http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2095&Itemid=0
Nasib Islam Liberal Pasca Muktamar Muhammadiyah
Islam Liberal terpental dari Muhammadiyah dalam Muktamar ke-45 di Malang. Apa sikap Din Syamsuddin pasca Muktamar? Baca Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini ke-108
Kaum Islam Liberal di tubuh Muhammadiyah menjerit, karena misi mereka gagal. Semula, mereka berharap, Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang akan menjadi momentum penting untuk semakin leluasa menjadikan Muhammadiyah sebagai kuda tunggangan penyebaran ide-ide liberal ke umat Islam Indonesia.
Sukidi Mulyadi, aktivis Islam Liberal di Muhammadiyah yang juga mahasiswa Teologi di Harvard University, menulis di majalah TEMPO edisi 17 Juli 2005, bahwa “Terpentalnya sayap pemikir muslim liberal seperti Munir Mulkhan dan Amin Abdullah dari formatur 13 juga dapat dibaca sebagai kemenangan anti-liberalisme dalam muktamar.”
Di akhir tulisannya Sukidi berharap, sebagai nakhoda baru di Muhammadiyah, Din Syamsuddin tidak akan melakukan represi terhadap paham liberalisasi Islam, yang dia katakan makin bersinar terang di bawah kepemimpinan Syafii Ma’arif.
Ia berharap, Din Syamsuddin akan bersikap bijaksana dalam mengelola sayap liberal dan anti-liberal di tubuh Muhammadiyah.”Kedua sayap itu justru menandakan terjadinya dinamika pluralisme internal dalam tubuh Muhammadiyah. Jika Din sukses mengelola pluralisme internal ini, Muhammadiyah akan menjadi kekuatan luar biasa sebagai “laboratorium pemikiran” yang mencerahkan umat dan bangsa,” begitu tulis Sukidi, aktivis penyebar paham Pluralisme Agama di Muhammadiyah.
Harapan kaum liberal untuk tetap diakui sebagai bagian yang sah dari Muhammadiyah masih tersisa, mengingat – tidak seperti Muktamar NU – Muktamar Muhammadiyah ke-45 memang tidak secara formal melarang ajaran liberalisme dikembangkan di Muhammadiyah.
Merasa diri mereka tersudut, mereka sekarang berjuang untuk mendapatkan pengakuan, bahwa liberalisme adalah bagian yang sah dari Muhammadiyah. Bahkan, dibuat berbagai tulisan yang menggambarkan, bahwa pendiri Muhammadiyah adalah juga seorang penganut paham liberalisme.
Din Syamsuddin sendiri masih dinilai oleh kaum Liberal belum jelas benar sikapnya, karena dalam berbagai kesempatan, dia banyak mengkritik paham Islam Liberal. Dalam buku berjudul “Pemikiran Muhammadiyah: Respons Terhadap Liberalisasi Islam, (Surakarta: UMS, 2005), Din menyatakan, bahwa Muhammadiyah “tidak sejalan dengan paham ekstrem rasional dikembangkan Islam Liberal, meski beberapa oknum terutama di kalangan muda atau yang merasa muda ikut-ikut berkubang di jurang “liberalisme Islam”.
Dalam buku ini disebutkan, bahwa Din menegaskan sikap Muhammadiyah yang ingin mengambil “posisi tengahan” yang secara teologis merujuk kepada al-Aqidah al-Wasithiyah. Secara tegas, Din mengkritik penjiplakan membabi buta terhadap paham rasionalisme dan liberalisme, termasuk di kalangan Muhammadiyah.
Din menyatakan: “Begitu juga ketika datang tawaran pemikiran rasionalisme dan liberalisme, tidak sedikit generasi muda Muhammadiyah, dan mereka yang masih merasa muda, terseret dalam arus liberalisme dan rasionalisme tersebut.
Muncul di sementara generasi Muhammadiyah yang mengatakan bahwa Al-Quran itu adalah produk budaya lokal (Arab), sehingga seluruh isinya adalah zhanni.
Dakwah Islam, menurut mereka, bukanlah mengajak manusia untuk ber-Islam, baik kepada yang sudah muslim apalagi yang belum muslim, dakwah tidak mengurusi keyakinan dan iman seseorang, tetapi hanya menata kehidupan yang harmonis diantara berbagai keyakinan dan mengatasi berbagai problem kemanusiaan seperti kemiskinan, kebodohan, dan sebagainya.
Persoalan iman adalah masalah individu sehingga isu kristenisasi seharusnya tidak menjadi masalah lagi bagi Muhammadiyah. Bahkan, ada yang lebih ekstrem dengan mengatakan, bahwa Muhammadiyah hendak diubah paradigmanya, dari gerakan amal saleh dan gerakan ibadah menjadi gerakan praksis sosial yang netral dari kepentingan keagamaan.”
Itulah sebagian kritik yang pernah disampaikan oleh Din Syamsuddin terhadap ide-ide liberalisme yang berkembang di tubuh Muhammadiyah.
Namun, Din juga menginginkan, bahwa jalan yang ditempuh untuk menyelesaikan masalah pemikiran adalah dialog pemikiran. Dia pernah mengutarakan keinginannya agar semua aliran pemikiran itu ditampung dan didialogkan dengan serius dalam suasana kekeluargaan.
Ketika menemui Nurcholish Madjid, yang masih bergelut dengan penyakit hatinya, Rabu (13/7/2005), Din mengatakan, pada kurun waktu terakhir ini, di Muhammadiyah telah berkembang dialektika pemikiran dalam spektrum yang sejalan dengan ide-ide pembaruan seperti modernitas, pluralisme, dan inklusivisme yang memadukan cita-cita liberal dan progresif dengan keimanan yang saleh.
Disamping itu, di kalangan warga Muhammadiyah, juga masih kuat berkembang bentuk-bentuk pemikiran yang ‘puritan’. Untuk menghindari kesenjangan dialektika dua arus pemikiran ini, maka Pimpinan Pusat Muhammadiyah akan berusaha mendekatkan kedua pihak melalui dialog yang intensif dan kontinyu. (Republika, 14/7/2005)
Dialog pemikiran adalah bentuk yang sangat ideal. Dan hal itu harus dikaji dengan serius dan mendalam. Tidak bisa tidak, Muhammadiyah harus menghidupkan tradisi ilmu dan melengkapi dirinya dengan literatur-literatur Islam dan Barat – termasuk studi Kristen, Yahudi, dan agama-agama lain – yang memadai. Dalam hal ini, memang Muhammadiyah masih jauh ketinggalan.
Untuk menilai ide mana yang baik dan ide mana yang buruk, dibutuhkan ilmu yang cukup. Hingga kini, misalnya, sebagai satu institusi keagamaan, Muhammadiyah belum melakukan kajian yang serius dan sikap resmi tentang paham Pluralisme Agama, metode interpretasi hermeneutika untuk tafsir al-Quran, dan isu-isu penting lainnya dalam liberalisasi Islam.
Adalah sangat berbahaya jika dialog dilakukan tanpa persiapan yang matang dalam keilmuan dan informasi yang memadai tentang pemikiran tersebut. Yang salah bisa dilihat sebagai kebenaran, sedangkan yang benar bisa dikatakan sebagai kesalahan, hanya karena kurang pandai dalam ‘mengemas’ dan ‘menjual’.
Sudah lazim diketahui, liberalisme dijajakan kepada masyarakat dengan kemasan yang menarik dan teknik-teknik pemasaran yang piawai, serta biaya promosi yang ‘gila-gilaan’. Untuk mengiklankan paham liberal di media massa saja, disiapkan dana milyaran rupiah.
Meskipun sifatnya racun dan sebenarnya patologis (seperti iklan bir bintang dan makanan anak-anak jenis tertentu), karena ditampilkan dengan iklan yang menarik, maka akan banyak peminatnya.
Disamping itu, sejak awal perlu disepakati, bahwa ada hal-hal yang tidak mungkin dikompromikan, karena secara substansial dan fundamental memang berbeda.
Antara iman dengan syirik tidak mungkin bertemu. Antara paham Tauhid Islam dengan paham Pluralisme Agama tidak mungkin bertemu, sebab paham Pluralisme Agama jelas-jelas mengajarkan syirik. Mustahil dua paham ini bisa disatukan dalam satu tubuh, sebab satu sama lain, saling menegasikan.
Yang satu mengakui eksklusivitas Ke-Esaan Allah dan kebenaran risalah Nabi Muhammad saw sebagai satu-satunya jalan kebenaran dan keselamatan, sedangkan yang lain mengakui kebenaran dan validitas semua agama. Syirik adalah kezaliman yang besar (zhulmun azhim), sedangkan salah satu dosa yang cepat mendatangkan azab Allah adalah dosa kezaliman.
Karena itu aneh sekali jika kaum Islam Liberal menginginkan paham syirik semacam ini hidup berdampingan secara damai dengan paham Tauhid di tubuh Muhammadiyah. Seharusnya penyebar paham ini bertobat dan menyadari kekeliruannya, mengaji Islam lagi dengan baik, dan berpikir dengan lebih jernih dan ikhlas. Tidak perlu terlalu silau dengan kemajuan Barat.
Kita sungguh kasihan pada penyebar dan penganut paham ini. Sebagai contoh, bisa dilihat kasus Sukidi. Sebagai propagandis pluralisme agama, Sukidi sendiri tidakmalu-malu lagi mengakui kebenaran semua agama, dengan membangga-banggakan pendapat Mahatma Gandhi, yang menyatakan: “Semua agama pada hakikatnya benar, tapi karena kebenaran tunggal itu diterima sekian banyak manusia dari beragam ras, agama, dan identitas, maka kebenaran yang tertangkap dari yang tunggal itu terfragmentasi, terpecah-pecah. Padahal, inti kebenaran itu satu jua.”
Karena itu, kata Sukidi, semua agama pada hakikatnya benar, hanya cara mendekati kebenaran itu saja yang menggunakan sekian banyak jalan. Ia menilai, Islam yang dulu dipelajarinya penuh dengan indoktrinasi, klaim-klaim kebenaran dan keselamatan, serta meletakkan Islam seolah-olah sebagai satu-satunya jalan menuju Tuhan.
Karena itu, ia mengaku menemukan Islam di Harvard, yakni Islam yang diletakkan dalam koteks studi agama-agama lain memberi inspirasi bahwa Islam hanyalah salah satu jalan di antara sekian banyak jalan menuju hadirat Tuhan.
Namun, ia sendiri menyatakan belum menemukan kebenaran. Katanya, “Terus terang saya masih dalam tahap pencarian akan arti kebenaran itu sendiri, sehingga masih dalam proses yang tiada berujung.”
Kita sungguh kasihan dengan anak muda pintar seperti Sukidi ini. Jauh-jauh belajar Islam ke Harvard hasilnya justru mengakui kebenaran semua agama, dan ragu akan kebenaran eksklusif agama Islam. Kasihan sekali, sungguh kasihan.
Namun, di sini kita juga mengakui, betapa hebatnya program cuci otak yang dilakukan terhadap para cendekiawan Muslim, sehingga entah sadar atau tidak, dia sudah menyebarkan virus pluralisme agama itu ke tubuh Muhammadiyah dan umat
Islam secara keseluruhan.
Paham kebenaran semua agama ini sudah berabad-abad digagas. Berbagai tamsil dibuat. Ada hikayat tentang gajah dan orang buta, ada hikayat tentang Nathan yang bijaksana. Dan sebagainya.
Di kalangan Yahudi, pada abad ke-18 muncul nama Moses Mendelssohn (1729-1786) yang menolak klaim kebenaran eksklusif satu agama. Belakangan, populer buku Charles Kimball “When Religion Becomes Evil” yang menyebut, agama akan
menjadi jahat jika memiliki doktrin “absulute truth claims”.
Jelas, bagi Muhammadiyah dan umat Islam pada umumnya, paham Pluralisme Agama semacam itu adalah racun, sebab akan melemahkan semangat Muhammadiyah dalam melakukan dakwah, dan terlena dari serangan gerakan Kristenisasi atau evangelisasi yang semakin aktif disebarkan oleh kalangan Kristen kepada kaum Muslim Indonesia.
Islam tegak diatas landasan syahadat: pengakuan bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Jadi, Islam bukan hanya percaya kepada Allah, tetapi juga mengakui kebenaran kerasulan Muhammad. Inilah yang ditolak keras oleh kaum Yahudi dan Nasrani sepanjang sejarah.
Kita setuju dengan rencana Din Syamsuddin untuk melakukan dialog pemikiran. Tetapi, dialog itu perlu jelas pedoman, arah, batasan, dan landasannya.
Anak-anak muda Muhammadiyah yang terpukau kepada paham liberalisme perlu diajak dialog dan dijelaskan dengan cara-cara yang baik dan ilmiah. Sebab, banyak yang terpesona dengan “hal baru” tanpa mendalami hakekat dan dampaknya, karena miskinnya tradisi ilmu.
Kita berharap, Din Syamsuddin dapat mendudukkan masalah liberalisme ini dengan bijaksana. Janjinya untuk menegaskan jati diri Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan tetap menjadi gerakan amar ma’ruf nahi munkar, mudah-mudahan bisa direalisasikan.
Kemungkaran terbesar adalah kemungkaran yang menghancurkan Tauhid Islam, seperti paham Pluralisme Agama ini – sebuah paham yang melegitimasi dan mendukung kekufuran dan kemusyrikan.
Padahal, Allah SWT sudah menegaskan (yang artinya): “Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya.” (QS 98:6).
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS 4:48).
“Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu dan bumi terbelah dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menuduh Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak.” (QS 19:88-91).
Jadi, dalam konsepsi Islam, sekedar menyatakan bahwa Allah mempunyai anak sudah disebut sebagai kemungkaran besar dan Allah sangat murka dengan hal itu.
Dengan Pluralisme Agama, semua kemungkaran ini dilegitimasi. Pluralisme Agama jelas membongkar Islam dari konsep dasarnya. Tidak ada lagi konsep mukmin, kafir, syirik, sorga, neraka, dan sebagainya. Karena itu, mustahil paham Pluralisme Agama bisa hidup berdampingan secara damai dengan Tauhid Islam.
Sebab keduanya bersifat saling menegasikan. Di mana pun juga, apakah di Muhammadiyah, di NU, MUI, DDII, atau yang lain. Wallahu a’lam. (Jakarta, 15 Juli 2005).
Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini ini hasil kerjasama Radio Dakta FM dan www. Hidayatullah.com
No comments:
Post a Comment