Republika, [Jumat, 03 Juni 2005]
Dr Tarmizi Taher
Ketua Dewan Direktur Center for Moderate Muslim (CMM)
Kerukunan umat beragama bukan wacana baru bagi bangsa Indonesia. Konflik dan kecurigaan antar umat beragama di awal tahun 70-an memang memiliki daya dorong yang cukup signifikan untuk mengusung dan membumikan kerukunan beragama. Betapa tidak, agama yang sejatinya dipraktekkan untuk kemaslahatan manusia, bisa menjadi pemicu peperangan antar sesama. Maka mengulang-ngulang wacana kerukunan adalah setara dengan keinginan untuk memaksimalkan kenyamanan dan kesejahteraan hidup manusia.
Muhammadiyah sebagai salah satu kekuatan sosial-politik bangsa Indonesia, tidak bisa diabaikan perannya dalam upaya membangun kerukunan beragama. Visi toleran dan pluralis ini tidak didapat dalam waktu sekejap. Perjalanan panjang Muhammadiyah sejak tahun 1912 menjadi "ruang pergumulan" yang cukup berarti dalam mendewasakan Muhammadiyah. Bidang pendidikan yang menjadi perhatian utama Muhammadiyah menjadi instrumen yang tepat dalam melakukan transformasi sosial. Dalam kaitannya dengan hal ini Muhammadiyah "berhutang pada pemikiran KH Ahmad Dahlan, tokoh pendiri sekaligus peletak dasar gagasan-gagasan pluralisme dan kerukunan beragama.
Kerukunan beragama tidak diartikan merukunkan ajaran agama, karena masing agama memang memiliki klaim-klaim kebenaran yang berada pada wilayah sensitif. Dan hal itu wajar, karena pemeluk agama memerlukan keyakinan tersebut. Maka kerukunan antar umat beragama harus diartikan kerukunan antar pemeluk agama, yang rukun bukan agamanya, tetapi umatnya, yang sama-sama satu bangsa.
Menurut tesis Dr Alfian dalam Muhammadiyah: the Political Behaviour of Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism (1989) ada tiga fungsi Muhammadiyah: pertama, sebagai gerakan reformasi agama. Kedua, sebagai agen transformasi sosial. Dan ketiga, sebagai kekuatan politik. Gerakan reformasi agama muhammadiyah sangat dipengaruhi oleh pan Islamisme Timur Tengah.
KH A Dahlan "membaca" situasi umat Islam Indonesia yang tidak jauh berbeda dengan di Timur Tengah pada umumnya. Penjajahan bangsa Eropa terhadap umat Islam menjadi titik keprihatinan KH A Dahlan. Menurutnya, keberagamaan yang dipenuhi mitologi telah melemahkan aqidah dan semangat juang umat Islam. Karena itu reformasi agama adalah kunci utama menuju transformasi sosial dan memperjuangkan kemerdekaan.
Menariknya, sunguhpun titik berangkat keprihatinannya adalah penjajahan bangsa barat atas umat Islam, namun KH A Dahlan tidak menutup diri untuk mengadopsi sistem pendidikan Barat. Ini menunjukkan bahwa beliau memiliki sikap arif dan jernih dalam melihat dan memilah persoalan. Barat harus dimusuhi sebagai penjajah, namun harus dikawani sebagai peradaban.
Agama Kristen yang dibawa para misionaris Barat harus dimusuhi sejauh ketika agama tersebut dipakai sebagai kedok imperialisme. Namun sebagai sebuah agama, KH A Dahlan sangat menghormati para pemeluk agama Kristen. Hal ini ditunjukkan dengan pergaulannya yang amat luas, tidak sebatas sesama umat Islam. Sejarah mencatat bahwa beliau sangat akrab dengan para pastur dan pendeta. Pergaulannya melintasi keimanan dan agama. Beliau menjadikan kemerdekaan dan kebebasan sebagai common platform (kalimatun sawa) dalam perjuangan.
Dari situlah, sungguhpun Muhammadiyah bukan organisasi politik, namun ia memiliki peran dan pengaruh politik yang amat disegani oleh pemerintah Belanda. Sejak awal sudah terlihat bahwa Muhammadiyah memiliki potensi menjadi kekuatan yang membahayakan negara-negara imperialis. Situasi sosial-politik yang penuh dengan penindasan dan ketidak-adilan itu, ditambah dengan adanya problem internal umat Islam dan bangsa Indonesia secara umum berupa kebodohan dan konservatisme dalam beragama, menjadi altar yang melandasi kiprah KH Ahmad Dahlan.
Namun, sungguhpun kondisi politik bangsa yang menjadi keprihatinannya, KH Ahmad Dahlan menggunakan pendekatan kultural dalam mengartikulasikannya. Ini menandakan bahwa beliau tidak berorientasi kekuasaan, melainkan kemanusiaan dan peradaban. Dari KH Ahmad Dahlan kita juga dapat menarik pelajaran bahwa bahwa peran tokoh agama sangat signifikan dalam mengarahkan keberagamaan umat.
Tokoh agama dituntut untuk memerankan fungsi agama sebagai kemaslahatan manusia. Sejatinya mereka mengembangkan interpretasi (tafsir) yang memiliki semangat perdamaian dan kerukunan antarumat beragama. Pengembangan interpretasi semacam ini, diyakini mampu mencerahkan keberagamaan umat. Sehingga ajaran ketuhanan menjadi fungsional, bahkan mampu menciptakan kedamaian, keadilan, toleransi, dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya dalam kehidupan bemasyarakat dan berbangsa.
Dalam konteks penciptaan kerukunan antarumat beragama dalam bingkai pluralisme harus ada penafsiran ulang terhadap ayat-ayat yang secara tekstual melegitimasi permusuhan. Misalnya QS At-Taubah (9):29 menyebut: "Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah". Ayat tersebut jika dipahami secara teksual berdampak buruk terhadap masa depan kerukunan antarumat beragama.
Sebenarnya makna ayat ini tidak berlaku universal, melainkan terikat dengan ruang dan waktu. Kondisi masayarakat Arab dimana ayat itu diturunkan, berada dalam suasana yang terpolarisasi dalam (1) kutub kaum beriman, yakni orang-orang yang secara teologis beragama Islam dan secara ideologis anti perbudakan serta anti monopoli kekayaan. (2) kutub kaum tidak beriman yang secara teologis tidak beragama Islam dan secara ideologis pro perbudakan dan monopoli kekayaan.
Kondisi saat itu tidak memungkinkan tercipta kerukunan, sebab garis perjuangan masing-masing berbeda, bahkan saling berhadapan. Dengan kata lain, ayat ini turun dalam kondisi peperangan. Maka dalam konteks kekinian dan kedisinian, dimana kaum beriman dan kaum tidak beriman (non-Muslim) tidak berada dalam posisi yang saling berhadapan, ayat itu harus disandingkan dan didialogkan dengan ayat-ayat lain yang menganjurkan toleransi, kasih-sayang dan tolong-menolong antar sesama.
Dalam sejarah peradaban manusia agama telah menjadi komoditi konflik. Di satu sisi agama mengajarkan umat manusia untuk saling mengasihi satu sama lain. Agama telah banyak berjasa menjadikan manusia mengerti arti dan tujuan hidupnya. Namun di sisi lain, agama juga digunakan sebagai alat untuk membasmi komunitas manusia lain, dengan mengatasnamakan iman. Nilai-nilai suci agama menjadi kabur seiring dengan tumpah ruahnya perilaku destruktif manusia yang menggunakannya sebagai sumber legitimasi.
Kerukunan antar umat beragama kiranya akan menjadi agenda nasional yang tak kunjung usai. Ini bisa dipahami karena masa depan bangsa kita sedikit banyak bergantung pada sejauhmana keharmonisan hubungan antar umat beragama ini. Kegagalan dalam merealisasikan agenda ini akan mengantarkan bangsa pada trauma terpecah belahnya kita sebagai bangsa. Maka sangat wajar jika tuntutan kepada para tokoh agama semakin besar dalam mensosialisasikan kerukunan umat beragama. Maka seyogyanya dakwah agama (Islam dan non-Islam) dilakukan dengan menghilangkan nuansa kebencian. Ayat-ayat Tuhan dan risalah kenabian harus didakwahkan sesuai dengan fungsinya, yakni untuk menasihati dan meluruskan yang kurang dan tidak lurus, bukan untuk memaki yang salah atau melegitiamsi kebencian terhadap umat agama lain.
Dakwah juga harus disampaikan dengan tutur kata yang santun, tidak menyinggung perasaan atau menyindir keyakinan umat lain, Apalagi mencaci-makinya. Kekasaran ucapan dalam aktifitas dakwah bukan saja akan merusak keharmonisan hubungan antarumat beragama, tetapi juga tidak diperkenankan dalam Islam. Firman Allah dalam Alquran surat Ali Imran ayat 159: "Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan lari dari lingkungan kamu. Karena itu maafkanlah mereka, dan mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan".
Tokoh agama diharapkan mampu mengembangkan dakwah yang simpatik, tidak boleh dengan jalan menjelek-jelekkan agama atau bahkan dengan menghina Tuhan yang menjadi keyakinan umat agama lain. Dengan cara seperti inilah para tokoh agama dapat memainkan perannya secara maksimal dalam mereduksi konflik dan mengembangkan keberagamaan yang saling menghargai. Kerukunan beragama memang bukan sesuatu yang mudah untuk diwujudkan. Di Barat sendiri, yang saat ini sering mempromosikan kerukunan, ternyata di masa lalu (periode pertengahan sampai dengan munculnya Renaisance), mereka adalah masyarakat yang gemar bertengkar (Bernard Lewis, 1999).
Bahkan pemerintah pada masa itu bersikap monolitik, menolak perbedaan pendapat dan memusuhi agama lain. Ini menandakan bahwa Barat membutuhkan proses pergumulan yang tarik menarik selama ratusan tahun untuk menjadi bangsa yang rukun dan menghargai perbedaan. Bangsa Indonesiapun harus senantiasa belajar mengembangkan perbedaan menjadi sesuatu yang positif dan konstruktif. Kerukunan umat beragama tidak bisa ditampik lagi, kita membutuhkan kerukunan beragama kini dan esok.
Sumber : http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=200049&kat_id=105&kat_id1=147&kat_id2=291
No comments:
Post a Comment