Oleh SYAMSUL ARIFIN*)
MUHAMMADIYAH sedang menghitung mundur (countdown) jelang pelaksanaan muktamar, Juli nanti. Serangkaian Seminar Pra-Muktamar dilaksanakan setidaknya di 30 Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM). Di luar Seminar Pra-Muktamar, kalangan muda Muhammadiyah menggelar perhelatan berskala nasional berupa Kolokium Nasional Interdisipliner Cendekiawan Muda Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang pada 6-7 Maret yang lalu. Inisiasi kaum muda menggelar kolokium patut diapresiasi setidaknya karena dua hal.
Yang pertama tentu karena posisi krusial dan strategis kaum muda dalam menentukan apa yang disebut dengan continuity and change gerakan atau organisasi. Muhammadiyah didirikan Ahmad Dahlan selagi usianya masih muda, 44 tahun. Sebelum pada gilirannya mendirikan Muhammadiyah, Ahmad Dahlan mengalami pergolakan. Ketika usianya baru 15 tahun, Ahmad Dahlan telah bersentuhan dengan pemikiran pembaru Islam seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin al Afghani, dan Rasyid Ridha, sewaktu haji dan menetap selama lima tahun di Mekah. Beberapa tahun setelah kepulangan dari haji yang kedua (1903) dan sempat berguru kepada Syekh Ahmad Khatib, Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah.
Hingga dalam usia melampaui satu abad, Muhammadiyah tetap eksis dan dinamis, kendati pada beberapa bagiannya diterpa permasalahan yang memantik kritik. Salah satu yang disoroti adalah kesinambungan intelektualisme Muhammadiyah. Intelektualisme adalah suatu etos pencarian kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan yang pada gilirannya berujung pada perubahan. Intelektualisme meniscayakan kritik yang nantinya berbuah rekonstruksi, bahkan dekonstruksi.
Dengan berbekal ilmu pengetahuan yang di antaranya diperoleh selama dua kali haji, Ahmad Dahlan melakukan kritik terhadap sistem pengetahuan masyarakat yang lebih mendasarkan pada tradisi dan terkadang terkontaminasi mitos. Misalnya tentang arah kiblat yang menjadi masalah serius karena banyak masjid kala itu, yang penting menghadap ke arah barat, tetapi setelah dikonfirmasi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, melenceng jauh dari arah kiblat.
Ahmad Dahlan juga mengkritik dan merekonstruksi praktik atau tradisi keagamaan yang tidak memiliki pendasaran secara kuat secara naqli. Warisan lainnya yang terus terpelihara hingga sekarang adalah modernisasi kelembagaan Islam yang bersentuhan dengan kemaslahatan umat Islam utamanya pendidikan, kesehatan, dan panti asuhan. Apa yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan pada saat itu disebut oleh banyak peneliti, misalnya Alfian dalam bukunya Muhammadiyah: The Political Behavior of a Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism, sebagai gerakan pembaruan keagamaan (religious reformist movement).
Modal Intelektual
Kolega saya, Masdar Hilmy, guru besar dan rektor UIN Sunan Ampel Surabaya memiliki pandangan menarik tentang efek intelektualisme dan aktivisme yang telah didilakukan Muhammadiyah. Katanya, pembaruan yang diinisiasi Muhammadiyah telah menjadi mainstream karena ormas Islam lainnya telah melakukan apa yang dikakukan Muhammadiyah.
Pembaruan Muhammadiyah, katanya lebih lanjut, menjadi sesuatu yang biasa, untuk tidak mengatakan tidak istimewa lagi. Lalu, apa yang harus dilakukan oleh Muhammadiyah pada saat ini?, lanjutnya. Ungkapan Masdar Hilmy sama halnya dengan memersoalkan keberlanjutan (continuity) intelektualisme Muhammadiyah. Keberlanjutan intelektualisme Muhammadiyah inilah yang bisa dijadikan alasan berikutnya pemberian apresiasi terhadap penyelenggaraan kolokium nasional yang diinisiasi kaum muda Muhammadiyah.
Kolokium dihadiri beberapa tokoh muda yang telah mengalami mobilitas pendidikan hingga ke level paling puncak, dan di antara mereka memperoleh atribut sebagai intelektual. Sebut saja misalnya Ahmad Najib Burhani, Hilman Latif dan Pradana Boy, Ahmad Najib Burhani memperoleh gelar doktor dari University of California, Santa Barbara, Amerika Serikat. Hilman Latif berhasil menyelesaikan doktor dari Universiteit Utrecht, Netherlands.
Sementara Pradana Boy merampungkan pendidikan doktoralnya dari National University of Singapore. Ketiga tokoh Muhammadiyah tersebut—sekali lagi sekedar contoh—memiliki tradisi keilmuan yang kuat antara lain setelah ditempa oleh perguruan tinggi yang memang memiliki tradisi keilmuan yang panjang dan kuat. Disertasi bertajuk Fatwa in Indonesia: An Analysis of Dominant Legal Ideas and Mode of Thought of Fatwa-Making Agencies and Their Implications in the Post-New Order Period, ditulis Pradana Boy, misalnya, mustahil dipublikasikan Amsterdam University Press jika tidak ditulis dengan standar yang tinggi dan setelah melalui proses pengujian berlapis-lapis.
Ahmad Najib Burhani alih-alih sekedar memiliki minat tinggi terhadap kajian di bidang minoritas, bahkan memerlihatkan kepedulian terhadap kelompok ini yang terkadang disebut liyan sebagaimana ditunjukkan melalui bukunya, Menemani Minoritas: Paradigma Islam tentang Keberpihakan dan Pembelaan kepada yang Lemah. Minat Ahmad Najib Burhani memiliki titik perjumpaan dengan minat Pradana Boy. Sedangkan Hilman Latif memiliki minat kajian antara lain terhadap filantropi, bahkan berhasil mengembangkan Lazismu sebagai salah satu filantropi terbesar yang dimiliki oleh umat Islam di Indonesia.
Moderatisme
Dengan mengambil tiga tokoh muda Muhammadiyah itu, ingin ditegaskan bahwa Muhammadiyah sebenarnya memiliki modal intelektual untuk terus menghidupkan etos intelektualisme. Konteks intelektualisme Muhammadiyah tentu berbeda apabila dibandingkan dengan Muhammadiyah seabad silam. Pada saat ini, Muhammadiyah, menurut M. Amin Abdullah--intelektual senior yang dijadikan mentor kalangan muda Muhammadiyah yang juga hadir dalam kolokium--menghadapi realitas perubahan (taghayyurat) yang kian cepat, kompleks, bahkan disruptif.
Perubahan disruptif yang disebut oleh M. Amin Abdullah antara lain pembelahan umat Islam yang disebabkan setidaknya oleh dua faktor. Pertama, karena terpaan dan visi politik identitas yang tentu saja sektarianistik. Kedua, terpaan media sosial yang kian memperpendek dan mempercepat akses kepada informasi, namun di sisi lain memudahkan umat Islam terinfiltrasi oleh paham keagamaan yang bertolak belakang dengan arus utama paham keagamaan Islam di Indonesia, yaitu moderat.
Di kalangan Muhammadiyah sendiri infiltrasi mulai terlihat dengan munculnya varian baru yang disebut M. Amin Abdullah dengan mengutip Munil Mulkhan, di antaranya Muhammadiyah-Salafi (MUSA) dan Muhammadiyah Rasa Salafi (MURSAL). Varian-varian semacam ini bisa ditemukan juga di luar Muhammadiyah. Menghadapi realitas ini kaum muda Muhammadiyah tertantang untuk mengampanyekan dan membumikan karakter keagamaan Muhammadiyah yang sejatinya moderat dan berkemajuan.
Caranya? Pertama, memperluas jejaring secara interdisipliner dengan memanfaatkan modal intelektual yang kian melimpah. Kedua, memperkuat kerja-kerja intelektual yang lebih autentik di antaranya mengeksplorasi secara terus menerus sumber-sumber pemikiran keagamaan, yang kemudian dilanjutkan dengan suatu tahapan elaboratif yang berwujud karya intelektual yang sistematis dan mendalam.
*) Sosiolog agama dan wakil rektor bidang akademik Universitas Muhammadiyah Malang; penulis buku Utopia Negara Khilafah (2020).
No comments:
Post a Comment