Seputar Indonesia, Tuesday, 06 July 2010
Benny Susetyo
Sektaris Eksekutif Komisi HAK,
Konferensi Waligereja Indonesia
Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Surat Keputusan Nomor: 107/KEP/ I.0/B/2008 tertanggal 16 Juli 2008 menetapkan tema muktamar tahun 2010, yaitu: Muktamar Satu Abad Muhammadiyah,Gerak Melintas Zaman Dakwah dan Tajdid Menuju Peradaban Utama.
Menurut penjelasan tertulis Ketua SC Muktamar Dr Haedar Nashir, “gerak melintas zaman”mengandung dua makna. Pertama melewati masa sejak kelahirannya hingga usia ke-100, kedua menyeberangi yakni memasuki fase baru setelah usianya satu abad ke peralihan abad selanjutnya. Usia seabad bagi Muhammadiyah tentu tidak dimaknai sebagai usia senja ketika idealisme dan kekuatan sudah rontok.
Justru usia seabad akan bisa menjadi momentum istimewa bagi Muhammadiyah untuk melakukan revitalisasi dan pengembangan seluruh potensi dan infrastruktur gerakan agar mampu bekerja dan berkreasi optimal demi perkembangan peradaban bangsa ini. Dengan kata lain, eksistensi Muhammadiyah tidak hanya dibutuhkan bagi warga dan umat Islam, melainkan juga untuk seluruh umat manusia ini.
Sudah diketahui umum bahwa keberhasilan organisasi Muhammadiyah yang bersifat modern, progresif, dan mandiri telah mampu menghasilkan berbagai kontribusi untuk kemajuan pendidikan maupun perekonomian. Begitu pula dengan usaha-usaha pemikiran lainnya. Menghadapi kenyataan sosial politik budaya bangsa yang semakin hari semakin menjauhi tata nilai etika dan kebangsaan inilah seharusnya kita semua ditantang untuk berperan.
Saat korupsi makin membudaya dan hukum semakin berlaku tidak adil untuk kaum miskin, Muhammadiyah tetap diharapkan untuk tampil di depan mengibarkan bendera peperangan terhadap korupsi dan pola-pola degradasi moral lainnya. Dalam menghadapi problem sosial yang semakin hari semakin meningkat derajat kualitas dan kuantitasnya ini,Muhammadiyah sudah waktunya menjadi garda depan yang mampu mendorong pemahaman teologi untuk pemberantasan korupsi.
Pemahaman keagamaan bahwa korupsi merupakan sumber segala penyakit perlu mendapat perhatian serius, sehingga mampu menumbuhkan kritisisme masyarakat beragama. Gerakan Moral Nasional, di mana Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama menjadi bagian utama, harus dikembangkan lebih membumi sebagai benteng perlawanan atas berbagai kemungkaran sosial yang terjadi.
Kita tidak bisa hanya menggantungkan diri pada negara dan kekuasaan maupun partai politik untuk membenahi berbagai kerusakan di bumi ini. Justru kekuatan masyarakat memiliki daya kritis yang jauh lebih baik karena posisi yang independen tidak bergantung. Semua komponen bangsa ini harus prihatin dan melakukan sesuatu ketika ruang publik hanya dipenuhi dengan aspek serbalegalformal yang menciptakan birokrasi dengan kinerjanya yang inefisien dan cenderung korup.
Birokrasi menjadi terasing dengan realitas kehidupan.Ia hanya “purapura” saja melayani rakyat. Masih ada jarak yang cukup jauh antara aparat dengan rakyat. Situasi ini membuat kontrol rakyat terhadap birokrat lemah.Akibatnya,banyak birokrat dan penguasa yang hanya bertindak saja tanpa berpikir. Korupsi dikatakan sudah membudaya karena tanpa sadar para ilmuwan, akademisi, intelektual, politisi dan masyarakat umum melihat korupsi bukan sebagai sebuah fenomena biasa.
Atau sekadar gejala yang lazim dalam sebuah masyarakat.Tanpa sadar dalam diri kita sendiri menyatakan bahwa korupsi adalah bagian dari kebudayaan kita! Kita sering menyebut korupsi sebagai budaya: budaya korupsi. Berkaitan dengan kebudayaan bangsa, di sekolah anak didik kita selalu diajari untuk melestarikan budaya bangsa, yakni budaya yang berkembang dari tata nilai dan tradisi kita sehari-hari.
Kita semua sadar gerakan antikorupsi belum mampu menjadi gerakan bersama dan korupsi juga masih belum dilihat sebagai musuh bersama (common enemy) yang harus dibasmi sampai akar-akarnya.Telah berulang kali diusahakan untuk mengatasi korupsi,tapi yang dilakukan hanya setengah hati. Becermin dari tindakan-tindakan elite pemerintah, tampaknya tidak ada usaha yang sistematis untuk mengatasi korupsi. Bahkan sebutan “budaya korupsi” secara berulang-ulang pun belum mampu membuat mereka tak bergeming.
Di sisi lain sudah lama masyarakat Indonesia dikenal sebagai “masyarakat beragama”, bukan sekuler.Tapi perdebatannya kerap diselewengkan menjadi bagaimana melahirkan “negara beragama”.Tapi ironisnya dengan “masyarakat beragama” terbesar di dunia, Indonesia merupakan negara peringkat pertama korupsi, juara korupsi. Karena itu muncullah logika apakah agama-agama yang diperankan oleh masyarakat Indonesia itu hanya simbol dan seremoni?
Karena itu,jika agama diyakini memiliki kekuatan untuk melakukan perubahan sosial, sudah waktunya gerakan diarahkan secara bersama-sama untuk menentang korupsi. Di satu sisi ini akan merekatkan hubungan antaragama yang sering dikacaukan oleh sistem bahkan oleh koruptor itu sendiri.
Di sisi lain akan bisa dibuktikan bahwa keberagamaan masyarakat Indonesia tidaklah semu atau simbolistis.Tantangantantangan di atas menjadi agenda pokok untuk masa yang akan datang. Beberapa hal yang bisa didiskusikan dalam konteks ini adalah bagaimana semua komponen moral ini tetap bisa menjadi garda depan dan menjadi agen perubahan ke arah positif.
Kekuatan Pengimbang
Tantangan lainnya adalah sejauh mana mampu memainkan peranannya untuk menjadi kekuatan pengimbang antara poros, pasar, dan warga. Sebagai organisasi masyarakat, Muhammadiyah diharapkan mampu memperkuat posisi masyarakat (civil society) yang sejauh ini selalu dilemahkan oleh negara dan pasar. Orientasi yang menaruh respek tinggi terhadap nasib rakyat kecil yang selama ini terabaikan oleh kebijakan negara membutuhkan sentuhan-sentuhan tertentu.
Karena itu, dengan tetap menjaga jarak yang seimbang antara kekuatan politik yang satu dan lainnya, dalam hemat saya, Muhammadiyah lebih bisa melestarikan berbagai fungsinya tersebut secara independen dan kritis. Di luar sana, semua kelompok masyarakat di Indonesia menghadapi persoalan yang tidak ringan. Kemelut dan kolaborasi pemegang kekuasaan dengan para pemilik modal terbukti paling sering menjadikan rakyat kecil sebagai korban.
Alih-alih rakyat kecil dijadikan sebagai alasan peningkatan kesejahteraan,namun kenyataannya justru mereka menjadi korban di tengah keserakahan dan keangkuhan segelintir elite. Persoalan ini sudah kita sadari bersama sebagai sebuah persoalan utama bangsa ini di masa kini. Terlampau banyak kebijakan yang berorientasi bukan untuk rakyat kecil. Rakyat kecil tertindas oleh kebijakan yang seolah pro-poor, tapi justru kenyataannya membelenggu.
Dalam konteks yang demikianlah kita semua sebagai anak bangsa hidup dan berjuang agar keselamatan dan kesejahteraan warga masyarakat tetap diprioritaskan. Kita semua memiliki tugas menjadi pengimbang dua arus besar dewasa ini, politik yang dikelola tanpa nurani dan kapital yang ingin keberadaannya justru menindas rakyat kecil.(*)
No comments:
Post a Comment