Penulis catherine_krige - December 4, 2017
Mitsuo Nakamura, lewat serangkaian penelitian dan karyanya tentang Indonesia yang sudah ia terbitkan, menjadi sosok penting bagi pemerintah ataupun pelaku ekonomi, politik dan sosial budaya Jepang untuk memahami seluk beluk serta dinamika perkembangan Islam di Indonesia guna membangun kerja sama antarkedua negara. Dalam konteks ini pula, sosok Mitsuo Nakamura menjadi semacam jembatan penghubung antara kedua negara yang tak tergantikan keberadaannya.
Mitsuo Nakamura lahir dari keluarga Jepang beragama Kristen pada 19 Oktober 1933 di Dalian, sebuah kota di bagian Timur Laut Manchuria, yang sekarang bagian dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Nakamura muda tumbuh dan berkembang di antara masyarakat Manchuria. Ia menyaksikan penderitaan yang ditimbulkan oleh imperialisme Jepang, terlebih masalah kesenjangan dalam hal kesejahteraan hidup yang terlihat dan dirasakan langsung oleh Mitsuo muda antara penduduk lokal dengan orang Jepang yang hidup di sana. Semasa menjadi mahasiswa, Mitsuo muda sempat menyaksikan Konferensi Asia Afrika yang diadakan di Bandung pada tahun 1955. Saat itu ia terkesan meligst perwakilan dari berbagai negara Asia dan Afrika yang baru merdeka hadir dan berkumpul untuk medeklarasikan penentangan terhadap penjajahan maupun neokolonialisme, sebuah pengalaman yang semakin menguatkan dirinya untuk aktif dalam gerakan-gerakan sayap kiri yang menentang nuklir dan kebangkitan militerisme di Jepang.
Perkenalan Mitsuo muda dengan Indonesia diawali saat ia bertemu dengan sosok Selo Sumardjan, sosiolog kenamaan asal Indonesia, ketika Prof Selo diundang sebagai pembicara dalam seminar internasional tentang “Class Formation” yang diadakan oleh Chie Nakane, dosen pembimbing Mitsuo pada saat itu, di Tokyo, Jepang. Selo memberikan tesisnya yang berjudul Social Change in Yogyakarta kepada Chie, yang kemudian memberikan buku tersebut ke Mitsuo muda. Buku itulah yang menjadi inspirasi dan motivasi bagi Mitsuo muda untuk mengenal lebih jauh mengenai Indonesia.
Dia menyelesaikan pendidikan S1 di bidang loso Barat (1960) dan S2 dalam bidang antopologi (1965) di Tokyo Daigaku (Univesitas Tokyo). Ia melanjutkan pendidikannya di Cornell University, AS, dan kembali mendapatkan gelar S2 di bidang antropologi, serta juga PhD (S3), dari penelitian berbasis observasi lapangan yang ia lakukan atas pergerakan Muhammadiyah di Kota Gede, Yogyakarta, dengan pembiayaan dari Carnegie Foundation. Disertasinya merupakan salah satu penelitian dengan pembiayaan Barat yang terawal dalam menyaksikan dan memprediksi proses Islamisasi di Indonesia pada akhir abad ke-20.
Setelah menetap untuk beberapa waktu di University of Adelaide, Australia, sebagai pengajar senior (1974-1975), ia kemudian direkrut oleh Profesor Selo Seomardjan dari Universitas Indonesia untuk bergabung dengan Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial (PLPIIS) sebagai peneliti rekanan untuk daerah Jakarta, yang terikat pada Fakultas Ilmu Sosial UI. Ia dibiayai oleh Canadian International Development Research Centre (Pusat Penelitian Pengembangan Internasional Kanada) semasa dia bekerja di PLPIIS.
Setelah bekerja dua tahun untuk PLPIIS di Jakarta (1976-1977), Mitsuo kembali ke Australia sebagai peneliti rekanan sementara di Research School of Paci c Studies, Australian National University (ANU), (1978-1980), didukung oleh pendanaan dari Toyota Foundation. Mitsuo kemudian bertemu dengan Profesor William Graham dari Harvard University yang datang menghadiri konferensi internasional yang diadakan di ANU untuk merayakan dimulainya abad ke-15 penanggalan Hijriyah. Profesor Graham memperkenalkan dan mengajak Mitsuo untuk bergabung dengan Pusat Pembelajaran Agama-agama Dunia (Center for Study of World Religions) Harvard sebagai pelajar tamu di tahun 1981 hingga 1982.
Selagi di Harvard, ia menyelesaikan revisi disertasi doktoralnya untuk diluncurkan sebagai buku, yang di kemudian hari menjadi maha karya terbesar Mitsuo, yaitu, The Crescent Arises Over the Banyan Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town (Bulan Sabit Terbit dari Balik Pohon Beringin: Studi Tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede Yogyakarta), yang diterbitkan oleh Penerbit Universitas Gadjah Mada pada tahun 1983. Selain itu, Mitsuo mengembangkan lingkup penelitiannya ke Nadlatul Ulama (NU), sayap Islam tradisionalis Indonesia, mengikuti anjuran (alm) KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang pada saat itu adalah ketua umum PBNU. Gus Dur mengundang Mitsuo untuk menghadiri Muktamar Ke-26 NU pada tahun 1979 sebagai pengamat. Pengalaman ini dituangkan oleh Mitsuo ke dalam sebuah artikel (1981) yang membuat namanya terkenal sebagai peneliti karena menjadi yang pertama kali meneliti mengenai NU yang dianggap terlalu terbelakang dan kampungan bagi kebanyakan peneliti lainpada saat itu.
Pada tahun 1983, Mitsuo diberikan jabatan profesor dan mengajar antropologi di Chiba Daigaku, Jepang. Dengan bantuan istrinya, Hisako—yang juga seorang antropolog dan sebagai guru besar studi internasional di Bunko Daigaku, juga kawan-kawannya yang lain—Mitsuo mendirikan Study Group on Islam in Southeast Asia (Kelompok Belajar tentang Islam di Asia Tenggara). Melalui institusi yang ia dirikan tersebut ia mengundang sejumlah tokoh intelektual Islam dari Indonesia, di antaranya Gus Dur, Munawir Sjadzari, Nurcholish Madjid (Cak Nur), Ahmad Sya ’i Ma’arif, dan mendorong para peneliti dan mahasiswa di sekitarnya untuk meneliti tentang Islam dan komunitas Islam di Indonesia.
Dalam beberapa dekade di akhir abad ke-20, kebangkitan organisasi masyarakat Islam di ranah publik negara mayoritas Islam maupun minoritas Islam di Asia Tenggara semakin kentara. Sumbangsih mereka atas demokratisasi dan pemajuan pendidikan, kesejahteraan dan keadilan sosial di setiap negara semakin signi kan dan telah dibahas sebagai topik penelitian akademis. Maka, pada tahun 1999, Mitsuo mengadakan sebuah lokakarya internasional mengenai “Islam and Civil Society in Southeast Asia”, bekerja sama dengan beberapa akademisi-aktivis setempat, termasuk di antaranya Cak Nur dan Amin Abdullah dari Indonesia. Hasil lokakarya ini diterbitkan menjadi buku pada tahun 2001 dengan judul yang sama: Islam and Civil Society in Southeast Asia.
Pada tahun 1998, pemerintah dan masyarakat Jepang sangat khawatir dengan Indonesia yang baru saja dilanda krisis ekonomi dan politik. Pemerintah Jepang akhirnya mengutus tim monitor untuk mengawasi pemilu Indonesia yang diadakan untuk pertama kalinya setelah kejatuhan Soeharto. Mitsuo dan Hisako, istrinya, ikut dalam tim monitoring tersebut. Ia juga dipercaya oleh Japan Bank for International Cooperation (JBIC) untuk menjadi peneliti dan penasihat untuk menilai sovereign risk Indonesia. Ia menjalankan tugasnya dengan mengunjungi beberapa wilayah Indonesia untuk melakukan observasi lapangan dan mewawancarai tokoh-tokoh kunci. Mitsuo kemudian memberikan laporannya kepada JBIC, yang kemudian diterbitkan pada tahun 2003 dengan judul Religious, Ethnic and Social Problem in Indonesia and Prospect for its National Re-Integration (Permasalahan Agama, Etnis dan Sosial di Indonesia dan Prospek Re-integrasi Indonesia sebagai Sebuah Bangsa). alam laporannya ini ia menekankan bahwa Indonesia telah memasuki sebuah proses demokratisasi yang tidak dapat dibendung, yang akan berkontribusi positif bagi Jepang.
Sejak tahun 2004 hingga 2005, semasa Mitsuo menjabat sebagai peneliti tamu senior di Center for Middle Eastern Studies di Harvard University, ia dan Hisako secara sukarela bergabung dengan International Observation Corps (Rombongan Observasi Internasional) untuk mengobservasi jalannya Pemilu dan Pilpres 2004 di Indonesia. Hasil observasi Mitsuo diterbitkan oleh Harvard pada tahun 2005 sebagai sebuah buklet berjudul, Islam and Democracy in Indoensia: Observations on the 2004 General and Presidential Elections.
Beberapa tahun terakhir ini, Mitsuo kembali berkonsentrasi pada studi gerakan-gerakan sosial Islam, seperti Muhammadiyah dan NU, pasca-kejatuhan Soeharto. Ia mengunjungi kembali pusat Muhammadiyah di Kotagede, Yoguakarta, pada tahun 2008 dan 2009 untuk melakukan penelitian lanjutan. Temuan hasil penelitian lapangannya itu ia terbitkan dalam sebuah edisi revisi yang lebih besar terhadap buku lamanya, yaitu The Crescent Arises Over the Banyan Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town, c 1910s-2010. Edisi baru ini ditambahkan Bagian Kedua, yang membahas mengenai perkembangan Muhammadiyah di Kotagede selama hampir 40 tahun (1972-2010), bersama dengan Bagian Pertama (cetakan awal buku Pohon Beringin). Buku baru ini melacak sejarah Muhammadiyah di Kotagede selama hampir 100 tahun, yakni dari tahun 1910 hingga 2010. Ia memandang karya ini sebagai proyek pribadinya untuk merayakan peringatan 100 tahun Muhammadiyah sejak berdiri tahun 1912.
Selain itu, pada tahun 2012, Mitsuo bersama dengan Profesor Azyumardi Azra (mantan rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta) dan Dr Ahmad Najib Burhani, seorang peneliti muda di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan beberapa koleganya di Indonesia dan luar negeri, mengadakan konferensi penelitian internasional perayaan 100 tahun pendirian Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang. Hasil konferensi yang brencananya akan diterbitkan dalam bentuk buku tersebut berisikan penilaian akademis tetapi simpatik atas pergerakan Muhammadiyah, yang tidak diragukan lagi merupakan salah satu organisasi Islam tertua, terbesar, dan progresif, yang bergerak di bidang pendidikan dan kesejahteraan sosial di dunia Islam kontemporer.
Mitsuo dan Hisako Nakamura telah menjadi peserta tetap Forum Perdamaian Dunia yang diadakan dua tahun sekali oleh Muhammadiyah dan Cheng-Ho Multicultural Education Trust Malaysia sejak tahun 2006, sebuah forum yang menjunjung ide “Satu Kemanusiaan, Satu Nasib, Satu Tanggung Jawab”, sebuah ide yang sejalan dengan Mitsuo Nakamura, sang Jembatan Pemahaman antara Islam, Indonesia, dan Jepang.
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditwdb/2017/12/04/mitsuo-nakamura-jembatan-pemahaman-islam-indonesia-dan-jepang/
No comments:
Post a Comment