Dedicated to boosting research and scholarship on the Muhammadiyah and strengthening this movement
Saturday, November 20, 2021
Monday, October 18, 2021
Nasionalisme Milenial
Pengajian Umum (bulanan) PP Muhammadiyah via zoom, Jum'at, 15 Oktober 2021, tentang "Keberagamaan dan Nasionalisme Kaum Muda".
Sunday, March 28, 2021
Dua Tokoh Muhammadiyah Tionghoa
Muhammadiyah tidak hanya terdiri dari orang Jawa, Sunda, Minang, Bugis, Makassar, Papua, dll, tapi juga dari etnis Arab dan Tionghoa. Inilah yang membuat organisasi ini sebagai representasi paling otentik dari kebinekaan Indonesia.
Saturday, January 2, 2021
Muhammadiyah, Sains, & Kesehatan Publik
Muhammadiyah, Sains, dan Kesehatan Publik
Oleh SUKIDI
2 Januari 2021
Dalam pidato 18 November 2020, Presiden Joko Widodo menyampaikan apresiasi atas kerja nyata Muhammadiyah mengatasi masalah kesehatan di masa pandemi. Kiprah nyata Muhammadiyah itu dilakukan melalui tim khusus Muhammadiyah Covid-19 Command Center, pelayanan di 82 rumah sakit di provinsi-provinsi.
Di tengah krisis kesehatan publik, bermuhammadiyah secara benar adalah berislam secara rasional, saintifik, dan berorientasi pada kesehatan publik (public health). Berislam secara rasional dan modern berakar kuat dalam tradisi Muhammadiyah. Sejak awal, Ahmad Dahlan meletakkan fondasi rasionalisme dalam gerakan pembaruan Islam.
Ketika berada di Mekkah tahun 1890 dan 1903, ia terinspirasi paham Islam rasional Muhammad ’Abduh melalui karya-karyanya, terutama Risalah al-Tawhid, al-Islam wa al-Nasraniya, dan Tafsir al-Manar. Spirit ”Islam rasional dan kemajuan” ’Abduh inilah yang terwariskan ke alam pikiran Ahmad Dahlan ketika menarik gerbong pembaruan Islam.
Sebagai pewaris tradisi pembaharuan ’Abduh, Ahmad Dahlan melakukan kontekstualisasi ”Islam rasional dan kemajuan” ke dalam gerakan pencerahan Islam dan karya nyata Muhammadiyah. Islam ditafsirkan sebagai agama rasional yang bersahabat dengan ilmu pengetahuan dan sesuai spirit kemajuan. ”Akal itu,” dalam pidatonya di Kongres Muhammadiyah, Desember 1922, ”menerima segala pengetahuan dan memang pengetahuan itulah yang menjadi kebutuhan akal.”
Ia berbicara akal yang dikaitkan langsung dengan segala pengetahuan, agar umatnya mulai berani berpikir dan menggunakan akal pikirannya yang sehat untuk menimba segala ilmu pengetahuan. ”Maka, teruslah bersekolah,” pesan Sang Pencerah, ”menuntut ilmu pengetahuan di mana saja.”
Ia pun mendirikan sekolah, Hollands Inlandsche School met de Qur’an, yang pasti terinspirasi secara metodologis dari HIS met de Bible. Ia tak segan belajar dari sistem pendidikan Barat yang rasional dan modern. Pendidikan adalah instrumen pembelajaran untuk berpikir rasional dan menimba segala pengetahuan. Hal ini juga respons Ahmad Dahlan atas kondisi umat Islam yang malas berpikir dan hanya mengekor pendapat orang lain (taklid).
Karena itulah, ia serukan ijtihad, slogan pembaruan Islam rasional yang tak kalah dahsyat dengan moto pencerahan dare to think dari filsuf Jerman Immanuel Kant, agar umatnya punya keberanian berpikir secara independen, tanpa terpenjara pada otoritas yang mapan.
Akal dan ilmu pengetahuan adalah instrumen untuk menggapai kemajuan. Untuk itu, Ahmad Dahlan menafsirkan Islam sebagai agama rasional yang selaras dengan spirit kemajuan.
Spirit ini bukan sekadar jadi nomenklatur standar dalam gerakan pencerahan Islam, melainkan telah menjadi bagian inheren dari ideologi gerakan Muhammadiyah. Yakni, gerakan pencerahan Islam yang bersendikan pada, dalam ungkapan Jawa, ”awit miturut paugeraning agama kito Islam sarta cocok kaliyan jaman kemajengan” (Soewara Moehammadijah, No 2, 1915). Ia tarik gerbong pembaruan Islam—Muhammadiyah—dengan bersandarkan ”kaidah agama Islam dan sesuai dengan zaman kemajuan”.
Spirit Islam berkemajuan ini terwariskan pada pikiran kader terbaiknya, Fachrodin, ketika menegaskan ”Islam ialah agama yang tunggal, bersetuju dengan akal, dan berjalan menyertai dengan kemajuan” (Soewara Moehammadijah, No 4, 1922). Inilah corak Islam rasional yang menjadi spirit utama gerakan Muhammadiyah awal.
Muhammadiyah: Islam dan sains
Corak keislaman itu teraktualisasikan pada Haedar Nashir sebagai the true heir of Muhammadiyah’s reformism, dengan meneguhkan khitah Muhammadiyah sebagai pelopor gerakan pembaruan Islam yang menyelaraskan spirit ”Islam rasional dan kemajuan” dengan tuntutan protokol kesehatan publik. ”Tegakkan aturan dan disiplin protokol kesehatan dengan sebaik-baiknya,” pesan Haedar dalam pidato virtual.
”Kenapa sejak awal Muhammadiyah konsisten,” katanya dalam sebuah wawancara, ”karena ini menyangkut urusan pandemi, menyangkut virus. Dan virus itu urusan ahli-ahli epidemiologi. Maka kita rujukannya ilmu pengetahuan.” Inilah sikap beragama yang rasional dan saintifik. Haedar meresapi apa yang diajarkan Ahmad Dahlan sebagai perspektif ”akal sehat” yang difungsikan, dalam konteks kekinian, untuk membedakan urusan virus yang murni sekuler dan urusan agama yang sakral.
Di tengah kepongahan ”pemimpin umat” yang berpikir tak rasional, bersikap anti-sains, bahkan melibatkan diri pada arak-arakan massal di jalanan, Haedar justru tampil sebagai pemimpin gerakan modern Islam terbesar yang berpikir rasional dalam beragama, bersikap positif pada sains, dan menunjukkan ketaatan penuh pada protokol kesehatan publik.
Haedar berikhtiar menggerakan Muhammadiyah sebagai instrumen pencerahan publik agar warga persyarikatan dapat memberikan teladan yang terbaik dalam ikhtiar bersama mengatasi penyebaran virus berbahaya ini, bukan justru menjadi bagian dari komunitas keagamaan yang memperkeruh krisis kesehatan publik.
Di tengah angka kasus Covid-19 yang terus naik, Haedar mengingatkan umat Islam bahwa krisis kesehatan publik ini belum berakhir meskipun vaksin sudah ditemukan, dan karena itu, ”semua pihak harus tetap waspada. Jangan abai dan menganggap ringan wabah ini dengan bertindak tidak disiplin. Perbuatan orang tidak disiplin dapat berdampak luas bagi penularan virus dan keselamatan jiwa orang lain. Jika belum memberikan solusi, setidaknya jangan membikin masalah yang membuat mata rantai penularan (virus) makin menyebar.”
Pesan ini diartikulasikan secara santun sebagai kritik kepada mereka yang alih-alih memberikan solusi atas penyebaran virus, tetapi justru berpartisipasi aktif dalam penularan virus yang membahayakan jutaan nyawa manusia.
Sebagai pemimpin gerakan pencerahan Islam, ia berikhtiar untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai model kepemimpinan Islam yang mampu berkontribusi secara signifikan pada penanganan Covid-19.
Sejak awal pandemi, ia memimpin terobosan kreatif, inovatif, dan solutif dengan mendirikan Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC), melibatkan dokter-dokter dan tenaga kesehatan Muhammadiyah di 82 rumah sakit, mewujudkan protokol kesehatan secara disiplin di institusi-institusi pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial Muhammadiyah, dan mentradisikan kultur wajib masker di lingkungan persyarikatan.
Keterlibatan aktif dalam mengatasi pandemi ini merupakan konsekuensi logis dari paham Muhammadiyah yang menganut Islam rasional dan pro-sains. Muhammadiyah berhasil tampil sebagai gerakan pencerahan Islam yang menjadi teladan global dalam mengatasi pandemi ini, karena ”it strongly supports science and rational approves to problem solving,” kata antropolog agama dari Amerika, Mark Woodward, dalam artikelnya, ”Religious Holidays in the Plague Year—Lessons from the Indonesian Muhammadiyah Movement” (2020).
Pendekatan rasional dan saintifik Muhammadiyah inilah yang mengingatkan Mark Woodward pada teolog Protestan Jerman, Friedrich Schleiermacher, yang mengajukan ”perjanjian abadi antara sains dan agama”.
(SUKIDI
Kader Muhammadiyah)
https://kompas.id/baca/opini/2021/01/02/muhammadiyah-sains-dan-kesehatan-publik/