Sinar Harapan, 26 Mei 2007
Dawam Rahardjo: demi Toleransi dan Pluralisme
Oleh Saidiman
Prof Dr Dawam Rahardjo genap berusia 65 tahun pada 20 April 2007. Ulang tahun itu dirayakan oleh kawan-kawan dan murid-muridnya pada tanggal 4 Mei 2007 di Auditorium Universitas Paramadina. Mas Dawam (panggilan akrabnya) adalah satu dari beberapa intelektual muslim awal (sejak tahun 1960-an) yang sangat intens memperjuangkan ide-ide kebebasan dan
pluralisme di Indonesia. Beberapa yang lain adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
dan Djohan Effendi. Sementara yang lain telah lebih dulu meninggal, seperti Nurcholish Madjid dan Ahmad Wahib.
Mereka inilah yang bisa disebut sebagai pembuka jalan bagi gagasan kebebasan dan pluralisme yang sekarang banyak berkembang di kalangan pemikir-pemikir muda Islam. Para pemikir yang sezaman dengan mereka juga banyak yang telah mengusung gagasan itu, namun fokus
bahasan mereka tidak dalam konteks keislaman, terutama dalam tataran normatif-teologis, tetapi pada aspek yang lebih umum terkait dengan persoalan kebangsaan.
Pada perayaan ulang tahun itu juga sekaligus diluncurkan sebuah buku, Demi Toleransi, Demi
Pluralisme, yang berisi kumpulan tulisan 31 tokoh yang berasal dari kalangan intelektual, petinggi partai, agamawan, aktivis LSM, dan lain-lain yang semuanya adalah teman dan murid Dawam.
Beragam tema dan latar belakang penulisnya memperlihatkan betapa Dawam merambah beragam isu sepanjang karier intelektualnya. Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada ini tidak hanya mahir menganalisa ekonomi, tapi juga sangat piawai bicara
Islam, pluralisme, sosiologi, antropologi, filsafat, sastra, feminisme, studi perdamaian, dan lain-lain.
Dawam bahkan bisa disebut sebagai perintis perkembangan beberapa teori ilmu sosial di Indonesia, seperti memperkenalkan teori dependensia dan studi perdamaian.
Infrastruktur Intelektualisme
Tak bisa disangkal, Dawam memberikan sumbangan paling besar dalam membangun infrastruktur intelektualisme Indonesia. Dawam adalah satu di antara segelintir orang Indonesia yang merintis pembangunan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang sampai saat ini menjadi pusat-pusat aktualisasi para intelektual Indonesia.
Dawam telah membangun dan mendirikan sejumlah LSM ternama yang menjadi pusat kegiatan intelektual, seperti LP3ES, Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), P3M, Paramadina, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan menjadi petinggi Muhammadiyah.
Dawam juga mengomandoi kelahiran dua jurnal terbesar yang pernah ada di Indonesia, yaitu Prisma (LP3ES) dan Ulumul Qur’an (LSAF). Lembaga-lembaga ini kemudian melahirkan tokoh-tokoh intelektual termuka Indonesia, yang sebagian besarnya mengaku sebagai murid dan teman Dawam Rahardjo.
Merekalah yang kemudian mengisi hampir semua debat pemikiran dan intelektual Indonesia sepanjang tahun 1990-an sampai sekarang. Sebagian dari mereka menjadi guru besar dan doktor di pelbagai bidang kajian. Sebagai intelektual yang sekaligus aktivis, Dawam
tampak tidak pernah bisa diam terhadap fenomena sosial yang terjadi di Indonesia. Dawam menjadi tipikal intelektual yang selalu kukuh di satu sudut pendirian dan keyakinan tertentu. Dawam bahkan tak segan-segan mengambil posisi yang tidak populer sejauh itu tidak bertentangan dengan keyakinannya.
Pada masa mahasiswa, tahun 1960an, ketika kebijakan politik nasional di bawah Soekarno meminggirkan “Islam,” Dawam bersama beberapa temannya mengambil posisi tegas membela kepentingan kelompok Islam yang saat itu marginal. Dawam tanpa sungkan muncul sebagai
aktivis dan pemikir muda Islam yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang saat itu terancam oleh provokasi politik Partai Komunis Indonesia (PKI).
Akhir tahun 1960-an, ketika kekuatan Orde Lama (PNI dan PKI) dimusuhi, Dawam dan kawan-kawannya tak segan-segan memberi dukungan terhadap penyelesaian tragedi pembantaian anggota PKI di seluruh Indonesia. Pada saat itu pula, Dawam semakin kritis terhadap HMI
yang mulai menunjukkan tanda-tanda sektarian dan politis. Ketika masuk ke jajaran kepengurusan Muhammadiyah, Dawam kembali menunjukkan sikap kritisnya terhadap semua persoalan yang ia anggap tidak tepat.
Dicoret dari Posisi
Beberapa tahun terakhir, ketika bangsa Indonesia sedang berada dalam euforia demokrasi dan kebebasan, beberapa kelompok masyarakat, dengan mengatasnamakan kebebasan, mencoba melakukan represi terhadap kelompok yang lain. Mayoritarianisme menjadi ancaman bagi kaum
minoritas.
Dawam, di usia yang tidak muda lagi, tampil sebagai pembela kebebasan yang sangat gigih. Dawam bahkan tak segan-segan melakukan demonstrasi dan pembelaan terhadap pelbagai kasus yang menimpa kaum minoritas. Di antara kelompok-kelompok yang mendapat advokasi
langsung dari Dawam Rahardjo akibat diskriminasi yang mereka terima adalah Jamaah Lia Eden, Jamaah Ahmadiyah, kalangan Syi’ah, Jaringan Islam Liberal, kalangan Kristen dan Katolik yang dihancurkan gerejanya, dan kelompok minoritas lainnya.
Tak ayal, pembelaan Dawam ini menempatkannya sebagai tokoh yang banyak dimusuhi oleh kalangan mayoritas. Dengan pertimbangan itu pula, Dawam dicoret dari posisi pimpinan Muhammadiyah (organisasi masyarakat terbesar kedua di Indonesia).
Posisi Dawam ini berlandaskan kepada prinsip pluralisme nilai. Bagi Dawam, kebenaran tidak bisa dimonopoli oleh satu pihak, melainkan tersebar di banyak tempat. Setiap orang dan kelompok memiliki hak atas klaim kebenaran. Kebenaran tidak tunggal, tetapi banyak.
Universalisme kebenaran kerapkali menjadi dasar bagi munculnya sikap dan prilaku otoritarian. Prinsip kebebasan yang diperjuangkan oleh Dawam juga tidak dalam pengertian universalisme, melainkan pluralisme. Kebebasan ala universalis mengandaikan bahwa kebebasan harus diperjuangkan meski harus menindas kebebasan orang lain. Menyerang negara orang lain dengan alasan penyebarluasan kebebasan tidak bisa diterima. Semua orang memiliki kebebasan untuk hidup, bahkan mereka yang menginginkan belenggu sekalipun harus diberikan
kebebasan untuk melakukan apa yang ia inginkan. Jikapun kaum pluralis mengklaim universalisme, universalisme yang dimaksud adalah sesuatu yang isinya adalah keragaman. Pengakuan terhadap keragaman atau ketidaksamaan itulah yang universal, bukan nilai
kehidupan tertentu.
Itulah sebabnya, Dawam bisa mengatakan bahwa ia tidak setuju dengan pendapat kalangan Ahmadiyah dan Lia Eden, tapi ia berdiri paling depan membela kepentingan mereka, bahkan menjadi salah satu tokoh nasional pertama yang bersedia berdialog dengan mereka.
Apa yang dilakukan oleh Dawam adalah sesuatu yang ideal bagi bangsa Indonesia yang memang plural. Sayang, orang seperti Dawam tidak banyak yang bisa dijumpai. Selamat ulang tahun Mas Dawam.
Penulis adalah peneliti Forum Muda Paramadina.
No comments:
Post a Comment