Tirto.id
Kolumnis: Muhammad Yuanda Zara
09 Februari, 2018
Selain warga Muhammadiyah dan lingkaran intelektual Muslim tertentu, hanya sedikit orang mengetahui Majalah Suara Muhammadiyah (SM). Sekilas ini mudah dipahami karena SM diterbitkan oleh Muhammadiyah dan terutama sekali ditujukan pada warga Muhammadiyah. Orang tidak akan menemukan SM di lapak koran. Bahkan, para pengamat media juga kerap melupakan SM dalam kajiannya tentang sejarah pers di Indonesia. Cara berpikirnya sederhana: karena SM (dinilai) semata media internal Muhammadiyah (Budi Irawanto dalam Khrisna Sen & David T. Hill [ed.], 2011).
Padahal bila dilihat dari berbagai aspek, SM punya bobot yang tak bisa diremehkan. Majalah ini hadir sejak 1915, atau tiga tahun setelah Muhammadiyah berdiri dan tiga dekade sebelum Republik Indonesia lahir. Satu lagi: SM masih tetap terbit hingga hari ini. Artinya, usianya telah mencapai seabad lebih.
Catatan lain bisa ditambahkan: SM adalah majalah yang turut membentuk generasi baru intelektual Muslim Indonesia di paruh kedua abad ke-20. Saat para intelektual itu masih muda, mereka berkali-kali menulis dan muncul di SM. Daftarnya merentang dari Ahmad Syafii Maarif, Amien Rais, Emha Ainun Nadjib, M. Diponegoro, dan Haedar Nashir. Nama pertama yang kini begitu terkenal, Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah dan guru besar Sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta, dulu bahkan merupakan wartawan SM dari tahun 1965 sampai 1972. Ia terjun ke lapangan untuk mengumpulkan bahan berita dan pergi ke berbagai kota untuk mewawancarai narasumber.
Penghargaan datang silih berganti untuk menghargai pencapaian SM, mulai dari Museum Rekor Indonesia (MURI) yang menyebutnya sebagai Majalah Islam yang Terbit Berkesinambungan Terlama dan Serikat Perusahaan Pers (SPS) yang mendaulatnya sebagai Salah Satu Majalah Tertua di Indonesia. Yang terbaru, dalam Peringatan Hari Pers Nasional di Padang pada 9 Februari 2018, SM diberi penghargaan untuk kategori Kepeloporan sebagai Media Dakwah Perjuangan Kemerdekaan RI dalam Bahasa Indonesia.
Bisa dikatakan usaha memahami sejarah pers sekaligus sejarah Islam di Indonesia tanpa menyinggung SM niscaya tidak akan lengkap.
Baca juga: Kiai Dahlan & Muhammadiyah: Usaha Melumat Kejumudan Umat
Islam, Kebangsaan dan Kemajuan
Ada tiga elemen yang secara konstan hadir di SM: (1) upaya memurnikan ajaran Islam, (2) gagasan untuk memajukan umat Islam dan Indonesia, dan (3) usaha membangun kesadaran kebangsaan.
Salah satu fungsi SM adalah sebagai media dakwah yang bertujuan memurnikan ajaran Islam; sesuatu yang memang beririsan rapat dengan "ideologi" Muhammadiyah. Sejak awal kelahirannya, SM senantiasa mengulas berbagai aspek agama Islam, misalnya tentang puasa Ramadan, tauhid, ziarah kubur, hingga soal hukum memotong gigi. Pada 1923, SM menulis bahwa “keroesakan orang Islam tanah Hindia pada waktoe ini soedah sebegitoe kerasnja”. Ini mengacu berbagai tafsiran dan praktik Islam yang dinilai keliru oleh SM. Maka SM bertekad membawa kaum Muslim ke ajaran Islam yang sebenarnya. Al Quran dan Hadis Nabi Muhammad saw dijadikan sebagai pegangan.
SM merupakan salah satu tempat kaum Muslim Hindia Belanda belajar Islam yang murni. Ini tercermin dari surat pembaca seorang pembaca SM pada 1923. Sang pembaca menyebut dirinya “seorang jang koerang pengetahoean”, dan ia mencari ilmu agama dari SM untuk “memberi penerang hati kami jang gelap”.
Baca juga: Kisah Ahmad Dahlan dan Koreksi Waktu Subuh Muhammadiyah
Di luar soal pemurnian agama, SM juga mencita-citakan kemajuan intelektualitas pembacanya. Rasionalitas dan penyesuaian dengan dunia modern menjadi ciri khas SM sejak awal terbit hingga kini. Pendiri SM, KH Ahmad Dahlan, memilih sarana komunikasi terkini di zamannya bernama percetakan dan penerbitan untuk menyebarkan gagasannya daripada terpaku pada metode tradisional berupa tatap muka di masjid.
Apresiasi SM pada pencapaian intelektual dan kemajuan ilmu pengetahuan tampak dari besarnya tempat yang diberikan pada para ahli, baik dalam ilmu agama maupun dalam subjek sekuler, untuk menyuarakan opininya di setiap edisi SM. Direktur Islamic Studies di McGill University, Kanada, Dr. Wilfred Cantwell Smith, bahkan pernah muncul di sampul depan SM pada 1973.
SM mendorong pembacanya berpandangan ke luar dengan berpikir mondial. Sejak awal SM sudah berbicara tentang luar negeri, walau masih sebatas perjalanan naik haji ke Mekkah. Dalam dekade-dekade berikutnya, dunia yang ditampilkan SM kian luas. Berbagai reportase SM berbicara tentang, umpamanya, dinamika politik di daerah konflik seperti India-Kashmir dan Palestina-Israel, serta perkembangan Islam, baik di negara mayoritas muslim seperti Pakistan dan Malaysia, atau di wilayah-wilayah yang muslimnya menjadi minoritas.
Mungkin mengherankan pengamat media Islam, namun beginilah adanya: SM bahkan berbicara soal teknologi tinggi, khususnya perkembangannya di Barat. Contoh yang paling menonjol saat SM turut mengabadikan salah satu pencapaian teknologi terbesar umat manusia di abad ke 20 yaitu pendaratan manusia di bulan tahun 1969. Dari tahun itu hingga beberapa tahun setelahnya, SM mengupas banyak hal teknis soal pendaratan ini, mulai dari modul lunar eagle yang dipakai, tarikan gravitas bumi, hingga kecepatan pesawat. Untuk mempertajam analisis, SM tidak sungkan mengeksplorasi imajinasi manusia tentang bulan di dalam novel karya Jules Verne tahun 1865, De la Terre a la Lune (Dari Bumi ke Bulan).
Sedangkan dalam soal kesadaran kebangsaan, SM membangunnya lewat berbagai macam cara. Pertama, lewat kebijakan bahasa. SM awalnya terbit dalam bahasa dan aksara Jawa, tapi di era 1920an SM mengadopsi bahasa Melayu yang kala itu merupakan salah satu wujud dukungan terhadap emansipasi sosial-politik pribumi dan sikap anti-kolonialisme Belanda. Istilah “Indonesia”, sebagai kata ganti Hindia Belanda, sudah dipakai SM sejak 1924, empat dekade setelah Adolf Bastian mempopulerkan kata “Indonesien” lewat bukunya, Indonesien: Oder, die Inseln des Malayischen Archipel (1884), dan dua tahun setelah Indische Vereniging di Belanda berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia (1922).
Di sisi lain, SM membangun kesadaran spasial para pembacanya tentang wilayah geografis Hindia Belanda, dan kemudian Indonesia. Pembaca diajak membayangkan, dan kemudian menyadari, bahwa dunia tak hanya Yogyakarta saja. Sejak era 1920an, seiring dengan sirkulasi SM ke luar Yogyakarta, hadirlah nama wilayah lain Hindia Belanda di SM, mulai dari Solo, Surabaya, Batavia, Garut, Pekalongan, Prianger (Priangan), Sumatra hingga Celibes (Sulawesi).
Tulisan-tulisan SM tentang berbagai belahan dunia (dan belahan alam semesta) ini memberi kesempatan pembacanya untuk tak hanya paham perihal persoalan organisasi Muhammadiyah atau Indonesia semata, tapi juga konstelasi sosial dan politik di seantero bumi, dan bahkan teknologi maju untuk menuju luar angkasa. Terselip pula pesan dari SM agar orang Indonesia turut ambil bagian dalam perlombaan kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan sains.
Baca juga: Kiprah KH Fakhruddin, Putra Lurah Keraton, Membesarkan Muhammadiyah
Pada 1960an, SM melaporkan berbagai usaha Muhammadiyah untuk melepaskan “anak panah”-nya ke pelosok Indonesia, misalnya ke pedalaman Lombok dan Papua. Reportase ini mengomunikasikan berbagai problem yang ada di luar Jawa kepada para pembaca SM di seluruh Indonesia. Lahirlah simpati dan perhatian terhadap daerah-daerah tersebut. Via reportase semacam ini, SM membawa daerah terpencil ke dalam peta besar Indonesia.
Dengan umurnya yang telah satu abad lebih, SM telah menjadi saksi berbagai peristiwa besar di Indonesia dan dunia, dan bergerak melintasi berbagai zaman yang sering kali kejam bagi media massa (SM, misalnya, sempat berhenti terbit di masa pendudukan Jepang). SM secara konstan menyuarakan kemajuan bagi umat Islam dan Indonesia.
Bisa dimengerti jika jika Dr. James Peacock dan Prof. DC Mulder, dua peneliti asing yang fokus mengkaji Indonesia, menjadi pelanggan SM pada 1970an. Bagi mereka, SM adalah salah satu sumber penting untuk penelitian. Memang, SM merupakan jendela jurnalistik yang tepat untuk melihat perkembangan Islam di Indonesia yang dipelopori kaum modernis, yang percaya bahwa progres hanya bisa dicapai dengan pemahaman agama yang murni dan adaptasi dengan dunia modern.
Sumber:
Soewara Moehammadijah, Januari I, 1923
Suara Muhammadiyah No. 12 Th. 49, 1969
Suara Muhammadiyah No. 13-14, Th. 49, 1969
Suara Muhammadiyah No. 21-22, Th. 51, November I-II, 1971
Suara Muhammadiyah No. 1, Th. 52, Januari I, 1972
Suara Muhammadiyah, No. 17 Th. 53, September I, 1973
Sen, Khrisna & David T. Hill (ed.). 2011. Politics and the Media in Twenty-First Century in Indonesia: Decade of Democracy. London & New York: Routledge.
*) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi tirto.id.
https://tirto.id/suara-muhammadiyah-dan-jurnalisme-kaum-modernis-cExK
No comments:
Post a Comment