Kompas, Jumat, 8 Februari 2002
Oleh Zuly Qodir
TANWIR Muhammadiyah di Denpasar, Bali, 24-27 Januari 202, menyepakati salah satu butir penting bagi bangsa ini, yaitu perlunya Muhammadiyah menyiapkan kader terbaiknya sebagai pemimpin nasional. Menurut A Syafii Ma'arif, Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, kader terbaik Muhammadiyah perlu bersiap-siap jika harus mengemban amanat bangsa sebagai pemimpin nasional. Namun, Syafii Ma'arif menolak bila maksud dari kader terbaik Muhammadiyah saat ini dan mendatang adalah Amien Rais, yang notabene Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN), sekaligus Ketua MPR, sebagai persiden tahun 2004, karena Muhammadiyah tidak pernah menyebut nama, selain tidak pernah berafiliasi dengan salah satu partai politik tertentu. (Kompas, 28/1/2002)
Apa yang telah menjadi keputusan tanwir paling tidak telah "membuka mata" orang Muhammadiyah sendiri, juga orang di luar organisasi dengan pengikut sekitar 30 juta ini. Bagi warga Muhammadiyah, setidaknya memberikan "peluang" bagi mereka yang merasa "orang dalam" dan sebagai kader militan, serta terbaiknya. Sementara bagi orang luar, memberi sinyal bahwa organisasi sosial keagamaan ini telah memasang kuda-kuda untuk bersaing di pentas nasional jika harus memperebutkan kursi persiden tahun 2004.
Terjadi debat publik atas keputusan tanwir. Paling tidak Prof Dr Sam Suharto, pengamat politik asal Surabaya, sekaligus aktivis Muhammadiyah mengingatkan agar hasil tanwir diterjemahkan secara hati-hati, sehingga tidak menjebak Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan, beralih menjadi "organisasi politik", dan melupakan misi dakwah sosial dan kultural yang selama ini dikembangkan. Sementara pengamat politik, Bachtiar Effendy, yang juga kader Muhammadiyah, lebih terlihat "mendukung" keputusan tanwir dengan mengatakan, saat ini keputusan tanwir itu bisa saja diarahkan kepada Amien Rais, yang mantan Ketua PP Muhammadiyah, selaku Ketua MPR dan PAN, sebagai figur paling menonjol di lingkungan politisi Muhammadiyah. (Kompas, 29/1/2002)
Sedangkan pengamat politik dari luar Muhammadiyah, Prof Deliar Noer memberikan komentar, bila tafsir dari keputusan tanwir itu adalah mengarahkan Muhammadiyah agar kadernya sebagai kelompok penekan, dan mengejar "kursi" jabatan persiden tahun 2004, berarti Muhammadiyah telah terlibat politik praktis. Sementara, jika dimaksudkan sebagai pendidikan politik, Muhammadiyah secara kelembagaan tidak akan mengarahkan kadernya untuk menduduki kursi persiden, atau pemimpin nasional. Paling tidak Muhammadiyah tidak mendukung salah satu partai politik tertentu. (Jawa Pos, 29/1/2002)
Apa yang dapat dibaca dari hasil tanwir itu? Tulisan ini hendak ikut urun rembuk, bagaimana dengan "doktrin high politics" Muhammadiyah yang selama ini dipegang dan bagaimana peluang kader Muhammadiyah tahun 2004 sebagai pemimpin nasional, sebagai presiden.
"High politics"
Doktrin high politics ini amat terkenal pada Pemilu 1992 dan 1997, di mana waktu itu Amien Rais dengan gencar kampanye tentang perlunya suksesi nasional. Saat itu, naga-naganya Soeharto hendak dipilih kembali menjadi presiden oleh MPR. Relevansi doktrin ini tampaknya perlu dikritisi, apalagi saat itu Muhammadiyah merasa memiliki kans besar untuk menuju ke kursi kepresidenan. Doktrin high politics mengisyaratkan, Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan tidak akan pernah terlihat dalam politik praktis. Muhammadiyah akan lebih berkonsentrasi pada gerakan dakwah amar makruf nahi mungkar, sehingga tercipta masyarakat sejahtera adil dan makmur (baldatun thayyibatun wa rabun ghafur), di mana di dalamnya mengenai politik nasional, adalah sebagai bagian tak terpisahkan dari dakwah itu.
Dalam kaitan itu, high politics Muhammadiyah adalah sebagai gerakan moral dalam rangka turut serta memberikan kontribusinya terhadap bangsa dan negara, Muhammadiyah tidak mendukung salah satu kekuatan partai politik tertentu, apalagi mendesak-desakkan kadernya menjadi pemimpin nasional (konteks Indonesia sebagai presiden). Tetapi, jika Muhammadiyah kemudian mendukung salah satu kekuatan partai politik tertentu atau mendesak-desakkan kadernya untuk menjadi presiden, maka Muhammadiyah telah masuk sedalam-dalamnya dalam low politics. Muhammadiyah dalam hal ini tidak akan menyiapkan tim sukses untuk menggolkan kadernya, sehingga amat berbeda dengan partai politik yang jelas-jelas sebagai gerakan politik praktis, jelas Bahtiar Effendy. (Kompas, 29/1/ 2002)
Dalam konteks high politics, Muhammadiyah hanya bersifat mendorong kemajuan yang dicapai bangsa ini dengan segala macam dorongan moral dan memberikan strategi kebudayaan yang paling penting serta menyiapkan kader-kader terbaiknya untuk "dilamar" pihak lain, di luar Muhammadiyah, karena di situlah sebenarnya darma bakti Muhammadiyah akan amat nyata bagi masyarakat dan bangsa, demikian seharusnya menurut Sam Suharto. (Kompas, 29/1/2002)
Mengacu pada pendapat elite-elite Muhammadiyah itu, pertanyaannya, mungkinkah Muhammadiyah tetap berada pada pakemnya, yakni di jalur high politics? Jika pada akhirnya karena suatu hal mendukung secara jelas dan tegas kepada salah seorang tokoh Muhammadiyah untuk menjadi presiden, entah itu Amien Rais maupun A Syafii Ma'arif selaku figur sentral yang amat disegani di lingkungan Muhammadiyah, maka putusan tanwir Denpasar tidak menjebak, atau itulah realitas politik yang harus kita terima?
Kita berharap Muhammadiyah tetap berada pada pakemnya, di jalur high politics, karena telah terbukti beberapa kelompok Islam di Indonesia senantiasa terpecah bila harus terjun dalam perebutan politik praktis, bisa disebutkan ada dua Partai Persatuan Pembangunan, Partai Bulan Bintang, dan Partai Kebangkitan Bangsa, di mana massa mereka sama-sama kaum Muslimin. Saya juga berharap Muhammadiyah tidak terjerumus dalam konflik politik perebutan kekuasaan yang akan berimbas pada massa basis yang kebanyakan masih belum mengetahui secara pasti doktrin high politics, sekalipun telah dikampanyekan sampai ke daerah-daerah oleh pihak pimpinan pusat.
Bahkan, yang sebenarnya amat penting dikerjakan Muhammadiyah adalah mendorong dilakukannya "pertobatan nasional" atau rekonsiliasi nasional, karena sampai sekarang tampaknya pertikaian yang bernuansa agama senantiasa mewarnai republik yang notabene pluralis dalam hal agama dan etnis. "Tobat nasional" atau rekonsiliasi nasional pernah dikemukakan Syafii Ma'arif saat bertemu Hasyim Muzadi di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) beberapa waktu lalu, sehingga dapat menampilkan Islam yang humanis, santun, dan ramah, bukan penuh kekerasan dan keganasan. Inilah sebenarnya rekonsiliasi nasional atau pertobanan nasional yang amat berarti dan sesegera mungkin dilakukan, sebelum agenda demokrasi dan civil society lainnya.
Presiden Muhammadiyah
Setelah menempatkan doktrin high politics, pertanyaannya, dengan menyiapkan kader sebaik-baiknya, meski tanpa membuat partai politik atau mendukung salah satu kekuatan politik tertentu, mungkinkah Indonesia memiliki Presiden Muhammadiyah di tahun 2004? Pertanyaan ini saya kemukakan mengingat realitas yang ada, Muhammadiyah memiliki modal yang cukup signifikan dalam peraturan politik nasional. Beberapa hal akan dapat membuktikan keinginan Muhammadiyah mendukung kadernya sebagai pemimpin nasional.
Secara organisasional, Muhammadiyah memiliki jaringan amat luas di seluruh Indonesia, bahkan di beberapa daerah merupakan basis Muhammadiyah. Daerah yang merupakan basis Muhammadiyah antara lain, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Sumatera Barat, Aceh, Sumatera Selatan, Jambi, Lampung, Bengkulu, Bangka, Belitung, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Maluku Utara, dan Jakarta. Belum lagi ormas-ormas yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Muhammadiyah, seperti Ikatan Remaja Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Pemuda Muhammadiyah, Aisyiyah, dan Nasyiatul Aiyiyah. (Jawa Pos, 29/1/2002)
Dengan jaringan yang demikian luas, kita tidak bisa menutup mata, Muhammadiyah memiliki kira-kira 27 universitas, 46 akademi, 54 sekolah tinggi, rumah sakit, dan panti asuhan di beberapa daerah. Jaringan Muhammadiyah juga tersebar hampir di seluruh birokrasi pemerintahan, baik sebagai pimpinan maupun sebagai pejabat eselon dua atau tiga. Belum lagi Muhammadiyah mau tidak mau akhirnya harus dikaitkan dengan PAN, di mana sebagian besar kader Muhammadiyah berada di partai yang dipimpin Amien Rais.
Memperhatikan kekuatan Muhammadiyah dalam hal organisasi, manajemen, birokrasi dan kegiatan sosialnya, sebenarnya menempatkan Muhammadiyah untuk memiliki kans sebagai pemimpin nasional menjadi tidak mustahil. Memang masih panjang, tetapi saya kira seandainya nanti benar-benar Muhammadiyah menempatkan salah seorang kadernya untuk "bertarung" di posisi tertinggi di negeri ini akan banyak warga Muhammadiyah yang bangga. Ini tidak usah dipungkiri, karena selama ini, sekalipun Soekarno dan Soeharto merupakan kader Muhammadiyah, saya kira akan lain bila yang menjadi presiden tahun 2004 adalah Amien Rais atau A Syafii Ma'arif.
Seandainya benar, Amien Rais atau Syafii Ma'arif menjadi presiden, mungkinkah Muhammadiyah bersifat adil terhadap warga negara yang bukan Muhammadiyah, sehingga rekonsiliasi nasional seperti telah disinggung menjadi kenyataan?
* Zuly Qodir, warga Muhammadiyah Banjarnegara, alumni Pascasarjana UII Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment