Menakar Objektivikasi Pluralisme
Tanggal : 22 Jun 2007
Sumber : Media Indonesia
Prakarsa Rakyat,
* Oleh: Moh Shofan Peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina
TULISAN ini diawali dengan sebuah pertanyaan filosofis, mengapa pluralisme selalu menjadi problem? Agaknya tidak mudah menjawab pertanyaan semacam itu. Namun, saya yakin sesulit apa pun pertanyaan itu, menjadi kewajiban setiap insan mencari model dan pendekatan yang mampu memberikan jawaban solutif di tengah-tengah masyarakat yang sebagian besar masih belum memahami secara sungguh-sungguh arti pentingnya pluralisme. Sehingga, dampak dari ketidakpahaman mengenai pluralisme tersebut, setidaknya dalam tataran sosiologis, telah memicu konflik yang tidak jarang mengatasnamakan agama atau Tuhan.
Sejauh yang saya amati, berbagai organisasi Islam di Indonesia, seperti Muhammadiyah, belum nampak jelas pembelaannya terhadap persoalan pluralisme. Bahkan, arah kecenderungannya semakin konservatif. Pernyataan seperti itu, setidaknya dalam pembacaan saya, tentu tidaklah mengada-ada.
Ada banyak fakta bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharu yang hampir mendekati satu abad, telah mengalami orientasi paradigma dari yang semula bermazhab 'kritis' berganti menjadi mazhab 'puritan'. Muhammadiyah belum secara tegas menerima pluralisme.
Padahal, pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan, sangat intens berdialog dengan para pendeta, pastor, dan ulama-ulama dari agama lain. Dahlan ialah seorang akomodasionis, yang terbuka terhadap berbagai aliran pemikiran. Bahkan, terhadap ajaran agama-agama lain pun, beliau tidak segan-segan untuk mengambilnya, sepanjang itu bermanfaat untuk kepentingan kemanusiaan universal.
Namun demikian, dalam perjalanan historisitasnya, Muhammadiyah, tidak lagi menjadi organisasi yang membawa spirit pembaharuan (tajdid) dan ikut andil dalam menjawab persoalan-persoalan masyarakat yang syarat dengan diskursus, misalnya pluralisme, liberalisme, dan sekularisme. Sebaliknya, yang terjadi justru memperteguh dan melestarikan puritanisme dengan jargon al-ruju' ila al-Qur'an wa al-Sunnah, tanpa adanya sikap kritis sama sekali. Sehingga, sulit mengatakan Muhammadiyah sebagai gerakan modern, sebagaimana yang sering diduga banyak orang.
Menyadari 'kebekuan' berpikir di tubuh Muhammadiyah, sangat wajar jika anak-anak muda progresif yang tergabung dalam komunitas Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) telah memberontak terhadap pemikiran mapan yang terkristalisasi dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT). HPT dianggap sebagai kitab suci baru yang antikritik.
Sehingga, siapa pun yang melanggar ketentuan HPT dianggap telah keluar dari mazhab Muhammadiyah. Namun, usaha-usaha intelektual yang dilakukan JIMM ini sama sekali tidak mendapat respons positif dari Muhammadiyah.
Bahkan, perkembangan terakhir menunjukkan perbedaan pandangan kelompok tua dan kelompok muda itu tidak sekadar berputar-putar pada ranah wacana, tetapi sudah mengalami perluasan dimensi dalam bentuk kekerasan. Seperti halnya yang terjadi pada kasus pemecatan saya dari Universitas Muhammadiyah Gresik. Pemicunya ialah sebuah pemikiran yang membolehkan mengucapkan selamat hari raya Natal bagi umat kristiani.
Pembela kebebasan
Satu hal lagi ingin saya sebut di sini ialah sosok M Dawam Rahardjo, salah satu cendekiawan muslim yang tampil sebagai pembela kebebasan yang sangat gigih. Dawam tidak segan-segan berunjuk rasa dan membela dalam berbagai kasus yang menimpa kaum minoritas.
Di antara kelompok-kelompok yang mendapat advokasi langsung dari Dawam, akibat diskriminasi yang mereka terima, ialah jamaah Lia Eden, kalangan Syi'ah, Jaringan Islam Liberal (JIL), kalangan Kristen dan Katolik yang dihancurkan gerejanya, dan kelompok minoritas lainnya. Pembelaan Dawam itu membuatnya sebagai tokoh yang banyak dimusuhi kalangan mayoritas.
Dengan pertimbangan itu pula, Dawam dicoret dari posisi pimpinan Muhammadiyah. Dua contoh kasus tersebut, saya kira sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan bahwa Muhammadiyah telah mengalami krisis epistemologi yang cukup parah.
Saya kira resistensi itu tidak hanya terjadi di lingkungan Muhammadiyah, tetapi juga di lingkungan organisasi-organisasi Islam lainnya, seperti di NU. Di NU, anak-anak muda yang tergabung di JIL juga mendapatkan resistensi yang sangat kuat dari kelompok tua karena kecenderungannya yang sangat konservatif.
Karena itu, organisasi-organisasi besar Islam sekarang ini harus digantikan dengan generasi muda yang liberal, sekuler, dan pluralis. Kehadiran anak-anak muda dengan pahamnya yang pluralis, sekuler, dan liberal tentu menjadi suatu keharusan sejarah yang tidak bisa ditawar. Kehadirannya merupakan sebuah keniscayaan. Mereka harus bisa menggantikan, sebab kalau tidak, tentu organisasi-organisasi itu akan mandek dan menjadi benteng konservatisme.
Dengan mengacu pada pemaparan di atas, sesungguhnya musuh utama kelompok progresif-liberal dalam memperjuangkan proyek pluralisme, liberalisme, dan sekularisme itu bukanlah Barat atau kelompok-kelompok agama di luar Islam, melainkan kelompok umat Islam sendiri. Harus diakui bahwa dalam Islam juga telah terjadi pergulatan yang tidak henti-hentinya di antara mereka yang memperjuangkan 'monolitas' kebenaran Islam, dengan mereka yang meyakini 'pluralitas' Islam sebagai rahmat kehidupan bersama dengan orang-orang lain.
Orang-orang Islam yang memperjuangkan tegaknya demokrasi dan pluralisme, sesungguhnya mendapatkan lawan dalam kelompok umat Islam sendiri. Itulah yang riil terjadi dalam kehidupan politik sehari-hari, sebagaimana semangat yang ditunjukkan Islam ideologis.
Semangat yang dibawa Islam ideologis adalah semangat literalis-skripturalis yang meyakini bahwa Islam bukan sekadar agama. Islam merupakan sebuah sistem hukum yang lengkap, sebuah ideologi universal dan sistem yang paling sempurna.
Paradigma itu bisa kita temukan pada kelompok-kelompok Islam, seperti MMI, FPI, HTI, dan gerakan Islam Shalafy. Pandangan itu jelas memiliki kecenderungan fanatik, dogmatis, dan otoriter. Pembacaan seperti itulah yang pada akhirnya melahirkan 'otoritarianisme moral' atau, meminjam istilah Khaled M Abou El Fadl, mengubah teks dari 'otoritatif' menjadi 'otoriter'. Model pembacaan semacam itu patutlah ditolak.
Perlu rumusan
Saya kira, untuk mewujudkan sistem kehidupan yang berkeadilan, berkesetaraan, dan memelihara anugerah kebebasan tersebut, seperangkat rumusan yang tepat diperlukan agar kita tidak terjebak pada pemahaman agama dalam pengertian yang partikular. Kuntowijoyo (1993) pernah menawarkan bagaimana mengubah Islam dari cara berpikir subjektif ke objektif. Dalam kerangka berpikir objektif itu, menurut Kunto, tidak perlu pertimbangan-pertimbangan teologis tentang benar salahnya agama lain.
Paradigma Kunto yang terkenal dengan pendekatan 'objektifikasi' mungkin menarik untuk dikembangkan lebih jauh. Objektifikasi yang dimaksudkan adalah eksternalisasi dari keyakinan agama yang tidak hanya dirasakan orang yang bersangkutan dan kalangan komunitasnya, tetapi juga dirasakan agama lain sebagai sesuatu yang natural.
Dengan kata lain, objektifikasi selalu mengandaikan universalisasi. Dalam pandangan kaum universalis dan objektifis, selalu ada kemungkinan untuk melakukan aplikasi umum dan di mana pun (general application), yaitu tidak ada lagi distingsi antara manusia dan tempat atau lokus tertentu.
Dalam objektifikasi itu, Arkoun maupun Edward Said menekankan pentingnya local knowledge yang membawa kita untuk kritis terhadap sebuah teks atau produk pengetahuan (yang diuniversalkan itu), lalu mengembalikannya kepada konteks, situasi atau kelokalannya.
Berger dan Luckman (1966) menyebutkan ada 3 momen dalam proses membangun pengetahuan, yaitu eksternalisasi, objektifikasi, dan internalisasi.
Eksternalisasi pengetahuan adalah proses saat terjadinya pertukaran pengetahuan personal, sehingga pengetahuan itu dikomunikasikan. Objektifikasi adalah proses ketika pengetahuan menjadi realitas objektif, sehingga pengetahuan tersebut diakui komunitas. Dalam hal ini adalah eksternalisasi dari keyakinan agama tidak hanya dirasakan orang yang bersangkutan dan kalangan komunitasnya, tetapi juga dirasakan komunitas agama lain sebagai sesuatu yang natural.
Internalisasi pengetahuan adalah proses saat pengetahuan yang terobjektifikasi itu digunakan personal dalam rangka sosialisasi mereka. Internalisasi pengetahuan dilakukan melalui kegiatan pencarian terus-menerus, sehingga menemukan kembali pengetahuan yang tersimpan dalam teks-teks normatif. Ketiga proses tersebut juga menggambarkan 3 tipe berbagi pengetahuan yang diusulkan Marleen Huysman dan Dirk de Wit (2003): knowledge exchange, knowledge retrieval, dan knowledge creation.
Dalam kerangka seperti itu, semua agama memiliki kedudukan yang sama untuk ikut menyumbangkan nilai-nilai yang harus dibangun, guna mewujudkan masyarakat yang toleran, menegakkan keadilan, menjunjung tinggi keseteraan, dan persamaan hak yang merupakan ajaran semua agama. Pluralisme ingin agar nilai-nilai tersebut bisa diaplikasikan dalam konteks sosial untuk membangun kebersamaan dan kesepahaman.
No comments:
Post a Comment