INTERVENSI*
Oleh: Syafiq A. Mughni
Muhammadiyah adalah ormas besar. Anggotanya banyak, kegiatannya komprehensif, demikian juga amal usahanya, dan jaringannya luas, sehingga punya pengaruh di tingkat massa. Kebesaran Muhammadiyah menyebabkannya menjadi sasaran kooptasi. Dalam perhitungan kasar, kekuasaan pasti berminat pada Muhammadiyah: bukan dalam arti memberi dukungan terhadap dakwahnya, tetapi mengkooptasi dan bahkan menaklukkannya. Karena itu, Muktamar sebagai puncak perhelatan musyawarah tertinggi akan menjadi ajang untuk kooptasi dan penaklukan itu. Penguasa pasti tidak akan membiarkan Muktamar lewat begitu saja.
Kekuasaan mungkin akan melakukan kooptasi dan penaklukan itu dengan beberapa cara. Cara pertama ialah brain washing (cuci otak). Dikesankan bahwa Muhammadiyah sekarang dalam kondisi krisis. Pimpinannya tidak kompak dan terlibat korupsi, program-programnya tidak jalan, tidak disukai pemerintah karena bersikap terlalu kritis, banyak yang sesat karena masuk ke dalam kelompok liberal. Cuci otak itu dilakukan oleh orang-orang tertentu dan disebarkan melalui media atau forum pertemuan dengan berbagai nama, seperti halaqah, safari atau rihlah. Dengan cara ini, banyak warga Muhammadiyah yang tertarik dengan tesis “Muhammadiyah dalam Krisis” itu, sehingga harus ada perubahan radikal dalam kepemimpinan, dengan keharusan menggusur orang-orang yang dipandang sebagai pangkal krisis. Untuk melakukan gerakan cuci otak, tentu dibutuhkan biaya besar. Orang Muhammadiyah “lugu” mungkin susah membayangkan dari mana datangnya uang itu. Tetapi orang Muhammadiyah yang melek politik, bisa menebak. Bukankah di kalangan politisi banyak uang bertaburan yang jumlahnya hampir tak terbatas?
Cara kedua ialah money politics (politik uang). Cara ini sering kali efektif untuk mempengaruhi pemilih. Ada sebuah gerakan dengan modal uang sangat besar untuk menentukan pilihan peserta Muktamar terhadap orang-orang yang harus dipilih atau yang harus disingkirkan dari kepemimpinan. Bukankah ada slogan bahwa sekarang ini “ketuhanan yang mahaesa” digantikan dengan “keuangan yang maha kuasa”. Maka, uang ditebarkan menjelang Muktamar; peserta diberi uang sebagai pertanda perhatian, didirikan posko-posko dan dipasanglah spanduk-spanduk dan baliho pendukung calon tertentu. Selama Muktamar, pelaku money politics menyewa hotel berbintang dan mengundang peserta Muktamar untuk keluar masuk, bebas tidur, makan dan minum sepuas-puasnya dengan gratis. Cara ini seringkali terbukti efektif dalam mengubah sikap peserta Muktamar.
Cara yang ketiga adalah operasi intelijen. Tahap pertama ialah mencari orang-orang Muhammadiyah yang potensial untuk direkrut sebagai lapisan kedua dalam gerakan intervensi. Lapisan inilah yang kemudian secara sistematik menjadi pelaku di lapangan. Mereka menemui satu persatu peserta Muktamar untuk ikut dalam gerakan intervensi. Demikian berjalan seterusnya sehingga mampu mengendalikan lebih banyak lagi peserta. Operasi intelijen tentu menggunakan banyak cara. Jika yang satu tidak efektif, akan dipergunakan cara lain. Gerakannya pun tidak tampak. Ketika berlangsung acara-acara sebelum pemilihan pimpinan, gerakan itu belum muncul dipermukaan. Maka ketika suara pemilihan itu dihitung, barulah orang tahu bahwa ternyata hasilnya di luar dugaan. Sampai di sini operasi intelijen belum berhenti karena masih ada rapat penentuan siapa ketua umumnya. Jika yang terpilih adalah sesuai skenario, maka operasi selanjutnya ditujukan untuk mempengaruhi komposisi pimpinan lengkap.
Tiga cara di atas tentu bisa dilaksanakan secara simultan. Siapa sesungguhnya yang potensial untuk melakukan intervensi? Siapa saja bisa asal punya kekuatan, baik uang, kekuasaan maupun pengaruh: bisa pemerintah, bisa politisi, dan bisa juga pengusaha. Mereka berpandangan bahwa Muhammadiyah harus dikooptasi dan ditaklukkan. Kalau tidak, ia akan menjadi penghalang bagi kepentingannya.
Apa yang dipaparkan di atas semoga hanya ilusi, semoga tidak terjadi. Tulisan ini dibuat semata berdasar pengalaman muktamar-muktamar di luar Muhammadiyah. Saya banyak diskusi baik dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah maupun lainnya. Sebagian besar mereka sangat khawatir jika intervensi itu dialami oleh Muhammadiyah. Umat dan bangsa banyak berharap dari Muhammadiyah: mengharap agar ia tetap mencerahkan, menjadi kekuatan moral yang tidak pernah bergeser karena pragmatisme yang kronis. Muhammadiyah harus tetap menjaga marwah dan martabat organisasi, yang tidak mungkin dibeli dengan uang dan jabatan duniawi. Saya yakin bahwa seluruh peserta Muktamar pasti bisa menjaga amanah itu.
* Dimuat dalam Majalah MATAN Edisi 47, Juni 2010.
No comments:
Post a Comment