Jumat, 31 Agustus 2001
Oleh M Alfan Alfian M
PENGALAMAN politik yang muncul belakangan, dengan dilengserkannya Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melalui mekanisme Sidang Istimewa (SI) MPR, memberi hikmah bagi banyak orang. Termasuk, dalam konteks hubungan antara dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Dinamika politik yang berkembang selama ini, terutama di masa pemerintahan Gus Dur, tampak ada dalam suasana kurang menguntungkan. Konflik politik di level elite telah berimbas ke bawah. Ironisnya, beberapa infrastruktur sosial milik Muhammadiyah terkena sasaran perusakan-perusakan. Syukurlah kalangan Muhammadiyah tak terpancing. Tentu saja ini merupakan pukulan berat dan catatan tidak mengenakkan bagi sejarah hubungan NU-Muhammadiyah.
Setelah konflik politik level elite mereda, diharapkan masing-masing pihak bisa menarik hikmah terbaik atas pengalaman tempo hari. Salah satu hikmah yang bisa diurai lebih lanjut adalah, sebaiknya mereka terus konsisten di jalur kultural dan memperkuat, apa yang diistilahkan Robert W Hefner "civil Islam". Ini amat logis mengingat keduanya memiliki modal historis dan modal sosial-kultural yang kuat, khususnya bagi kaum Muslim, di Indonesia.
***
MEMANG, kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia itu seolah memiliki akar sejarah yang berbeda. Yang satu seolah merupakan anti-tesis lainnya. Padahal, tokoh pendiri masing-masing, KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy'ari, konon pernah menjadi teman seperguruan. Kelahiran NU, tak lepas dari munculnya Muhammadiyah yang kian berpengaruh. Satu sama lain, bila dipandang secara positif, sesungguhnya saling melengkapi: Muhammadiyah lebih akomodatif terhadap pendekatan atau metodologi Barat (modernis), NU lebih akomodatif terhadap tradisionalisme anti-Barat.
NU dan Muhammadiyah merupakan organisasi sosial kemasyarakatan, yang masing-masing bergerak di bidang sosio-kultural kemasyarakatan. Masing-masing memiliki minat dalam pengembangan dan pemberdayaan masyarakat dalam masing-masing ruang-lingkup masyarakatnya. Keduanya memakai pendekatan berbeda. Sayang, justru perbedaan ini kerap terekspolitasi, terutama saat disentuhkan dengan persoalan yang bersifat politik. Ketegangan hubungan NU-Muhammadiyah di level grass-root belakangan disebabkan oleh suasana sosial-politik skala nasional yang kurang menguntungkan.
Sesungguhnya dalam dekade terakhir telah terjadi kemajuan luar biasa dalam konteks hubungan sosio-kultural antara NU-Muhammadiyah. Hal-hal yang selama ini senantiasa dipersoalkan (padahal bersifat khilafiyah), telah sedikit-banyak terkikis. Kalangan NU dan Muhammadiyah tak lagi dikuras energinya hanya sekadar mempersoalkan perbedaan cara beribadat masing-masing. Pergumulan wacana di tingkat struktural dan grass-root telah terjadi, dan masing-masing telah mencobakan kerja sama positif satu sama lain.
Secara sosial-kultural, masing-masing memiliki keunggulan. Tentu persoalannya adalah bagaimana sinergisitas dimunculkan dan selalu dirawat dengan baik. Seiring dengan perkembangan zaman, serta kemajuan-kemajuan yang dicapai atas perolehan tingkat pendidikan, muncullah optimisme yang kian membesar.
***
HIKMAH yang tergolong utama berkaitan dengan hubungan NU-Muhammadiyah selama ini adalah, seharusnya dalam situasi dan kondisi politik apa pun mereka tetap konsisten saling memperkuat dan melindungi. Sebab, sudah menjadi ciri dasar politik, bahwa pola, corak koalisi, kebijakan, personalia, bahkan simbol politik pun tidak bisa dibilang abadi. Perubahan pasti terjadi, cepat atau lambat. Persis adagium politik, "tak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik, kecuali kepentingan".
Yang menarik, barangkali setelah turunnya Gus Dur, yang konon merupakan representasi kalangan Islam, kini seakan terobati oleh kehadiran Hamzah Haz. Meski sama-sama berlatar belakang NU, namun secara politik, orientasi keduanya berbeda. Gus Dur mewakili kalangan Islam tradisonalis, Hamzah cenderung merepresentasikan kelompok Islam modernis-konservatif. Maka kalau dulu koalisi yang terjadi adalah antara Islam (tradisionalis) dengan kelompok Nasionalis, kini yang terjadi adalah koalisi duet politik antara kubu Nasionalis dengan Islam (modernis-konservatif).
Pola koalisi politik demikian, semula lebih dianggap sebagai sebuah absurditas. Sebab, selama ini yang berkembang adalah asumsi yang menyebut, antara Islam tradisionalis dan kubu Nasionalis (sebagai varian NU dan PNI), merupakan fenomena "koalisi abadi", setidaknya karena mereka pernah memiliki pengalaman sejarah yang romantis di masa lalu (terutama zaman demokrasi terpimpin). Dengan pola baru koalisi politik Islam non-NU dengan Nasionalis, maka, rubuhlah asumsi itu dan lantas eksperimentasi politik baru pun tengah terjadi. Seiring dengan makin dinamisnya proses politik dalam konteks demokratisasi, pola-pola politik yang terjadi pun makin variatif. Dalam hal ini NU-Muhammadiyah dituntut harus lebih bisa mengantisipasi kemungkinan munculnya jebakan-jebakan politik yang tidak perlu.
***
NU dan Muhammadiyah sebaiknya terus memfokuskan pada agenda penegakan "civil Islam". Islam memberi basis bagi penegakan hak-hak sipil masyarakat dalam konteks berbangsa dan bernegara, dan oleh sebab itu perlu terus diperjuangkan. Hak-hak sipil itu merentang ke berbagai dimensi, dari soal pendidikan, ekonomi, politik, kesehatan, rasa takut, hingga keadilan di muka hukum. Lingkupnya luas, dan mungkin kurang begitu populer, dibanding, misalnya, bila mereka hanya berkutat pada soal politik-kekuasaan.
Sudah saatnya ormas seperti NU dan Muhammadiyah, berdaya dan mampu merespons secara konstruktif berbagai macam isu yang muncul di arena sosial dan politik, tentu lewat pendekatan kultural. Kesan selama ini, ormas-ormas Islam hanya berkutat pada isu-isu yang terkait pada soal ideologis dan formalisasi hukum Islam (syariat) ke dalam hukum negara, dan melupakan isu strategis lain. Padahal, tak ada salahnya bila mereka memberi masukan (respons), dari mulai kebijakan kenaikan harga BBM dan kebijakan-kebijakan praktis lain, utang luar negeri, HAM, hingga persoalan lingkungan hidup. Toh, isu-isu itu, terutama yang berkaitan dengan kebaikan publik juga merupakan "isu agama" dalam konteks muamalah.
Perlu dikembangkan modul-modul yang berkait dengan penguatan "civil Islam", yang dalam hal ini paralel dengan proses demokratisasi. Ia terkait dengan pencerdasan politik, kemandirian ekonomi, hingga independensi budaya. Wilayah muamalah agaknya bisa dikembangkan lebih lanjut, sebab ia tak sekaku isu-isu ideologis. Ini semua demi kebaikan bersama.
Namun, harus diakui pula, dalam rangka itu, tak semudah yang dibayangkan, harus tetap diupayakan. Selain peran para senior masing-masing, yang tak bisa diabaikan adalah peran masing-masing generasi mudanya. Faktor komunikasi menjadi hal utama, dan seoptimal mungkin dihindari kesalahpahaman. Agaknya para muda dari kedua ormas ini, bisa tampil lebih luwes, saling mengisi satu sama lain. Mereka agaknya telah belajar dari pengalaman selama ini.
Penegakan "civil Islam" bukan tugas ringan. Dan semestinya, NU dan Muhammadiyah memeloporinya ke sana.
* M Alfan Alfian M, alumnus Universitas Muhammadiyah Malang, mahasiswa S2 Ilmu Politik Universitas Indonesia.
No comments:
Post a Comment