Kompas, Senin, 17 November 2003
Andar Nubowo
PADA 18-20 November 2003 ini, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mengadakan Tadarus Pemikiran Islam bertema "Kembali ke Al Quran, Mencari Semangat Zaman" di Malang. Kegiatan itu bertujuan memetakan pemikiran Islam kontemporer di dunia Islam, khususnya yang berkait dengan dialog Islam-Barat dan menemukan kunci hermeneutik (hermeneutical keys) untuk turut serta memecahkan problem kekinian. Tidak berlebihan jika kegiatan ini merupakan tanda kebangkitan kembali intelektualisme di kalangan Muhammadiyah, terutama kaum muda.
BEBERAPA dekade terakhir, banyak kritik, sebagai gerakan pembaharuan (tajdid), Muhammadiyah mengalami stagnasi dalam ranah pemikiran. Muhammadiyah tak berdaya menghadapi gempuran problem sosial, ekses globalisasi, neokapitalisme, dan liberalisme yang sulit dibendung. Kini, Muhammadiyah cenderung terjebak rutinitas aktivisme yang acap kali menumbuhkan kejemuan, birokratisme, dan pragmatisme, bahkan sementara aktivis lebih tertarik pada political achievement.
Sosok-sosok seperti A Syafii Maarif, Amin Abdullah, Abdul Munir Mulkhan, Moeslim Abdurrahman adalah sedikit pemikir yang saat ini masih dimiliki Muhammadiyah. Satu kenyataan yang sebetulnya tidak layak disandang gerakan Islam modernis seperti Muhammadiyah.
Langkanya tradisi reflektif di kalangan muda Muhammadiyah justru kian parah. Ini kemungkinan besar disebabkan sistem perkaderan Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) yang cenderung menekankan sisi normatif dan aktivisme organisasi. Misalnya, pelatihan perkaderan, kajian AD/ART, kajian Sistem Perkaderan lebih mendapat porsi relatif besar dibandingkan dengan kajian yang bersifat diskursif, ilmiah, dan intelektual. Bahkan untuk sementara aktivis, keinginan berpolitik praktis lebih besar daripada bagaimana turut aktif memecahkan problem sosial keumatan yang hingga kini masih menghantui eksistensi kita.
Maka, Tadarus Pemikiran ini merupakan "oase" bagi keringnya naluri berintelektual di Muhammadiyah dan kaum mudanya. Paling tidak, ini sebagai langkah awal menghidupkan kembali (to revitalize) tradisi berpikir yang dulu diintroduksi serius oleh pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.
Intelektualisme yang Dilupakan
Sejak didirikan, Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan Islam yang memadukan ortodoksi dan ortopraksis. Kala itu praktik ritual umat Islam ternoda tradisi hinduistik-budhistik yang sarat takhayyul, bid’ah dan khurafat, dan praktik keagamaan yang mekanistik tanpa terlihat kaitannya dengan perilaku sosial. Umat Islam saat itu bodoh, miskin, dan terbelakang, tidak mampu melihat batas baik dan buruk. Umat Islam tak berdaya melihat parade kolonialis Belanda di depan mata mereka.
Hal inilah yang menggugah Ahmad Dahlan untuk menyadarkan umat dengan jargon kembali kepada Al Quran dan Sunah Nabi Muhammad Saw (al-ruju’ ila al-Quran wa al-Sunnah al-Nabawiyah) dalam ranah agama, sosial, dan moral. Bersama murid-muridnya, Ahmad Dahlan bergerak memurnikan akidah umat yang melenceng jauh dari sumbernya sembari memecahkan problem kronis umat dengan mendirikan panti yatim, rumah miskin, rumah sakit, dan sekolah.
Aksi sosial yang dilakukan Ahmad Dahlan dan kawan-kawan tidak muncul begitu saja, tetapi lahir dari refleksi kritis dan mendalam atas teks primer Islam dan kondisi sosial, politik, budaya umat. Pendirian rumah miskin, panti yatim, dan rumah sakit, diilhami firman Allah dalam surat Al Ma’un, Muhammad: 7; dan Al Ankabut: 69 (M Soedja’, 1989). Hingga akhir hayatnya, Ahmad Dahlan dan kawan-kawan sekampung di Kauman terus menggelindingkan doktrin sosial itu.
Sayang, KH Ahmad Dahlan sama sekali tidak pernah menorehkan gagasan pembaruannya dalam warisan tertulis, tetapi lebih pada karya dan aksi sosial nyata. Sosok Ahmad Dahlan adalah sosok man of action. Dia made history for his works than his words, tulis Alfian dalam disertasinya. Ini berbeda dengan tokoh pembaharu lain, A Surkati dan A Hasan yang produktif menulis. Sehingga Ahmad Dahlan lebih dikenal sebagai sosok pembaru yang pragmatis (Alfian, 1989).
Akibatnya, kader Muhammadiyah lebih memahami, bermuhammadiyah adalah dengan aktif mengurusi dan mendirikan lembaga pendidikan dari tingkat prasekolah hingga perguruan tinggi, panti asuhan, rumah sakit, dan amal usaha lain. Kader dan aktivis Muhammadiyah bangga jika prestasi Muhammadiyah dijadikan obyek penelitian ilmiah sarjana internasional, seperti James L Peacock, Mitsuo Nakamura, George Kahin, Robert Van Neil, Drewes, Deliar Noer, Alfian, dan yang terakhir A Jainuri. Apalagi saat Muhammadiyah disemati sebagai-seperti ditulis Peacock-the most powerful Islamic reformist movement ever exist in Southeast Asia, perhaps in the world.
Pengabaian semangat berpikir ini, tak ayal melahirkan kejumudan mayoritas kader dan aktivis Muhammadiyah. Ruang spiritual, meminjam EF Schumacher, yang seyogianya diisi tradisi refleksi kritis, justru dipenuhi sikap reseptif, tekstualis terhadap doktrin Islam. Al Quran yang seharusnya dibaca secara kritis dan dikontekstualisasikan guna pemecahan krisis sosial, hanya diperlakukan sebagai kitab agung yang hanya dilantunkan dan dikidungkan.
Figur mulia Muhammad sekadar dipahami dalam prespektif gestural-tekstualis, seperti cara makan nabi, memelihara jenggot, tanpa menelisik lebih dalam makna perjuangan nabi secara lebih luas. Cara bermuhammadiyah seperti ini bahkan menodai cita awal Muhammadiyah didirikan KH Ahmad Dahlan.
Kesadaran sejarah yang kembali lahir di kalangan kaum muda Muhammadiyah harus diapresiasi, bukan dicurigai. Kesadaran ini muncul seiring kian akutnya masalah kontemporer yang dihadapi. Untuk itu, model intelektualitas yang harus dipilih adalah yang sadar dengan realitas sosial dan melakukan pemihakan, penyadaran, serta pencerahan bagi kemaslahatan bangsa, laiknya perjuangan Ahmad Dahlan kala itu.
Kesadaran intelektual ini harus dapat mewujudkan gerakan yang kritis, independen, dan sosialis-dalam pengertian mau membela dan memihak kaum tertindas dan lemah. Sebab kata Ali Syariati, misi suci kaum intelektual atau cendekiawan adalah membangkitkan dan membangun masyarakat bukan memegang kepemimpinan politik negara, dan melanjutkan kewajiban dalam membangun dan menerangi masyarakat hingga mampu memproduksi pribadi tangguh, kritis, independen, dan punya kepedulian sosial tinggi (1996).
Dalam bahasa Gramscian, kelompok ini disebut dengan intelektual organik, atau Moeslim Abdurrahman menyebutnya sebagai subaltern intelectuals, intelektual akar rumput. Lapisan kritis civil society yang bertindak sebagai artikulator antikemapanan dan ketidakadilan (2003). Kaum intelektual yang peka dengan realitas sosial, problem ketidakadilan dan ketertindasan. Dan juga, peka terhadap limbah modernisasi dan globalisasi yang kian parah dan akut.
Kemiskinan, keterbelakangan, krisis multidimensional yang sedang melilit menjadi keprihatinan dan kegelisahan religius, sosial, dan moral intelektual akar rumput Muhammadiyah ini untuk melakukan aksi penyadaran dan pencerahan rakyat. Tidak sekadar berwacana dengan isu dan diskursus "mahal" dari jangkauan rakyat kebanyakan. Bukankah Ahmad Dahlan telah memberi contoh terbaik bagi perpaduan intelektualisme dan praksisme ini?
Andar Nubowo Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM); Peneliti pada Center of Muhammadiyah Studies PP Muhammadiyah
No comments:
Post a Comment