Senin, 17 November 2003
Bahrus Surur-Iyunk
HAMPIR tidak ada masyarakat Indonesia yang tidak tahu Muhammadiyah, sebuah organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan pada 8 Dzulhijjah 1330 atau 18 November 1912 di Yogyakarta. Sejak Muktamar ke-39 di Padang, milad atau kelahiran itu diperingati menurut kalender Masehi tiap tanggal 18 November. Kini, Muhammadiyah menapaki usia 91 tahun, umur yang melebihi "kedewasaan" bangsa ini.
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan Islam modernis yang mampu mengembangkan aktivitas sosial (pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan kesejahteraan sosial) secara spektakuler. Namun, belakangan muncul banyak kritik kepadanya, terutama berkait ide tajdid atau reformisme. Oleh para pengkritik, Muhammadiyah ditengarai telah mandek secara pemikiran dan kering dari nuansa spiritualisme.
Meski pembaruan (tajdid) bukan tanggung jawab suatu kelompok atau segelintir orang, Muhammadiyah yang menegaskan dirinya sebagai gerakan tajdid atau gerakan Islam modernis perlu merenung kembali bagaimana kiprahnya dalam konteks kehidupan umat Islam kekinian, baik secara fisik-material maupun rohani-spiritual dan pemikiran ideologis.
Gaya Muhammadiyah
Tajdid gaya Muhammadiyah sebenarnya hanya berkisar pada gerakan purifikasi (pemurnian) keagamaan dan modernisasi pada aras praksis sosial. Untuk yang pertama, Muhammadiyah melancarkan kritik terhadap praktik semiritual keagamaan yang biasa disebut bid’ah, khurafat, dan takhayyul. Mesti diakui ada kebutuhan pembaruan yang bersifat purifikatif, yaitu pemurnian keyakinan akidah dari hal-hal yang dianggap mengotori. Inilah yang sering terjadi melalui proses sejarah, sebagai akibat pertemuan Islam dengan kebudayaan lokal.
Dalam banyak hal, langkah ini penting, terutama untuk mengurangi "membengkaknya" hal-hal yang irasional dalam agama. Sebab, yang disebut takhayyul, bid’ah dan khurafat sebenarnya adalah unsur irasional dalam agama, yang tidak secara gampang dicerna dengan nalar.
Purifikasi gaya Muhammadiyah tidak seradikal gerakan Wahabi di Arab Saudi, misalnya, dengan membongkar kuburan yang dianggap keramat. Mungkin karena Muhammadiyah lahir di Jawa sehingga gayanya agak lain. Muhammadiyah lebih tepo seliro sesuai langgam kejawaannya. Meski demikian, tetap ada unsur budaya (Islam) yang dipangkas sehingga mengebiri perkembangan seni-budaya Islam di Indonesia.
Dalam konteks aras tajdid kedua, yakni modernisasi, Muhammadiyah mampu mengadopsi dan mengadaptasi wacana dan sistem pendidikan serta lembaga modern model Barat Kristen ke dalam tradisi Islam. Sisi penting ini pada gilirannya, meminjam istilah Kuntowijoyo (1999), melahirkan berbagai amal-usaha sebagai konsekuensi logis dari rasionalisasi dan obyektivikasi keimanan yang rasional. Jadi, keyakinan teologis inilah yang melahirkan aktivisme sosial sekaligus intelektualisme baru sebagai tuntutan untuk memahami terus-menerus doktrin Islam, Al Quran dan Sunah Nabi.
Namun, dalam konteks kekinian, kedua aras reformasi atau tajdid itu terasa berjalan monoton, kalau tidak resisten. Bagaimana tidak, ketika budaya berjalan di atas rel modernitas yang normal dan cepat maka apa yang disebut irasional itu otomatis akan tergusur. Tantangan irasionalitas nantinya akan bergeser menjadi kemusyrikan berupa kepercayaan akan kecanggihan teknologi melebihi keyakinan akan adanya Tuhan.
Begitu juga modernisasi di bidang pendidikan. Meski Muhammadiyah kelihatan lebih maju dibanding ormas Islam lainnya, akomodasi modernitas gaya Muhammadiyah saat ini sering tidak didasari landasan teologis yang mapan. Gerakan yang notabene Islam modernis ini tidak punya kerangka teori teologis yang jelas. Kalaupun ada, hal itu sudah tidak kontekstual bagi pengembangan wacana pemikiran dan tantangan modernitas dan pascamodernitas.
Teologi "Tajdid" Baru
Oleh karena itu, Muhammadiyah perlu mengakomodasi ulang wacana modernisme dengan mengajukan kerangka atau bangunan (pemikiran) teologis baru. Langkah semacam ini sebenarnya sering dilakukan Nurcholish Madjid. Ia tidak hanya mengajukan sejumlah tradisi dan kecenderungan dunia modern, tetapi sekaligus menawarkan konstruksi teoretis-teologisnya. Bisa jadi, upaya ini lebih maju dari apa yang pernah dilakukan Muhammadiyah. Sebab, lebih sophisticated, lebih menukik ke dalam, yakni membangun kerangka teologis pada tendensi modernitas, pluralisme, demokrasi, sekularisasi, dan sebagainya. Dengan kata lain, bagaimana wacana ini dapat dibingkai atau dibangun di atas landasan teologis Islam. Adapun yang dilakukan Muhammadiyah selama ini tidak lebih dari sekadar mengadopsi dan mengadaptasi, mengambil unsur modernitas seperti pendidikan, kesehatan, kelembagaan sosial, manajemen birokrasi- organisasi dan seterusnya. Dengan demikian, tajdid Muhammadiyah sesungguhnya lebih berkisar pada persoalan praktis, tidak teoretis-teologis.
Implikasinya, Muhammadiyah maju secara kelembagaan sosial-material. Amal usahanya besar dan menggelembung. Tetapi, meminjam istilah Pak AR Fakhruddin (almarhum), "jalannya ghodal-ghadul karena tidak dapat membawa badannya yang gemuk." Artinya, Muhammadiyah kurang dapat mengarahkan gerak langkahnya karena kurang mengelaborasi ulang makna teologis Islam yang terkandung dalam normativitas ajaran. Inilah yang belakangan melahirkan kesenjangan yang akut antara keimanan yang mendasari keikhlasan dan praksis sosial yang dijalankan. Praksis sosial Muhammadiyah sudah tidak lagi mencerminkan refleksi pandangan teologis.
Secara demikian, Muhammadiyah sebagai organisasi sosial-kemasyarakatan Islam akan berubah menjadi "organisasi sosial-kemasyarakatan biasa" yang sudah tidak lagi terikat misi keislaman atau nilai teologis Islam yang selama ini dibangun the founding fathers-nya. Hingga di sini, Muhammadiyah harus merekonstruksi landasan dan bingkai teologis baru yang mampu dipegangi warganya dalam menapaki era baru abad XXI.
Himpunan Putusan Tarjih (HPT) yang selama ini masih dipelajari warga Muhammadiyah di daerah, cabang, dan ranting mesti diakui sudah tidak memadai lagi untuk diobyektivikasi dalam konteks keindonesiaan yang kompleks. HPT yang disusun dan disahkan tahun 1969 hanyalah penafsiran atau pemikiran Islam Muhammadiyah yang sesuai tuntutan era 1960-1970-an. Yaitu, saat Indonesia belum mengalami modernisasi teknologi; belum meributkan masalah HAM; belum terjadi kerusuhan antaretnis dan agama yang menuntut orang berpikir kembali soal disintegrasi dan pluralisme agama-budaya; belum ada arus globalisasi informasi dan Orde Reformasi.
Jika saja HPT ini tetap dipertahankan dan tidak diperbarui, keberagamaan Muhammadiyah akan mengalami peregangan. Muhammadiyah tidak mampu mengantisipasi ketegangan sosial; gagal memberi kesejukan keimanan dan spiritualisme; dan agama oleh warganya hanya dijadikan alat legitimasi belaka. Inilah yang pernah diprediksi Djohan Effendi (1999), Muhammadiyah saat ini lebih cenderung fundamentalis, sedangkan NU berjalan ke arah paradigma neomodernis.
Bahrus Surur-Iyunk Alumni Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Pengkaji pada Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
No comments:
Post a Comment