Jumat, 7 Juli 2000
Oleh Syamsul Arifin
JIKA dirunut dari kelahirannya (1912), usia Muhammadiyah telah melampaui delapan dekade. Sebuah perjalanan sejarah yang tidak bisa dibilang pendek. Oleh banyak kalangan, Muhammadiyah disebut antara lain sebagai eksemplar gerakan pembaharuan (tajdid) Islam yang memainkan peran penting dalam pengembangan pemikiran Islam di awal abad ke-20. Dalam usia-ibarat manusia-sudah melebihi batas ketuaan ini, masihkah Muhammadiyah konsisten dengan khittah sejarahnya itu?
Salah satu warisan terpenting generasi awal Muhammadiyah adalah warisan intelektual berupa kerangka berpikir (mode of thought) yang menekankan penggunaan nalar kritik dalam membaca teks-teks ilahiah, yang meniscayakan pemahaman secara "radikal" dan tuntas, tidak ad hoc. Di Muhammadiyah ada jargon amat populer, "Kembali kepada Al Quran dan as-Sunnah (makbulah)". Jargon ini mengandung filosofi mendalam, bahwa dalam beragama baik pada ranah pemahaman maupun pengamalan perlu merujuk sumber paling otentik, yakni Al Quran dan as-Sunnah. Menurut Mohammed Arkoun, untuk mencapai otentisitas ini pemeluk agama perlu memahami peristiwa-peristiwa pertama (al-hadast al-ta'sisiyyu al-awwal) pada saat teks dibentuk. Dalam konteks ini Muhammadiyah merekomendasikan penggunaan nalar kritik.
Muhammadiyah mempunyai alasan kuat mengembangkan model berpikir yang berbasis nalar kritik. Pada awal pertumbuhannya, Muhammadiyah dihadapkan pada realitas pemikiran dan sikap keagamaan-seperti dalam ungkapan Arkoun-menyerupai lapisan-lapisan geologis pada bumi, sehingga umat Islam tidak lagi bisa merujuk sumber otentik, kecuali pada bongkahan tradisi yang taken for granted. Dalam konteks sejarah Islam di Indonesia, yang oleh ahli sejarah dipandang sebagai fenomena Islam belakangan dan jauh dari pusat Islam, Islam periphery dengan kata lain, adalah wajar bila Islam tampil dalam wujud yang kental dengan unsur-unsur budaya lokal. Karena itu, wajar pula jika Islam menghadapi persoalan serius dalam menemukan otentisitasnya.
Namun, ihwal sejarah yang demikian dibaca lain oleh Muhammadiyah. Dalam pandangan Muhammadiyah, yang dihadapi umat tidak saja persoalan otentisitas. Lebih dalam lagi, umat Islam lalu terpasung dalam kubangan dogmatisme agama yang nyata-nyata menjerumuskan umat Islam ke dalam isolasi intelektual dan ruang sosial yang pengap.
Berhadapan dengan realitas seperti itu, Muhammadiyah rupanya lebih banyak menyoroti aspek intelektual sebagai faktor determinan terjadinya stagnasi dan distorsi dalam sejarah umat Islam. Maka dalam pandangan Muhammadiyah, yang perlu dilakukan pertama kali adalah memberdayakan nalar kritik umat Islam dalam membaca teks yang sesuai tuntutan otentisitas Islam. Langkah ini diteruskan dengan langkah berikutnya, yaitu membangun "basis material" yang kukuh dan solid, sehingga teks itu menemukan evidensi dan signifikansi secara kontekstual.
Apa yang dirintis Muhammadiyah ternyata membawa hasil yang tak terbayangkan sebelumnya, bahkan oleh pendirinya sekalipun. Betapa tidak, dilahirkan oleh seorang muslim asketik, di sebuah kawasan yang sederhana, Kauman, perkembangan Muhammadiyah terus merambah ke seantero Tanah Air. Tidak saja jumlah konstituen yang melimpah, tetapi juga amal usaha yang terus berkecambah. Dalam usianya yang telah melampaui delapan dekade, Muhammadiyah masih tetap diperhatikan banyak orang.
Apresiasi dan kritik
Oleh karena itu, siapa pun yang ikut menghayati perkembangan Muhammadiyah, pasti akan memberikan apresiasi. Mitsuo Nakamura misalnya, profesor antropologi dari Chiba University Jepang, dalam disertasinya The Crescent Arises over the Banyan Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town, memberikan apresiasi dengan menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang mempunyai banyak wajah (dzu wujuh), karena karakteristik dan artikulasinya yang warna-warni. Bentuk apresiasi yang lain bisa dibaca pada hasil-hasil penelitian antropologi oleh Islamisis lainnya seperti James Peacock, Mark R Woodward, dan lainnya.
Namun, bagi siapa pun yang mencermati Muhammadiyah lebih mendalam lagi, pasti akan memberikan kritik, karena perkembangan Muhammadiyah tidak lagi memperlihatkan greget, kecuali sekadar replikasi sejarah Muhammadiyah awal. Karena itu, Muhammadiyah kemudian dibaca banyak orang telah terjebak pada konservatisme.
Kritik terhadap Muhammadiyah terdengar nyaring sejak dekade 80-an. Menariknya, kritik terhadap Muhammadiyah muncul dari kalangan dalam sendiri. AR Fachruddin-yang populer dengan panggilan Pak AR-mengkritik Muhammadiyah yang dilihatnya mulai lamban dan godal gadul. Kritik itu disampaikan Pak AR menjelang Muktamar Ke-42 Muhammadiyah, Desember 1985, di Surakarta. Dengan kritik itu sebenarnya secara tidak langsung Pak AR mengisyaratkan, Muhammadiyah mulai terjebak rutinisme yang mengakibatkan nalar kritiknya mulai tumpul.
Dalam perkembangan selanjutnya Muhammadiyah terus menuai banyak kritik. Lagi-lagi sebagian besar dari orang-orang Muhammadiyah sendiri. Ahmad Syafii Maarif, dalam bukunya, Independensi Muhammadiyah (2000), menyoal ketidakmampuan Muhammadiyah dalam menggelar kajian yang dapat melahirkan teori-teori kajian keislaman kontemporer.
Abdul Munir Mulkhan (1995) mengajukan kritik lain. Katanya, Muhammadiyah kini telah terjebak pada bentuk ideologisasi dan romantisisme.
M Amin Abdullah (1995) tidak kalah tajam, menyoroti generasi Muhammadiyah sekarang yang dianggapnya tidak lagi bisa membedakan antara wilayah organisasi atau institusi dengan keberagamaan yang bersifat individual. Maka ketika semangat keberagamaan dicampuradukkan, apalagi disatupadukan dengan semangat berorganisasi, kata Abdullah, prinsip-prinsip dasar yang dulu menjadi motivasi untuk bergerak dan bergumul dengan persoalan-persoalan konkret sosial keagamaan, lambat laun, tanpa disadari lumpuh dengan sendirinya.
Semua kritik terhadap Muhammadiyah itu bermuara pada mandeknya nalar kritik Muhammadiyah. Kenapa bisa demikian? Pertama, tanpa disadari dalam Muhammadiyah telah terjadi pembakuan pemikiran keagamaan, menyusul semakin menguatnya Muhammadiyah sebagai organisasi. Oleh Machrus Irsyam (1996), Muhammadiyah dikategorikan sebagai gerakan pemikiran, bukan organisasi seperti dalam sejarah Nahdlatul Ulama (NU). Kekuatan gerakan pemikiran, menurut Irsyam, bukan pada masyarakat pendukungnya, bukan pada wadah organisasinya. Dan bukan pula sekadar pemikiran itu sebagai sesuatu yang lain dari pemikiran yang telah ada. Kekuatan sebuah pemikiran terkandung dalam pemikiran itu sendiri, berupa kemampuan menawarkan alternatif baru dan perspektif baru. Ketika berkembang menjadi organisasi, concern Muhammadiyah berubah pada hal-hal yang bersifat kuantitatif, seperti memperbanyak jumlah konstituen dan menambah amal usaha. Tentu saja langkah ini tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Namun persoalannya, ketika organisasi Muhammadiyah paling awal yang nyata-nyata mendinamisasi Muhammadiyah, yaitu Muhammadiyah yang digerakkan oleh nalar kritik.
Untuk memberi gambaran lebih nyata kita ambil contoh Majelis Tarjih. Sejak berdiri tahun 1928, produk-produk yang dihasilkan lembaga ini lebih banyak didominasi aspek fikih. Itu pun terbatas pada persoalan taabbudy. Baru pada tahun 1995, dalam Muktamar Ke-43 Muhammadiyah di Banda Aceh, dipandang perlu memperluas wilayah kerja majelis tidak saja di bidang fikih, namun juga pengembangan pemikiran Islam. Karena itu, majelis ini sejak Muktamar Aceh berganti nama menjadi Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI).
Kritik terhadap Majelis Tarjih tidak saja pada produknya, namun juga pada implikasi intelektual dan sosial, yang ternyata berkembang menjadi apa yang disebut dengan authoritarian group. Himpunan Majelis Tarjih (HPT), produk majelis ini, oleh sebagian warga Muhammadiyah dijadikan pedoman dengan sebuah otoritas absolut. Jadi, di tubuh Muhammadiyah sebenarnya telah terjadi apa yang oleh Arkoun disebut sebagai proses taqdis al-afkar ad-diniyah (pensakralan atau pensucian buah pemikiran keagamaan), suatu perkembangan yang sebenarnya ditentang Muhammadiyah.
Kedua, sebagai gerakan pemikiran, dalam perkembangan selanjutnya, Muhammadiyah rupanya kurang mampu melakukan konsolidasi dan mobilisasi terhadap potensi sumber daya intelektual yang dimilikinya, yang dapat dijadikan sebagai think tank sehingga Muhammadiyah senantiasa mendapat suntikan pemikiran segar. Padahal Muhammadiyah memiliki sejumlah tokoh intelektual dengan jenjang pendidikan yang membanggakan. Sebut saja misalnya, Ahmad Syafii Maarif, M Amien Rais, M Amin Abdullah, A Syafig Muhgni, A Jainuri, M Dien Syamsudin, Habib Chirzin, Fathurrahman Jamil, Kautsar Azhari Noer, dan sebagainya. Belum lagi tokoh-tokoh intelektual yang mempunyai disiplin keilmuan lain (umum). Sayang potensi ini belum mampu menjadi kekuatan sinergis.
Kembali ke "Nalar Kritik-Hermeneutik"
Dalam dunia intelektualisme Islam, pendekatan hermeneutik merupakan icon baru. Di Indonesia, terutama di kalangan intelektual muslim, pendekatan ini baru bekembang pada dekade 90-an. Sementara di lingkungan Muhammadiyah diskursus hermeneutik berkembang baru-baru ini saja. Namun, jika dilihat pada substansi epistemologinya, sebenarnya sejak awal Muhammadiyah telah mengembangkan pemikiran keagamaan yang bercorak paralel dengan pendekatan hermeneutik.
Lebih dari sekadar ilmu interpretasi, hermeneutik menurut Hassan Hanafi (1994), merupakan pendekatan filosofi dalam kajian agama yang bertujuan menemukan otentisitas paham keagamaan dan kaitan praksisnya dengan lingkungan sosial yang terus mengalami perubahan. Dengan tidak terlalu dalam memasuki epistemologi yang digali Hanafi, bisa dikemukakan di sini, sebenarnya yang ditekankan hermeneutik adalah kemampuan dalam memberikan kritik terhadap "agama". Ada tiga jenis kritik yang direkomendasikan oleh Hanafi, yaitu: kritik historis, kritik eidetik, dan kritik praksis.
Dengan ketiga kritik itu, yang ingin digambarkan Hanafi adalah proses keberagamaan bergerak dari suatu pemahaman terhadap peristiwa sejarah di mana ajaran agama mulai dirajut ke dalam bahasa-bahasa tertentu seperti tergambar dengan jelas dalam kitab suci. Terhadap proses seperti itu, Hanafi menekankan pentingnya pemahaman secara kritis terhadap kenyataan historis turunan kitab suci. Dari kritik historis diteruskan ke kritik eidetik (pemahaman). Kritik ini menekankan kandungan makna bahasa dalam kitab suci, dan yang paling penting, memahami situasi kesejarahan sebagai dasar pertimbangan diturunkan wahyu. Berikutnya, kritik praksis. Kebenaran agama kata Hanafi bukan pada kumpulan dogmanya yang dapat dipertahankan dengan mengemukakan argumen tertentu. Kebenaran agama terletak pada kemampuannya untuk menjadi motivasi bagi tindakan.
Di mana kita menemukan paralelisme antara nalar kritik hermeneutik dengan pemikiran Muhammadiyah? Mari kita rekonstruksi pemikiran keagamaan Ahmad Dahlan. Dalam rangka rekonstruksi ini, suatu hal yang harus dimaklumi, Ahmad Dahlan jelas-jelas tidak menyebut pembaharuan pemikiran sebagai proyek hermeneutik seperti yang digagas secara mendalam oleh Hassan Hanafi. Namun suatu hal yang tak terbantahkan, pemahaman Ahmad Dahlan terhadap kitab suci dapat disejajarkan dengan pendekatan hermeneutik. Dalam memahami Al Quran, Ahmad Dahlan menghindari pemahaman yang dogmatis dan verbalistik. Ia secara serius memahami pesan moral Al Quran seperti dikehendaki tuntutan sejarah ketika Al Quran diwahyukan. Berikutnya, Ahmad Dahlan, mewujudkan ke dalam kehidupan nyata seperti melakukan penyantunan terhadap anak yatim dan fakir miskin. Dengan secuil contoh ini dapat dikatakan, Ahmad Dahlan telah merintis pemikiran dan pengamalan agama yang kini disebut nalar kritik-hermeneutik.
Maka, untuk menumbuhkan kembali nalar kritik-hermeneutik dalam Muhammadiyah, agaknya generasi Muhammadiyah kini perlu bercermin pada keseriusan generasi awal dalam melakukan pencerahan terhadap pemikiran keagamaan umat Islam. Muhammadiyah kini memiliki sumber daya intelektual yang boleh dibilang lebih dari cukup. Kini yang penting, kesadaran warga persyarikatan Muhammadiyah dalam memanfaatkan potensi itu.
* Syamsul Arifin, Ketua Program Magister Ilmu Agama Islam Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang, dan anggota Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah.
No comments:
Post a Comment