Hajriyanto Y.Thohari
GATRA, 25-31 Maret 2010
Seorang teman aktivis muda Muhammadiyah belakangan ini uring-uringan gara-gara keputusan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah tentang haramnya rokok. Ini semua,
demikian katanya dengan ketus, gara-gara ideologi puritanisme yang sedang menguat dalam tubuh Muhammadiyah.Masak semua hal kok mau diatur dan dihukum secara
agama, atau tepatnya fikih. Aktivis muda itu mengatakan bahwa kalau demikian yang terjadi, maka benarlah bahwa kalau demikian yang terjadi, maka benarlah bahwa by nature Muhammadiyah itu memang organisasinya kaum puritan. Secara teologis, mereka itu bersifat salafi, yang pandangan keagamaannya lugas (straight forward), secara sosial sederhana (asketis), dan secara politis apolitik. Puritanisme, yang semula terbatas di bidang teologis dan ritual,nyatanya kemudian dibawa-bawa juga ke bidang sosial, ekonomi, dan politik. Mereka bahkan cenderung tidak menaruh respek pada dunia politik, yang dianggapnya terlalu fleksibel dan permisif secara moral.
Dalam rangka puritanisme itulah maka kebiasaan merokok dipandang sebagai indikasi permisivisme dan kurang kuatnya kemampuan mengendalikan keinginan atau nafsu.Maka, di kalangan kaum puritan ini, jangankan merokok, bahkan--jangan kaget--meminum dengan menggunakan tangan kiri saja sudah cukup untuk menjadi skandal (baca: bahan omongan) di sana. Dan itu berpotensi mengurangi kredibilitas dan integritas ketokohannya di kalangan Muhammadiyah. Kecenderungan pemahaman yang puritanistik seperti ini merupakan fenomena baru dalam Muhammadiyah.
Perubahan ini juga secara paralel tampak dalam cara berbusana muslimah di kalangan perempuan Muhammadiyah. Pada masa lalu yang tidak terlalu jauh, busana ibu-ibu aktivis Aisyiyah--organisasi perempuan Muhammadiyah--adalah cukup dengan kain jarik, kebaya Jawa, dan Kerudung. Kerudung tersebut dikenakan di kepala, sehingga sedikit rambutnya tetap kelihatan. Demikian juga, leher dan sedikit dada bagian atas tetap ditampakkan. Dan itu cukup Islami pada waktu itu. Tapi sejak dua dasawarsa terakhir, busana muslimah Aisyiyah tidak lagi cukup seperti itu, melainkan harus memakai jilbab yang sangat rapat. Seolah-olah busana yang dulu itu salah!
Demikian juga dalam hal rokok. Semakin ke sini, pandangan terhadap rokok juga semakin mengeras: sesuatu yang dulu tidak pernah menggejala seperti ini. Bukankah almarhum A.R. Fachruddin, Ketua PP. Muhammadiyah beberapa periode itu juga seorang perokok. Dan, sama seperti terhadap pakaian muslimah ibu-ibu Aisyiyah, tidak ada seorang pun yang mengkritik Pak A.R (panggilan akrab A.R.Fachruddin) pada saat itu.
Memang benar, sejak dulu kebiasaan merokok tidak populer di kalangan Muhammadiyah. Bahkan sampai hari ini. Tetapi tidak pernah diputuskan sebagai haram hukumnya. Memang ada orang Muhammadiyah yang merokok, tapi itu minoritas. Lihat saja: dari 13 anggota PP Muhammadiyah periode 2005-2010, hanya seorang saja yang perokok. Sementara itu, dari 19 anggota PP Muhammadiyah periode sebelumnya (2000-2005) hanya ada dua perokok. Meski tidak ada peringatan larangan merokok, forum-forum Muhammadiyah selalu bersih dari asap rokok.
Dalam perspektif ini, maka fatwa rokok yang diputuskan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini, pertama, hanyalah formalisasi dari apa yang selama ini menjadi sikap dan pandangan orang-orang Muhammadiyah. Merokok, yang sejatinya secara de facto memang sudah tidak populer di kalangan Muhammadiyah, lantas di-de jure-kan. Kecenderungan formalisasi dan legalisasi ini saya rasa merupakan trace baru dalam kehidupan beragama di kalangan ini. Kedua, fatwa rokok haram itu sebenarnya sebuah tautologi belaka.
Maka tidak mengherankan jika banyak tokoh Muhammadiyah yang nyata-nyata dikenal bukan perokok menyatakan keberatannya atas keluarnya fatwa haram rokok ini. Saksikan, Buya Profesor Syafi'i Maarif terkesan dingin. Profesor Din Syamsuddin menyatakan bahwa fatwa itu belum merupakan keputusan organisasi, dan Profesor Amien Rais malah menyatakan hal yang berbeda sama sekali dengan Majelis Tarjih dan Tajdid bahwa merokok itu hukumnya makruh saja. Mereka memandang merokok itu tidak baik, tetapi tidak perlu dikukuhkan dalam bentuk pengharaman.
Walhasil, sejatinya agak mengherankan. Mengapa sesuatu yang selama ini memang tidak banyak dilakukan anggota Muhammadiyah itu perlu dibuatkan fatwa haram? Tanpa fatwa haram pun, merokok tidak disukai di kalangan Muhammadiyah. Pasalnya, orang Muhammadiyah yang cenderung semakin puritan itu sering berpegang pada sabda Rasulullah SAW: min chusni l-islami al-mar'i tarkuhu ma la ya'nihi (Di antara tanda kebaikan keislaman seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat).
Dari perspektif ini, saya melihat fatwa ini lebih untuk konsumsi internal: mendidik warga Muhammadiyah untuk bersikap tegas dan terus terang.
No comments:
Post a Comment