Kompas, Jumat, 7 Juli 2000
Oleh A Malik Fadjar
Maka berlombalah kamu dalam kebajikan" (Quran, Surat Al-Maidah:48)
TANGGAL 8-11 Juli 2000, Muhammadiyah menggelar muktamar ke-44 di Jakarta. Tema yang diangkat, "Memasuki Abad Ke-21 Muhammadiyah Membangun Masyarakat Indonesia Baru yang Berakhlak dan Berilmu".
Bertolak dari tema itu, visi dan misi Muhammadiyah masa depan akan dikukuhkan dan dijalani dengan istiqamah (konsisten) sesuai prinsip-prinsip yang selama ini melekat pada organisasinya, yakni gerakan dakwah. Tema itu bukan sesuatu yang sudah instant dalam Quran dan Sunnah, tetapi perlu penggalian dan pencarian dari tahap konsepsional, perencanaan model dan desain, sampai tahap pendekatan dan implementasi dalam aksi.
Gerakan Muhammadiyah
Menelusuri sejarah gerakan Muhammadiyah sejak kelahirannya, 18 November 1912 di Yogyakarta, bagaikan sebuah pendakian yang tiada akhir. Keorganisasian dan berbagai kegiatan amal usahanya tetap terpelihara dan menyatu dengan masyarakat. Bahkan merupakan "prototipe" organisasi sosial keagamaan sebagaimana obsesi pendirinya, KH Ahmad Dahlan.
Konon, penamaan Muhammadiyah merupakan nisbah dalam rangka meneladani jejak Nabi Muhammad SAW. Maka, boleh jadi, dari sinilah sejarawan Kuntowijoyo memberikan catatan, "Sebagai organisasi sosial keagamaan, selama ini Muhammadiyah telah menyelenggarakan pelbagai kegiatan yang bermanfaat untuk pembinaan individual maupun sosial masyarakat Islam di Indonesia, cita-cita pembentukan pribadi muslim dengan kualifikasi moral dan etika Islam, terasa amat karateristik. Gerakan untuk membentuk keluarga sakinah, membentuk jamaah, membentuk qariyah tayyibah, pada akhirnya untuk membentuk ummah, juga mendominasi cita-cita gerakan sosial Muhammadiyah. Pelbagai bentuk kegiatan amal usaha Muhammadiyah jelas membuktikan hal itu."
Begitu, awal gerakan Muhammadiyah bukan dalam kerumunan dan gegap gempita massa, tetapi hanya berupa sebuah pengajian surau dengan pola belajar inovatif (innovative learning). Melalui model pengajian ini lalu ditindaklanjuti dalam bentuk langkah-langkah transformatif yang menyentuh langsung kehidupan sosial masyarakat. Misalnya mendirikan sekolah, rumah yatim, dan klinik kesehatan.
Selain itu, berpegang pada pesan Quran, Surat An-Nahl:125, "mengajak ke jalan agama Islam secara bijaksana, melalui tutur bahasa yang santun dan berargumentasi yang baik," dakwah Muhammadiyah berkembang dan memiliki daya panggil tersendiri. Dan semboyannya yang dipetik dari Quran, Surat Al-Maidah:48, "maka berlombalah kamu dalam kebajikan," membuat dirinya merasa "disaingi" atau "menyaingi". Sebaliknya, menjadi terbuka dan membuka diri untuk berdialog dan belajar serta mencontoh keberhasilan dan kemajuan orang maupun lembaga lain, meskipun berbeda agama maupun paham.
Perjalanan sejarah selama 88 tahun (1912-2000), dan setelah melalui liku-liku perjuangan panjang, sejak zaman penjajahan sampai sekarang, gerakan Muhammadiyah terus berlanjut. Aset organisasinya cukup besar baik berupa sumber daya manusia, pendidikan dan kesehatan maupun usaha-usaha lainnya. Begitu pula sistem keorganisasiannya berkembang memenuhi tuntutan maupun keperluan yang sifatnya khusus. Mulai dari yang berbentuk organisasi otonom sampai yang berupa majelis, lembaga, dan biro.
Semua itu merupakan bagian dinamika kehidupan organisasi massa (ormas) yang cenderung ingin menunjukkan kebesarannya. Namun, tanpa disadari akan menjadi beban tersendiri. Paling tidak inilah yang disangga Muhammadiyah sehingga gerakannya menjadi lamban. Kegiatan-kegiatannya lebih merupakan rutinitas organisasi daripada yang bermuatan inovatif. Pengajian-pengajiannya pun tidak lagi melahirkan suasana pencerahan dan pembaharuan.
Politik dalam Muhammadiyah
Sampai sekarang, Muhammadiyah tetap bertahan dan ingin bertahan sebagai organisasi dakwah. Namun, tidak berarti bebas dan/atau membebaskan diri dari percaturan politik.
Secara khusus ada forum politik yang disebut Majelis Hikmah. Di dalam majelis ini seluruh perkembangan dan perubahan politik nasional dikaji dan dirumuskan untuk disampaikan kepada Pimpinan Pusat (PP), lalu dijadikan bahan kebijakan politik Muhammadiyah.
Sebagai forum kajian politik, Majelis Hikmah menghimpun anggota Muhammadiyah yang aktif di partai-partai politik dan pakar serta pemerhati kehidupan politik. Nama-nama tokoh Muhammadiyah seperti Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimedjo, tergolong menonjol dan banyak disebut-sebut BJ Boland melalui bukunya The Struggle of Islam in Modern Indonesia. Dan nama Amien Rais boleh dikata paling menonjol dalam percaturan politik gerakan reformasi.
Politik dalam Muhammadiyah sudah lama menyatu dan menjadi bagian tak terpisahkan gerakan dakwah. Kenyataan ini menyadarkan pentingnya semacam rambu-rambu dan aturan main secara khusus, sehingga terpelihara keutuhan maupun keseimbangan. Apalagi politik tidak bergerak linear, melainkan sangat situasional. Juga punya daya tarik tersendiri yang cukup menggoda.
Rambu-rambu dan aturan main itu secara normatif telah dituangkan dalam Khitah Perjuangan Muhammadiyah. Rumusannya berbunyi, "Muhammadiyah adalah organisasi dakwah yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat. Tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari suatu partai politik tertentu. Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain sepanjang tidak menyimpang dari AD/ART dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Perserikatan Muhammadiyah."
Memposisikan organisasi seperti itu tidak mudah. Bahkan sering terjadi suasana tarik-menarik menegangkan, membuat PP terjepit. Satu sisi harus konsisten dengan garis perjuangan yang telah ditetapkan organisasi, di sisi lain perlu memberi kebijakan yang lebih longgar dan luwes. Apalagi selama ini aspirasi politik warga Muhammadiyah tidak hanya tersalur melalui wadah partai politik tertentu.
Lebih jauh dari itu sepanjang sejarah pergerakannya, Muhammadiyah tidak pernah menempatkan organisasinya sebagai kekuatan oposisi. Maka kalau tokoh-tokoh terasnya bersikap kritis-kolektif, secara politis sering dinilai terlalu jauh dan kurang mencerminkan "kepribadian Muhammadiyah." Demikian pula konsep yang sering disebut-sebut sebagai high politics sering hanya sebatas eufemisme (ungkapan yang lebih halus).
Muktamar ke-44
Sebagai bagian komponen bangsa, Muhammadiyah mesti bersikap proaktif dan menyatu dengan yang lain. Suasana tarik-menarik berbagai kekuatan dan kepentingan politik seperti sekarang ini, bila terus berkepanjangan akan menggoyahkan sendi-sendi utama kehidupan berbangsa dan bernegara. Demikian pula kehidupan mental masyarakat yang rapuh, yang ditengarai adanya pergeseran nurani, akan membuat citra buruk dan menghancurkan peradaban bangsa yang telah mendekati 55 tahun merdeka dan berdaulat.
Lebih dari itu, kini ada kecenderungan kuat untuk tidak menghargai sistem yang bertujuan mengatur kehidupan bersama menjadi kesatuan yang harmonis. Masing-masing kekuatan sosial, politik, agama, dan budaya, saling bertubrukan dan berebut kekuasaan. Semangat kerja sama dan saling menopang kian menipis dan berubah menjadi semangat berbangga-bangga terhadap golongannya sendiri. Persis seperti disebut dalam Quran, Surat Al-Mukminun:53, "Setiap golongan sudah merasa senang dengan yang ada pada mereka."
Mencermati kenyataan itu, muktamar ke-44 dituntut kemampuan dan keberaniannya baik ke dalam maupun ke luar, untuk tidak terperangkap dan masuk dalam suasana tarik-menarik berbagai kekuatan dan kepentingan politik yang kian menyempit. Muhammadiyah dalam posisi dan perannya sebagai organisasi dakwah yang berpegang pada ajaran tauhid yang universal, harus tampil menjadi salah satu kekuatan moral dan membawa sinar agama yang rahmatan lil 'alamin. Caranya antara lain dengan menghidupkan kembali semangat "pencerahan" hidup beragama dalam konteks kehidupan Indonesia Baru melalui pola dialog dan aksi bersama yang dijiwai ajaran tauhid yang universal.
Tema muktamar ke-44 secara tidak langsung mengarahkan gerakan masa depan Muhammadiyah untuk tampil sebagai kekuatan menengah yang berakhlakul karimah, berilmu, dan demokrat. Karena itu, suasana dan jalannya muktamar secara keseluruhan harus menggambarkan wacana itu. Tidak hanya berasyik-asyik dengan diri sendiri dan berbangga-bangga oleh gegap-gempitanya massa penggembira.
Selamat bermuktamar.
* A Malik Fadjar, Guru Besar IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, anggota PP Muhammadiyah.
No comments:
Post a Comment