Muhammadiyah.or.id, 04 Juli 2010
Yogyakarta - Sudah ada tulisan-tulisan baik buku atau artikel yang menggambarkan sosok Ahmad Dahlan. Kebanyakan berupa biografi atau narasi sejarah, sehingga tidak semua kalangan masyarakat mampu memahami isinya. Kali ini seorang penulis berusaha mengambarkan sosoknya dalam sebuah novel yang berjudul Sang Pencerah. Novel yang diterbitkan Mizan tersebut berisikan tentang kehidupan Ahmad Dahlan dan perjuangannya mendirikan Muhammadiyah.
“Novel ini sangat mendidik”, demikian tutur Dr. Abdul Mu’ti, sekretaris Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah dalam acara bedah buku sabtu (03/07/2010) di Kafe Jendelo Toko Buku Toga Mas Jl. Gejayan Yogyakarta. Menurut Abdul Mu’ti, ketika membaca novel ini beliau merasa telah mengalami petualangan sejarah. Seorang Ahmad Dahlan yang dilahirkan dari kalangan keluarga biasa bisa tumbuh menjadi orang yang sangat luar biasa. Muhammadiyah didirikan Ahmad Dahlan bukan hanya untuk syiar agama Islam saja, tetapi juga dalam bentuk amal usaha sosial. Judul “Sang Pencerah” diambil dari inspirasi matahari yang dapat mencerahkan masyarakat.
Selain Mu’ti, nara sumber yang hadir di acara tersebut diantaranya Akmal Nasery Basral - penulis novel, Hanung Bramantyo - sutradara film dan penulis skenario Film Sang Pencerah yang saat ini masih dalam tahap penyelesaian. Hadir juga pemain Film sang pencerah yaitu Zaskia Adya Mecca dan Lukman Sardi.
Dalam bedah buku tersebut, penulis novel menjelaskan isi buku dan pembuatannya. Menurut penulis novel ini, Ahmad Dahlan merupakan sosok lelaki yang tangguh, sabar dan penuh semangat. Ahmad Dahlan merupakan sosok anak muda mendobrak tradisi, yang tak lain berniat agar Islam kembali menjadi rahmat bagi semesta alam, bukan Islam yang menyulitkan pemeluknya sendiri. Pada masanya, dia bahkan dianggap kafir, tetapi beberapa orang yang berpikiran terbuka dan banyak anak-anak muda yang kritis menyukai caranya.
“Sejak SMA saya bercita-cita, sosok KH. Ahmad Dahlan perlu diceritakan dalam bentuk film atau teater”, ungkap Hanung Bramantyo. Cita-citanya kini hampir terwujud dalam sebuah karya film “Sang Pencerah” yang pembuatannya serentak dengan pembuatan novelnya. Namun, karena berbagai kendala sehingga novel lebih dahulu diluncurkan sedangkan film rencana akan tayang pada Idul Fitri tahun ini. Menurutnya, KH. Ahmad Dahlan telah banyak berkorban tanpa merugikan siapapun dari usianya yang 21 tahun. “Saya terinspiransi dari semangat Ahmad Dahlan yang masih berasa sampai saat ini”, tambah Hanung.
Kesan Lukman Sardi
Sementara itu Lukman Sardi yang berperan sebagai Ahmad Dahlan pada film tersebut juga mengungkapkan sosok Ahmad Dahlan adalah seorang yang teguh pada prinsip. Namun prinsip tersebut mempunyai dasar yang kuat dan penuh kesabaran dalam melakukan perjuangannya. Dia adalah seorang tokoh besar milik Indonesia.
Bergabung dalam film ini merupakan suatu kebanggaan baginya namun hal itu juga beban karena Ahmad dahlan merupakan tokoh besar. Perjuangan Ahmad Dahlan kini dapat dirasakan oleh jutaan kaum melalui berbagai amal usaha yang dimiliki Muhammadiyah. Mulai dari Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi, Rumah Sakit, Balai Kesehatan, Amal Usaha Ekonomi, Perbankan dan masih banyak lagi.
Setiap kejadian yang berpengaruh dalam hidup KH Ahmad Dahlan diteliti secara saksama dan menyeluruh, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa yang asyik untuk dibaca. Dikisahkan dengan cerdas dan begitu nyata oleh penulis sehingga seolah-olah kita diajak langsung mengenal sosoknya. Sejarah tidak pernah sama jika dikisahkan dari sudut pandang novelis, namun tidak keluar dari konteks sejarah.
Novel ini bukan sekedar novel biasa, karena topiknya yang unik dan penerbitannya bersamaan dengan 100 tahun Muhammadiyah. Sehingga wajib dibaca semua orang khususnya umat Islam, begitu banyak hal yang akan didapat juga pemikiran yang bisa diselami serta hamparan ilmu yang patut direnungi bersama mengenai makna islam yang sesungguhnya. (Mar/Rizka/Mel)
Catatan saya untuk novel Sang Pencerah:
ReplyDeleteSelama ini ada empat model narasi tentang KH Ahmad Dahlan: tradisi lisan (oral), hagiografi, catatan misionaris dan pegawai kolonial Belanda, dan buku sejarah. Kehadiran Sang Pencerah memberikan satu narasi baru, yaitu novel. Sebuah novel tentang tokoh sejarah harus dipahami sebagai novel, bukan sejarah. Jika dipahami sebaliknya, maka akibat paling buruknya bisa seperti The Satanic Verses (1988) karya Salman Rushdie, terutama bila penggambaran di novel itu tidak sesuai dengan fakta sejarah. Kehadiran novel Sang Pencerah sepertinya mendapat apresiasi positif dari warga Muhammadiyah. Namun makna positif yang mesti dilihat dari novel ini adalah perannya dalam dua hal: Pertama, memindahkan Ahmad Dahlan dari dunia mitos dan akademik ke dunia nyata dan populer di tengah masyarakat. Kedua, menghidupkan kembali ghirah warga Muhammadiyah untuk mengkaji pendiri organisasi dan ajarannya.