, vol. 1, no. 2 (Juli 2003), 43-102.
[i]Robert Hefner, “Modernity and the Challenge of Pluralism: Some Indonesian Lessons,” dalam Studia Islamika: Indonesia Journal of Islamic Studies, Volume 2, Number 4 1995, hlm. 41
[ii]Mahmoud Ayoub, Islam and Pluralism,” dalam Th Sumartana et al (ed.) Commitment of Faith: Identity, Plurality and Gender, (Yogyakarta: Interfidei, 2002)
[iii]Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, Tafsir Tematik Alquran Tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama (Yogyakarta: Pustaka SM, 2000).