M. Amin Abdullah
Pengantar
Ketika Muhammadiyah berdiri tahun l912, seluruh dunia Muslim masih berada di bawah penjajahan. Belum banyak yang merdeka secara politis dari cengkeraman imperalisme dan kolonialisme Barat. Di tengah-tengah kesulitan seperti itu Muhammadiyah berdiri dengan membawa optimisme baru. Kata-kata atau slogan “Islam yang berkemajoean” amat didengung-dengungkan saat itu. Mungkin belum disebut Islam “modern” atau ”reformis” seperti yang dinisbahkan dan disematkan orang dan para pengamat pada paroh kedua abad ke-20. Namun dalam perjalanan waktu selanjutnya, identitas gerakan Muhammadiyah tidak dapat dilepaskan dari arti penting dari Dakwah dan Tajdid. Kata kunci Dakwah terkait dengan mengemban dan mengamalkan Risalah Islam, mengajak ke kebaikan (al-Khair) dan melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Sedangkan sistem tata kelolanya, usaha dakwah dalam artian luas tersebut memerlukan Tajdid, baik yang bersifat pemurnian maupun pembaharuan (Haidar Nashir, 2006: 54).
Prestasi yang diukir selama satu abad (l912-2012) cukup mewarnai derap langkah sejarah umat Islam di Indonesia. Berbagai tantangan dan dinamika perjoangan telah dilalui dengan selamat baik pada era kolonialisme, era awal kemerdekaan, era orde lama, orde baru dan era reformasi. Semuanya menoreh pengalaman yang amat berharga untuk kematangan sepak terjang organisasi. Banyak organisasi keagamaan di Mesir atau di Pakistan yang mengalami nasib yang pahit ketika berhubungan dan berhadapan dengan negara. Muhammadiyah tidak mengalami nasib seperti itu. Mungkin karena pilihan Muhammadiyah–-sebagai organisasi—yang menekuni bidang Pendidikan yang kemudian menjadikannya sedikit aman dari godaan-godaan politik praktis. Meskipun perlu dicatat, bahwa setelah reformasi bergulir, maka peran tokoh Muhammadiyah di masyarakat pun ikut berubah sesuai dengan tantangan dan tuntutan baru yang dihadapinya.
Bagaimana menatap 100 tahun ke depan? Apakah Muhammadiyah akan mengulang sejarah kesuksesan 100 tahun silam? Jangan-jangan hadis Nabi yang sudah menjadi adagium dan sering disebut dan dikutip oleh para tokoh dan da’i-da’iyah Muhammadiyah bahwa “’ala kulli ra’si kulli mi’ah sanah mujaddidun” (Setiap melintasi seratus tahun usia jaman, akan datang seorang pembaharu) akan juga harus berlaku bagi Muhammadiyah? Atau tidak berlaku? Jika diandaikan berlaku dalam Muhammadiyah lalu seperti apa coraknya? Bagaimana mengantisipasinya? Apa implikasinya dalam konteks pendidkan Kemuhammadiyahan dan Keislaman di sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah? Jika diandaikan tidak ada, apakah jaman dan situasi dunia memang tidak berkembang dan berubah lewat hukum dinamika sejarahnya sendiri? Tulisan singkat ini mau berandai-andai—jika saja memang ada perubahan dinamika sejarah dunia—lalu bagaimana Strategi Dakwah dan Tajdid Muhammadiyah menghadapinya dalam menapaki usianya yang seratus tahun kedua? Namanya juga berandai-andai, maka bisa jadi bisa tidak. Kalau tidak ada perubahan, maka corak dan strategi gerakan mungkin akan tetap dilestarikan seperti ini adanya (al-Muhafadzah ‘ala al-qadim al-salih). Tapi jika perubahan itu benar-benar ada, baik cepat maupun lambat, maka strategi baru apa yang akan dan perlu disiapkan oleh Muhammadiyah (al-Akhdzu bi al-jadid al-aslah), sebagai organisasi yang hidup dan kaya pengalaman melewati dan melintasi kurun-kurun waktu sulit?
Adalah sangat berbeda tingkat kompleksitasnya membayangkan Muhammadiyah dengan hanya sedikit jumlah anggota dan simpatisannya dan membayangkan Muhammadiyah dengan banyak anggota dan simpatisannya. Juga demikian halnya, terdapat perbedaan tingkat kompleksitas yang dihadapi Muhammadiyah pada era pra dan paska Reformasi sekarang ini, khususnya dalam kaitannya dengan kehidupan politik di tanah air. Setidaknya, ada dua atau tiga isu penting yang dihadapi oleh umat Islam dalam era abad ke-21, bersamaan waktunya ketika Muhammadiyah memasuki abad kedua usianya.
Pertama, globalisasi mendorong munculnya genre baru keummatan dari golongan Minoritas Muslim di berbagai negara mayoritas Kristen baik di Amerika, Eropa maupun Australia. Kedua, Peradaban Barat yang masih terus leading dalam memimpin dunia dalam berbagai sektor kehidupan. Ketiga, Gerakan Dakwah dan Tajdid bertemu muka dan berhadap-hadapan dengan gerakan Dakwah dan Jihad. Ketiga isu besar ini saling berkait kelindang.
Menurut hemat penulis, sepuluh, dua puluh, lima puluh dan seratus tahun ke depan sejarah peradaban dan umat beragama, termasuk di dalamnya Muhammadiyah, akan ditentukan oleh corak paradigma, model, dan strategi merespon ketiga isu kontemporer ini. Tidak bisa tidak.
Maka pertanyaannya adalah seperti pertanyaan yang dilontarkan oleh Tariq bin Ziyad mengawali era ”globalisasi” sejarah Islam abad pertengahan, ”Aina al-mafarr? Al-Bahru waraakum wa al-aduwwu amamakum”. (Ke mana kita akan lari menghindar dari persoalan yang nyata-nyata kita hadapi? Hamparan laut luas ada di belakang kita, sedang musuh dengan berbagai keahliannya ada di hadapan kita?) Begitu pertanyaan dan sekaligus motivasi dan semangat yang ditanamkan oleh Tariq bin Ziyad puluhan abad yang silam ketika hendak meninggalkan selat Gibraltar, selat yang ada di antara ujung utara benua Afrika dan ujung selatan benua Eropa, dan masuk ke daratan Spanyol sekarang. Daratan yang sama sekali asing dan baru bagi Tariq bin Ziyad dan teman-temannya saat itu.
Pertama, Globalisasi dan Masyarakat Minoritas Muslim di negara-negara Barat.
Apakah Masyarakat atau Peradaban Utama yang dimaksud dalam al-Qur’an, dan lebih-lebih dalam dokumen cita-cita Muhammadiyah, hanya bersifat lokal keindonesiaan atau juga meliputi global-kesemestaaan (rahmatan li al-‘alamin)? Jika hanya lokal-keindonesiaan, lalu bagaimana hubungan dialektika timbal-balik dan pengaruh resiprokalnya dengan Masyarakat Utama yang ada dan juga dicita-citakan oleh masyarakat Muslim lokal yang lain? Juga bagaimana hubungan antara problem yang semula hanya bersifat lokal, kemudian diangkat oleh media menjadi isu global seperti yang biasa muncul dalam pengeluaran fatwa-fatwa keagamaan? Persoalan di Afrika mengimbas ke Asia dan begitu sebaliknya, juga persoalan di minoritas muslim di Eropa mengimbas ke masyarakat mayoritas muslim di Asia dan begitu pula sebaliknya.
Adalah kenyataan sejarah, bahwa tahun l960 terjadi imigrasi atau perpindahan penduduk dari negara- negara Muslim ke Eropa. Orang-orang Muslim dari Turki dan Marokko banyak berhijrah ke daratan Eropa dan Australia, sedangkan India dan Pakistan banyak yang pindah ke Inggris. Begitu juga ke Australia. Anak keturunan mereka sudah menjadi warga negara setempat, mempunyai status ekonomi yang mapan dan berperan dalam komunitas baru baik sebagai pedagang, konsultan, ahli hukum, guru, dosen, dan bahkan anggota parlemen. Kepindahan mereka semula karena semata-mata untuk kepentingan ekonomi dan pembangunan. Mereka datang untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang memang sangat diperlukan untuk pengembangan ekonomi Eropa dan Australia. Mereka bekerja di pabrik-pabrik, buruh bangunan dan berbagai industri jasa yang lain. Di samping mereka yang pindah sebagai tenaga buruh, ada juga imigrasi intelektual karena untuk melanjutkan studi, belajar menuntut ilmu pengetahuan di Barat dan kemudian tinggal menjadi penduduk di negara-negara Eropa, Amerika maupun Australia. Jumlah mereka sedikit, tetapi tidak sedikit mereka yang menjadi scholars ternama, intelektual, ahli hukum, insinyur, dokter, dosen, peneliti dan guru besar di berbagai perguruan tinggi di Barat. Mereka berasal dari berbagai negara Muslim seperti Turki, Pakistan, India, Iran, Mesir. Tunis, Marokko, Siria, Afrika Selatan, Bangladesh dan begitu seterusnya. Mereka inilah yang dalam tulisan ini disebut minoritas Muslim di Barat. Di antara nama-nama yang dapat disebut antara lain: Ibrahim M. Abu Rabi’ (Palestina), Bassam Tibbi (Canada), Khaled Abou el-Fadl (Kuwait; USA), M. Arkoun (Aljazair; Perancis), Abdullah Saeed (Australia), Abdullahi Ahmed al-Naim (Sudan; USA), Akbar S. Ahmed (Pakistan; Inggris), Fazlur Rahman (Pakistan; USA), Ismail Raji’ al-Faruqi (Palestina; USA), Sa’diyya Shaikh (Afrika Selatan), Amina Wadud (Afrika Selatan; USA), Leila Ahmad (USA), Farid Esack (Afrika Selatan), Ziba Mir-Hossein (Iran; Inggris), Ibrahim Moosa (Afrika Selatan; USA), Omit Safi (USA). Karya-karya mereka banyak yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan memberi inspirasi pengembangan metodologis studi keislaman di tanah air.
Sejak akhir paroh kedua abad ke-20, apa yang disebut dengan umat Islam sesungguhnya tidak hanya merujuk kepada mereka yang berada di wilayah negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim, tetapi juga meliputi dan mencakup minoritas Muslim di India, Eropa, Amerika, Australia dan berbagai tempat atau negara yang lain. Pengalaman kesejarahan, psikologi keummatan, pergaulan sosial-budaya, tingkat kesejahteraan ekonomi, penguasaan ilmu pengetahuan, akses terhadap fasilitas kehidupan modern, persoalan hidup sehari-hari di negara ‘asing’, termasuk pendidikan dan pembinaan keluarga Muslim sangatlah berbeda dari saudara-saudara Muslim mereka yang hidup di negara-negara yang mayoritas Muslim. Jangankan syiar Islam yang biasa diselenggarakan dengan mudah di negara-negara mayoritas Muslim, mendengarkan adzan secara lepas lewat pengeras suara keluar gedung bangunan mushalla atau masjid pun dilarang oleh pemerintah setempat karena akan mengganggu ketenangan masyarakat sekitar yang non-Muslim.
Menghadapi permasalahan konkrit seperti itu, (psikologi) golongan mayoritas merasa humiliated (terhina; tertekan), tetapi bagi golongan minoritas adalah sebagai bentuk ketaatan warganegara minoritas terhadap aturan pemerintah setempat. Mereka juga tidak bisa berpikir dan bertindak seolah-olah berada pada wilayah mayoritas Muslim seperti yang mereka rasakan ketika masih berada di kampung halamannya dahulu. Sudah barang tentu menjaga identitas (identity) sebagai Muslim tidaklah semudah yang dialami oleh saudara-saudara mereka di negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim.
Bagaimana mereka menjalani kehidupan sebagai seorang Muslim? Apakah mereka harus bercita-cita harus dapat mengikuti aturan-aturan fikih yang berlaku di negara mayoritas Muslim ataukah mereka punya kebebasan berijtihad untuk menentukan masa depan mereka sendiri secara otonom sesuai dengan dinamika pergulatan sosial-budaya-agama-ekonomi-politik setempat? Apakah fikih dan fatwa-fatwa keagamaan Islam mereka harus mengikuti persis seperti fikih dan fatwa-fatwa keagamaam seperti yang dipahami dan dikeluarkan oleh saudara-saudara mereka di negara mayoritas? Ke depan, hubungan antara fikih aqalliyyah dan fikih aghlabiyyah seperti ini akan menarik untuk diamati, dipelajari, dibahas, dan diteliti, karena kedua kelompok tersebut, mayoritas dan minoritas, saling berinteraksi lewat media elektronik, internet, website, teleconference, bahkan situs-situs yang sangat mudah diakses dan media cetak yang lain.
Apakah problem sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan agama di Leiden, Amsterdam, Frankfurt, Melbourne akan disamakan begitu saja dengan problem sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan agama di Mesir, Riyadh, Karaci dan Jakarta misalnya? Perlu imajinasi geografis dan intelektual sekaligus di sini. What do all Muslims agree upon? (Apa saja to yang memang disepakati oleh semua orang Muslim di manapun mereka berada?) Kemudian, di mana the limit of tolerance (batas-batas toleransi) untuk berbeda dalam membaca dan menafsirkan ajaran agama, sosial dan politik antara wilayah fikih aqalliyyah (minoritas) dan fikih aghlabiyyah (mayoritas)? Pada level akar rumput keummatan, dan lebih-lebih dunia media, baik cetak dan lebih-lebih elektronik, cita-cita perjoangan menuju Masyarakat Utama dan Peradaban Utama memang memerlukan kehati-hatian, ketelitian, kesabaran, tidak grusa-grusu, dan pemikiran genuin-otentik, serta keterbukaan dan keluasan pandangan, jika umat Islam tidak ingin kehilangan masterplan horison kelokalan dan kesemestaan sekaligus dalam identitas keislaman mereka.
Tidak hanya itu. Yang lebih tajam dan nyata pengaruhnya dalam masyarakat mayoritas Muslim dimanapun mereka berada adalah dalam bidang kesarjanaan, penelitian, keintelektualan dan keulamaan yang dihasilkan oleh karya tulis dan karya kesarjanaan para intelektual Muslim dari kalangan minoritas Muslim di Eropa, Amerika maupun Australia. Karya-karya kesarjanaan Muslim paska kesarjanaan orientalis ini sungguh-sungguh berbeda dari karya-karya kesarjanaan, keintelektualan dan keulamaan di berbagai negara mayoritas Muslim, karena training kesarjanaan (scholarship) yang mereka lalui dan miliki memang nyata-nyata berbeda baik dari segi metode, pendekatan maupun bahasa asing yang mereka kuasai. Karya tulis kesarjanaan ini dituangkan dalam jurnal keilmuan dan diterbitkan dalam buku-buku literatur keislaman kontemporer. Buku literatur yang ditulis oleh para akademisi, peneliti, intelektual Muslim yang bekerja di berbagai Perguruan Tinggi di Barat ini tidak kecil jumlahnya. Sumbangan mereka tidak kecil dalam pengembangan keilmuan keislaman, khususnya di era kontemporer. Tulisan dan buku-buku mereka dibaca dan diterjemahkan kedalam bahasa Muslim seperti Turki, Iran, Urdu, Arab, Indonesia dan begitu seterusnya.
Banyak ketegangan muncul antara pengalaman tradisi keilmuan keislaman yang dikembangkan di belahan bumi Muslim yang dihuni mayoritas Muslim (Mesir, Tripoli, Khartum, Karaci, Riyadh, Jakarta, Kualalumpur) dan belahan bumi yang dihuni oleh para akademisi Muslim di Perguruan Tinggi di belahan bumi Barat yang dihuni oleh minoritas Muslim (Chicago, Philadelpia, Berlin, Paris, Melbourne). Para pemimpin dan tokoh Muhammadiyah dalam setiap jenjang dan peringkatnya tidak dapat melepaskan diri dari tanggungjawab intelektualnya dalam menghadapi tantangan baru ini, sebuah tantangan yang tidak dialami oleh generasi tokoh dan pimpinan Muhammadiyah era 100 tahun pertama, lebih-lebih jika dikaitkan dengan cita-cita besar hendak mewujudkan Masyarakat atau Peradaban Utama. Apakah para tokoh dan pemimpin umat (baca: pemimpin Persyarikatan Muhammadiyah) di tingkat lokal, regional, nasional, siap menerima kehadiran generasi intelektual Muslim baru dari kalangan minoritas Muslim dari berbagai negara Barat? Siap dan tidaknya menerima kehadiran mereka—dan begitu pula sebaliknya—akan mewarnai dinamika sejarah perabadan Islam abad ke 21 ini.
Kedua, Peran kesejarahan dan peradaban Barat era modern.
Globalisasi pada era sekarang ini, dengan menggunakan instrumen ilmu pengetahuan dan teknologi adalah memang warisan peradaban Barat. Jika agama ikut membonceng di belakangnya, itu adalah hal lain. Perkembangan dan pengembangan konsep teologi agama juga sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini. Perkembangan ilmu pengetahuan empiris lewat penelitian yang mendalam dan berkesinambungan terhadap alam semesta, sosial-kemanusiaan dan sosial-keagamaan adalah bentuk intervensi Barat, meneruskan dan melanjutkan saja apa yang telah dikerjakan oleh para ilmuan Muslim pada abad-abad sebelumnya. Tujuh abad (abad ke 7–14) peradaban Muslim telah pernah menghiasi, mengukir sejarah, untuk tidak menyebutnya menguasai dunia. Bahasa dan tulisan Arab berikut ilmu pengetahuan yang menyertainya pernah digunakan di mana-mana termasuk di wilayah nusantara. Kerajaan dan empire Islam jatuh bangun, saling silih berganti sampai berakhirnya kerajaan Turki-Usmani di awal abad ke 20.
Sejarah berputar dan sejak abad ke l5 sampai dengan abad ke 20 hampir semua wilayah Islam di bawah jajahan Barat. Metode research modern dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan diperkenalkan. Kelautan, kedirgantaraan, ketenagaan, transportasi laut, darat, udara, pertanian, perikanan, kehutanan dan begitu seterusnya sampai ke tenaga nuklir, persenjataan, eksplorasi ruang angkasa, sampai berujung ke teknologi komunikasi, komputerisasi, media elektronik. Berjalan bersamaan pengembangan dan research dalam ilmu-ilmu kemanusiaan sejak dari bahasa, filsafat, sosial, budaya, agama, seni dan begitu seterusnya.
Peradaban Muslim abad ke-21 masih berhadapan dengan peradaban Barat dalam seluruh aspeknya. Politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, perekonomian, perdagangan, perbankan, pendidikan, media, tourism, perhotelan, pengobatan, politik ketatanegaraan, keberagamaan, bahkan sampai ke tata boga dan tata busana seluruhnya selalu berinteraksi langsung maupun tidak langsung, berdialog dengan kebudayaan dan peradaban Barat. Seluruh fakta sejarah ini seolah-olah membenarkan pendapat Bassam Tibbi, seorang sarjana Muslim dari Siria yang tinggal di Jerman, ketika ia berkata bahwa ‘It is hard to reconcile … the religious proclamation, “You are the best community (umma) created by God on earth” (al-Qur’an 3: 110) with the reality in which members of this very umma rank with the underdogs in the present global system dominated by the West’ (Tibbi, 2001: 54). Sangatlah sulit sekali saat sekarang ini untuk menyesuaikan pernyataan agama al-Qur’an dalam surat Ali Imran, ayat 110 bahwa “Kamu (umat Islam) adalah sebaik-baik masyarakat (ummah) yang diciptakan oleh Allah diatas bumi” dengan realitas konkrit di lapangan pada abad ke 21 ini, di mana hampir seluruh umat Islam rata-rata kalah dalam berbagai seginya dalam bersaing dengan Peradaban yang sekarang ini didominasi oleh Barat.
Muhammadiyah didirikan 100 tahun yang lalu adalah untuk menjawab tantangan ini. “Islam yang berkemajoean” adalah idam-idaman dan cita-cita besar para pendiri organisasi ini sampai harus mentransfer dan meng-adopt cara dan sistem pengelolaan pembelajaran dan persekolahan di era penjajahan Belanda dulu. Sekarang di era kemerdekaan yang ke 64, Muhammadiyah telah memeiliki ribuan sekolah dari SD sampai SMU dan ratusan Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) di berbagai daerah di tanah air. Belum lagi menyebut taman kanak-kanak. Mari kita lakukan introspeksi (muhasabah al-nafs; muhasabah al-harakah) menjelang 100 tahun usia Muhammdiyah. Sebutlah salah satu contoh, bagaimana kita menjawab pertanyaan sederhana tapi cukup sulit dijawab: apakah anak-anak dan mahasiswa keluaran sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah telah menjadi “khaira ummah” pada setiap jenjang pendidikan yang diikutinya? Mengapa keluaran sekolah atau Perguruan Tinggi yang didirikan oleh non Muhammadiyah seringkali lebih baik dan lebih unggul dari pada yang didirikan oleh Muhammadiyah? Atau memang bukan kesitu arah pendidikan Muhammadiyah?
Apa arti “khaira ummah” untuk wilayah pendidikan? Bagaimana untuk wilayah sosial, ekonomi, politik, budaya, belum lagi menyebut IPTEK? Apakah tata kelola, sistem dan metode pendidikan dan pengajaran telah dievaluasi secara mendasar? Bolehkah sistem pendidikan Muhammadiyah mencangkok sistem lain yang ternyata lebih dapat mengantarkan anak didiknya lebih unggul? Bagaimana sistem pendidikan dan pengajaran materi keislaman di lingkungan perguruan Muhammadiyah? Kata kuncinya, menurut hemat penulis, istilah “khaira ummah” dalam al-Qur’an itu bukanlah taken for granted, pasti datang dengan sendirinya, otomatis bagus karena sudah ber(i)slam atau ber(m)uhammadiyah, tanpa upaya pembaharuan-pembaharuan yang terus menerus … untuk mencapai derajat “khaira ummah”, apalagi sampai Masyarakat Utama dan lebih-lebih Peradaban Utama, perlu kritik tajam secara terus menerus, tidak berhenti melakukan eksperimentasi, trial and error, dievaluasi dan dimonitor secara saksama oleh persyarikatan. Sampai di sini, belum disinggung perlunya keringat dan kerja keras peneliti dan pekerja dalam laboratorium. Peninjauan ulang terhadap ini semua (meragukan, doubt) mengandaikan niscayanya perubahan dalam sistem organisasi pengelolaan sekolah dan perguruan tinggi di lingkungan persyarikatan Muhammadiyah dan kesediaan para pengurus untuk belajar dan keberanian mentransfer dan mengadapt keberhasilan organisasi dan metode pembelajaran lain yang lebih unggul dalam bidang yang sama. Masih terngiang-ngiang terus pertanyaan Syeikh Sakip Arsalan, ”Li madza taakhkhara al-Muslimun wa taqaddama ghairuhum?” di awal abad ke-20 dan ternyata masih berlaku hingga sekarang.
Muhammadiyah harus berani terus-menerus bertanya, melakukan ”koreksi”, ”meragukan” sebagian atau semua langkah yang pernah ditempuhnya sebagai bahan untuk memperbaiki dan menyempurnakan langkah yang akan ditempuh pada masa-masa yang akan datang, khususnya di era abad kedua usianya. Inti budaya modern adalah ”melembagakan keragu-raguan” (the Institutionalization of Doubt), begitu papar Anthony Giddens dalam karyanya, The Consequences of Modernity (1990, 59).
Ketiga, Perjumpaaan gerakan Dakwah dan Tajdid dengan gerakan Dakwah dan Jihad.
Mungkin tidaklah terlalu mengada-ada dan tidak pula berlebihan jika dikatakan bahwa perjoangan dan aktivitas keagamaan umat Islam menuju Masyarakat dan atau Peradaban Utama pada abad ke 21 sekarang ini akan diwarnai persinggungan, gesekan, rivalitas dan kontestasi antara model gerakan Dakwah dan Tajdid dan model gerakan Dakwah dan Jihad. Akan terjadi perebutan wilayah dan perseteruan psikis antara kedua model gerakan dakwah ini. Keduanya sama-sama mengklaim anak kandung al-Qur’an dalam upaya untuk merealisasikan cita-cita idealisme “khaira ummah”. Rivalitas kewenangan dan perebutan wilayah kerja dakwah antar pendukung kedua model gerakan dakwah Islamiyyah ini sangat mudah di jumpai di lapangan, baik di tempat-tempat peribadatan (mushalla, masjid, langgar) dan pendidikan (sekolah, perguruan tinggi, pesantren) dan juga majelis taklim. Pernyataan di muka publik, statemen-statemen para tokoh dan pemimpinnya di media masa dan forum-forum keagamaan, media elektronik (tampilan dan konten situs-situs di website), media cetak berupa buletin, selebaran-selebaran, pamplet-pamplet dengan mudah dapat ditengarahi. Khususnya ketika mereka diminta merespon berbagai isu dan persoalan sosial-budaya, sosial- politik, sosial-ekonomi, sosial-keagamaan, hubungan internasional, hubungan antar agama dan begitu seterusnya.
Semua pihak, tidak hanya Muhammadiyah, perlu terus menerus mencermati dan mewaspadai perkembangan ini, lebih-lebih di lingkungan intern Muhammadiyah, karena dalam Muhammadiyah tegas-tegas disebutkan ada aspek “pemurnian” selain “pembaharuan”, juga ada anjuran ‘nahi mungkar’ selain anjuran ber ‘amar ma’ruf’, seperti disinggung diatas. Gerakan pemurnian, kalau tidak pandai mengemasnya akan sangat mudah beralih menjadi ‘jihad’ ideologis-kultural’ untuk menyerang realitas perkembangan sosio-historis dan realitas perkembangan sosio-kultural keummatan Islam yang sangat kompleks dan beraneka ragam, tidak hanya di tanah air tetapi juga di seluruh dunia Muslim. Sedang penekanan pada sisi ‘nahi mungkar’, dengan sedikit mengesampingkan ‘amar ma’ruf’ juga berpotensi akan mudah terbawa arus jihad dengan menggunakan kekerasan (gerakan radikalisme agama) dalam menegakkan perintah-perintah agama secara paksa (coersive) dan bukannya persuasif (persuasive).
Gelombang jihad rasanya akan memikat dan menarik generasi muda yang haus akan pengetahuan agama, yang masih labil secara kejiwaan apalagi ekonomi, penomena ketidakadilan yang mereka saksikan di berbagai tempat di negeri mereka masing-masing. Gelombang jihad akan menghiasi perjalanan peradaban Islam kontemporer abad ke-21, selagi politik luar negeri negara-negara Barat belum berubah dan dialog antar budaya dan agama tidak tulus dan macet. Gelombang jihad akan tetap menarik generasi muda jika Amerika dan sekutunya belum keluar dari Timur Tengah dan negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim lainnya. Kalau itu ukurannya, maka masih agak lama waktunya untuk meredam, apalagi menghilangkan semangat dan militanisme jihad melawan Barat dan sekutunya di dalam negeri Muslim sendiri. Ketika peradaban Islam kontemporer berhadapan secara langsung dengan peradaban Barat seperti itu, maka gerakan Islam modern maupun yang tradisional, yang menginginkan kemajuan masyarakat muslim untuk mengejar ketertinggalannya juga terkena imbasnya. Imbas itu sangat pahit, dan menimbulkan perpecahan umat jilid berikutnya.
Adalah kenyataan yang tidak dapat dibantah bahwa selain adanya the clash of civilizations seperti yang tercermin dalam perang tak berkesudahan di Timur Tengah (Iraq dan Palestian-Israel) dan wilayah Asia Tengah (Afganistan) dan Selatan (Pakistan), tetapi yang jelas-jelas dihadapi peradaban Islam kontemporer ketika merespon ketiga isu di depan (Minoritas Muslim di Barat, dominasi Barat, dan klaim kebenaran Interpretasi terhadap apa yang disebut “khaira ummah”) adalah the clash within (Islamic) civilizations, baik di Mesir, Aljazair, Sudan, Saudi Arabia, Pakistan, Indonesia, Turki. Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah sosial-keagamaan Islam di Indonesia tidak dapat menghindar dari perkembangan kontemporer diatas dan dapat merespon dengan arif dan tegas. Lebih-lebih, jika sibghah (corak khas atau ikon) Dakwah dan Tajdid masih melekat di tubuhnya. Namun tidak mudah mempertahankan sibghah tersebut, tanpa dibarengi pembaharuan-pembaharuan from within, pembaharuan dalam Muhammadiyah sendiri, khususnya ketika memasuki abad kedua usianya. Juga pembaharuan from without, yaitu pembaharuan politik luar negeri negara barat.
Muhammadiyah sebagai gerakan Dakwah dan Tajdid:
Tantangan agenda ke depan
Tantangan yang dihadapi Muhammadiyah pada abad pertama usianya pasti berbeda dari abad kedua usianya, meskipun kontinuitasnya antara keduanya tetap ada. Untuk itu, Paradigma, Model, dan Strategi Tajdidnya juga harus disesuaikan dengan perkembangan terbaru discourse keislaman baik dalam teori maupun praktek. Muhammadiyah harus melakukan upaya pembaharuan from within, yang meliputi strategi pembaharuan gerakan pendidikan yang selama ini digelutinya, mengenal dengan baik dan mendalam metode dan pendekatan kontemporer terhadap studi Islam dan Keislaman era klasik dan lebih-lebih era kontemporer, mendekatkan dan mendialogkan Islamic Studies dan Religious Studies, bersikap inklusif terhadap perkembangan pengalaman dan keilmuan generasi mudanya, terbuka, mengenalkan dialog antar budaya dan agama di akar rumput, memahami Cross-cultural Values dan multikulturalitas, dalam bingkai fikih NKRI, dan begitu seterusnya. Tanpa menempuh langkah-langkah tersebut, gerakan pembaharuan Islam menuju ke arah terwujudnya Masyarakat dan Peradaban Utama di tanah air ini, tentu akan mengalami kesulitan bernapas dan kekurangan oksigen untuk menghirup dan merespon isu-isu sosial-keagamaan global dan isu-isu peradaban Islam kontemporer.
Untuk konteks keindonesiaan, Ikon perjoangan meraih “Islam yang berkemajoean” sepertinya tetap menarik untuk diperbincangkan dan didiskusikan sepanjang masa. Dengan begitu kontinuitas dan kesinambungan perjoangan antara generasi abad pertama dan generasi penerus abad kedua masih terpelihara, sebagaimana dicanangkan dan dipesankan oleh founding fathers Muhammadiyah terdahulu.
Wallahu a’lam bi al-sawab.
Yogyakarta, 21 November 2009
DAFTAR PUSTAKA
Abu-Rabi’, Ibrahim M. Intellectual Origins of Islamic Resurgence in the Modern Arab World. Albany: State University of New York Press, 1996.
Auda, Jasser. Maqasid al-Syariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: The International Institute of Islamic Thought, 1429H/2008 CE.
Bennett, Clinton. Muslims and Modernity: An Introduction to the Issues and Debates. London: Continuum, 2005.
Bunt, Gary R. Islam in the Digital Age: E-Jihad, Online Fatwas and Cyber Islamic Environment. London: Pluto Press, 2003.
Carroll, B. Jill. A Dialogue of Civilizations: Gulen’s Islamic Ideals and Humanistic Discourse. New Jersey: The Light and the Gulent Institute, 2007.
El Fadl, Khaled Abou. The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremist. New York: HerperCollins, 2007.
Esack, Farid. Qur’an Liberation & Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression. Oxford: Oneworld Publications, 1997.
Giddens, Anthony. The Consequences of Modernity. Stanford: Stanford University Press, 1990.
Hunt, Robert A. & Aslandogan, Yuksel A. (Eds.). Muslim Citizens of the Globalized World: Contributions of the Gulen Movement. New Jersey: The Light Publishing, 2007.
Safi, Omit. Progressive Muslims: On Justice, Gender, and Pluralism. Oxford: Oneworld Publications, 2003.
Soroush, Abdul Karim. Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama. Bandung: Mizan, 2002.
¯ Disampaikan pada acara Seminar Satu Abad Gerakan Tajdid Muhammadiyah Menuju Peradaban Utama: Paradigma, Model, dan Strategi Tajdid yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Malang, 21-22 November 2009.
Retrieved from: http://prmsendangharjo.wordpress.com/2010/04/11/paradigma-tajdid-muhammadiyah-sebagai-gerakan-islam-modernis-reformis%C2%AF/
No comments:
Post a Comment