Seminar on Multi-disciplinary Study on Islam and Cultural Diversity in Southeast Asia,
Tokyo University of Foreign Studies (TUFS), Japan, 21 February 2016. My
presentation: "The Struggle of Muhammadiyah and NU in Promoting Tolerance and Religious Diversity in Indonesia". Link: http://meis2.aacore.jp/event_lectures_20160221.html?lang=en
Dedicated to boosting research and scholarship on the Muhammadiyah and strengthening this movement
Sunday, February 21, 2016
Friday, February 5, 2016
Transnasionalisasi Islam Berkemajuan
Republika, Selasa, 01 September 2015, 12:00 WIB
Seiring dengan perhelatan muktamar dua organisasi kemasyarakatan terbesar di Tanah Air, menggelinding dua gagasan keagamaan. Pertama, Islam Berkemajuan yang ditawarkan Muhammadiyah, persyarikatan yang telah melampaui usia satu abad. Kedua, Islam Nusantara yang disodorkan Nahdlatul Ulama (NU), jam'iyyah yang hampir berusia 90 tahun.
Para penyokong gagasan keagamaan ini tak hanya memperkokoh wajah dan wijhah tradisi Islam di Tanah Air, tapi juga berambisi menyebarluaskannya dalam fora internasional karena ekspresi Islam di Indonesia dinilai mampu menyinergikan etik Islam dengan modernitas, secara khusus demokratisasi politik yang elegan.
Di Muhammadiyah, keinginan melakukan transnasionalisasi atau internasionalisasi Islam Berkemajuan ini sudah mengemuka sebelum hajat lima tahunannya di Kota Makassar digelar. Transnasionalisasi menjadi tema seminar pra-Muktamar Muhammadiyah pada 14 April 2015 di kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) atau lebih dari tiga bulan sebelum Muktamar ke-47 Muhammadiyah digelar (Azra, Republika, 16 April 2015). Keinginan ini menyiratkan semangat sekaligus wujud kepercayaan diri para pegiat Muhammadiyah untuk menyebarkan Islam Berkemajuan di arena yang lebih luas.
Tentu saja, kepercayaan diri ini tak lepas dari capaian gerakan sosial persyarikatan yang cukup mengagumkan. Misalnya dalam bidang pendidikan, hingga 2010 saja tercatat ada 172 perguruan tinggi, 40 di antaranya universitas, bahkan sejak pendidikan anak usia dini, Muhammadiyah mengelola hampir 10.500 TK, PAUD, dan sejenisnya.
Merujuk laman resminya, Muhammadiyah memiliki 1.137 sekolah dasar dan 1.079 madrasah ibtidayiah; 1.178 SMP dan 507 madrasah tsanawiyah; 589 SMA, 165 madrasah aliyah dan muallimin, 399 SMK, termasuk sekolah menengah farmasi dan 101 pondok pesantren serta 15 sekolah luar biasa.
Di bidang kesehatan, Muhammadiyah mengelola 71 rumah sakit umum, 49 rumah bersalin, 117 balai kesehatan ibu dan anak, serta 47 layanan kesehatan lainnya. Muhammadiyah juga menggarap layanan kesejahteraan sosial dengan mengelola 421 panti asuhan yatim, 9 panti jompo, 78 panti asuhan keluarga, 1 panti cacat netra, 38 lembaga santunan kematian, serta 15 BPKM. Di samping mengelola zakat, infak, dan sedekah lewat Lazismu, Muhammadiyah juga bergerak di sektor ekonomi dengan mengelola 8 BPR, 256 baitul mal, dan 303 koperasi.
Dengan semangat pembaruan yang menjadi elan vital gerakan Muhammadiyah yang didukung sumber daya manusia yang terus mengalami perkembangan cukup pesat serta infrastruktur organisasi yang mapan dan modern, mampukah Muhammadiyah mengepakkan sayapnya ke berbagai belahan dunia, setidaknya di Asia Tenggara sebagaimana dimimpikan dengan hasrat transnasionalisasi.
Keinginan melakukan transnasionalisasi membutuhkan kesiapan dan juga tradisi dan pengalaman sehingga tak ada salahnya jika melihat pengalaman gerakan Islam lainnya. Seiring banyaknya pelajar yang belajar di Timur Tengah, persentuhan dengan transnasionalisasi gerakan Islam lebih banyak didominasi oleh gerakan Islam dari Timur Tengah, semisal Salafi yang disokong Pemerintah Arab Saudi dan Ikhwanul Muslimin yang memiliki akar kuat dalam tradisi Mesir, tapi tak terlalu melimpah dengan pengalaman transnasionalisasi yang dilakukan gerakan Islam yang bermula dari Turki.
Berbeda dengan transnasionalisasi gerakan Islam dari Timur Tengah yang lebih menekankan aspek purifikasi ajaran Islam, gerakan Islam berbasis tradisi Turki memiliki banyak kemiripan dengan Muhammadiyah. Sebagai contoh, Greg Barton (2014) menyandingkan NU, Muhammadiyah, dan Gulen Hizmet yang berkesimpulan, dalam konteks gerakan kultural melayani masyarakat. Gulen Hizmet lebih mirip Muhammadiyah, tapi dalam tradisi keagamaan lebih dekat dengan NU.
Gulen Hizmet didirikan oleh Fethullan Gullen, seorang pemikir yang juga aktivis di Izmir, Turki, pada 1970. Sebagaimana Nurcholish Madjid, Gullen banyak diilhami pemikiran Fazlur Rahman yang berpandangan progresif. Sebagai guru (Hocaefendi), gerakannya mengihlami ratusan ribu aktivis untuk bergerak di Turki dan juga di luar Turki lewat pendirian sekitar 1.200 sekolah swasta yang tersebar di Asia Tengah, Amerika Utara, Afrika, Australia, Asia Tenggara, termasuk Indonesia lewat the Society for Social and Economic Solidarity with Pacific Countries (Pasiad).
Di samping sekolah dan universitas, Hizmet juga menerbitkan harian Zaman yang mampu tersebar di berbagai belahan dunia dari Australia, Eropa, Asia Tengah, dan AS yang juga dilengkapi majalah mingguan Aksiyon, Samanyolu TV, dan jejaring radio Burc FM serta mendukung pengembangan pebisnis di banyak negara dan lintas agama (Barton, 2014).
Hizmet juga mengembangkan jejaring wartawan, penulis, serta aktivis LSM global untuk menyebarkan gagasannya yang kemudian juga disebarkan dalam majalah yang didirikan Hizmet yang berbasis di AS, tapi diedit di Istanbul.
Di samping Hizmet, transnasionalisasi Islam corak Turki juga dilakukan pesaing Hizmet, Milli Gorus. Berbeda dengan Hizmet yang lebih menekankan corak Islam berbasis budaya, Milli Gorus yang bermakna "Visi Nasional" lebih bersifat struktural atau setidaknya bersimpati pada partai berbasis Islam.
Dalam konteks gerakannya, Milli Gorus juga memiliki kemiripan dengan Muhammadiyah yang melakukan beragam layanan sosial, termasuk pendidikan, bimbingan dan layanan keagamaan, semisal zakat, infak, sedekah, umrah dan haji, serta pendirian masjid yang tersebar tak hanya di Turki, tapi juga di sebagian besar negara Eropa Barat.
Dalam melakukan transnasionalisasinya, Milli Gorus memiliki basis cukup kuat di pusatnya di luar Turki, seperti Jerman dan Prancis serta Belanda dan Belgia. Gerakan Milli Gorus sangat didukung dengan tradisi migrasi dan kewirausahaan warga keturunan Turki yang berdiaspora di Eropa Barat.
Fenomena migrasi dan perdagangan ini tak jauh berbeda dengan penyebaran Islam secara damai ke berbagai belahan dunia. Para pedagang yang umumnya berjiwa progresif, mandiri, dan maju mampu menjadi role model kelompok yang diwakilinya sehingga mampu menyampaikan ajaran Islam lewat perilaku keseharian. Kuatnya tradisi perdagangan di sebagian besar migran Turki menjadikan mereka memiliki daya pikat dan daya tawar ketika berhadapan dengan penduduk lokal yang lebih maju pendidikannya, semisal di Jerman, Prancis, Belgia, dan Belanda.
Salah satu tema film komedi Kebab Connection, yang memperlihatkan kemampuan bersaing dalam berwirausaha sehingga mampu melakukan penetrasi di pasar Eropa. Dengan begitu, dalam batas tertentu, resto kebab atau donner mampu bersaing ketat dengan resto cepat saji Amerika ketika melayani pelanggan selama 24 jam.
Berkaca dari pengalaman gerakan keagamaan berbasis masyarakat dan kesukarelaan sebagaimana ditunjukkan Hizmet dan Milli Gorus, membutuhkan dua tipe aktor penting, yaitu yang kuat secara gagasan dan mobilisasi gerakan serta memasyarakatnya tradisi kewirausahaan. Dalam konteks memperkuat gagasan dan mobilisasi gerakan, Muhammadiyah sudah memadai untuk masuk fora internasional. Tantangan selanjutnya, bagaimana menumbuhsuburkan tradisi kewirausahaan yang mampu menyebar secara masif, setidaknya di tingkat Asia Tenggara.
Tatang Muttaqin
Menekuni Kajian Pendidikan di The Inter-university Center for Social Science Theory and Methodology (ICS) The Netherlands
http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/15/09/01/ntzf8610-transnasionalisasi-islam-berkemajuan
Monday, February 1, 2016
Agama Jadi Topeng dan Kemasan Konflik
SuaraMuhammadiyah.com, 9 Januari 2016
Dr Ahmad Najib Burhani, PhD, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berpandangan bahwa konflik keagamaan di Indonesia belum selesai karena kadang kala belum adanya political will. Atau belum ada sebuah kemauan keras yang dimiliki pemerintah untuk menyelesaikannya. “Beberapa pemimpin daerah mencoba untuk menggunakan konflik agama dalam memenangkan diri mereka dalam ajang Pilkada,“ katanya.
Mereka menggunakan perbedaan agama yang ada dalam masyarakat itu untuk meraih dukungan dari kelompok mayoritas. Misalnya yang terjadi di Kuningan, Depok, Sampang. Ada calon bupati mencoba menggunakan isu Syi’ah dengan menentang Syi’ah untuk mendapatkan dukungan dari mayoritas masyarakat Muslim di Madura dengan menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia akan berpihak kepada kelompok mayoritas yang ada di sana dan mengusir Syi’ah dari Sampang.
Jadi, menurut Najib, konflik di beberapa tempat itu sengaja digunakan untuk mencari dukungan dari kelompok tertentu, yang kelihatannya bisa memenangkan orang tersebut ketika maju menjadi kepala daerah. Sebenarnya, pemerintah jika memiliki kemauan keras untuk menyelesaikannya, jelas mampu menyelesaikan itu.
Kasus Sambas, Poso, Ambon dan kasus-kasus yang lebih besar dari kasus-kasus kecil yang sekarang banyak kita temui bisa diselesaikan oleh Pemerintah. Kenapa yang kecil tidak? Karena konflik yang sekarang ada di daerah-daerah kadangkala dimanfaatkan. Itu yang tadi saya katakan bahwa political will yang dimiliki pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan ini menjadi hilang.
Najib mengajak kita untuk juga melihat bahwa konflik agama yang terjadi di Indonesia adalah hasil dari pengaruh dari konflik Timur Tengah, yang disebut dengan Proxy War. Bahwa yang berkonflik adalah wilayah di Timur Tengah, seperti Sunni dan Syi’ah, Iran dan Saudi Arabia, tetapi di sana tidak pernah muncul pertarungan fisik secara langsung atau saling menyerang antara mereka. Tetapi itu diproyeksikan kepada daerah lain yang menjadi pendukung-pendukungnya. Seperti di Yaman dan Indonesia. Orang-orang Wahabi dan Syi’ah sama-sama mencari dukungan, dan sama-sama mengirimkan dana ke beberapa negara lain yang kemudian orang-orang yang ada di suatu daerah itu berada di satu pihak dengan mereka. Mereka yang mendapat kiriman dana inilah yang kemudian membesar-besarkan konflik antar paham agama ini.
___________________
Dr Ahmad Najib Burhani, PhD, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
http://suaramuhammadiyah.com/editorial/sajian-utama/2016/01/09/agama-jadi-topeng-dan-kemasan-konflik/
Dr Ahmad Najib Burhani, PhD, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berpandangan bahwa konflik keagamaan di Indonesia belum selesai karena kadang kala belum adanya political will. Atau belum ada sebuah kemauan keras yang dimiliki pemerintah untuk menyelesaikannya. “Beberapa pemimpin daerah mencoba untuk menggunakan konflik agama dalam memenangkan diri mereka dalam ajang Pilkada,“ katanya.
Mereka menggunakan perbedaan agama yang ada dalam masyarakat itu untuk meraih dukungan dari kelompok mayoritas. Misalnya yang terjadi di Kuningan, Depok, Sampang. Ada calon bupati mencoba menggunakan isu Syi’ah dengan menentang Syi’ah untuk mendapatkan dukungan dari mayoritas masyarakat Muslim di Madura dengan menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia akan berpihak kepada kelompok mayoritas yang ada di sana dan mengusir Syi’ah dari Sampang.
Jadi, menurut Najib, konflik di beberapa tempat itu sengaja digunakan untuk mencari dukungan dari kelompok tertentu, yang kelihatannya bisa memenangkan orang tersebut ketika maju menjadi kepala daerah. Sebenarnya, pemerintah jika memiliki kemauan keras untuk menyelesaikannya, jelas mampu menyelesaikan itu.
Kasus Sambas, Poso, Ambon dan kasus-kasus yang lebih besar dari kasus-kasus kecil yang sekarang banyak kita temui bisa diselesaikan oleh Pemerintah. Kenapa yang kecil tidak? Karena konflik yang sekarang ada di daerah-daerah kadangkala dimanfaatkan. Itu yang tadi saya katakan bahwa political will yang dimiliki pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan ini menjadi hilang.
Najib mengajak kita untuk juga melihat bahwa konflik agama yang terjadi di Indonesia adalah hasil dari pengaruh dari konflik Timur Tengah, yang disebut dengan Proxy War. Bahwa yang berkonflik adalah wilayah di Timur Tengah, seperti Sunni dan Syi’ah, Iran dan Saudi Arabia, tetapi di sana tidak pernah muncul pertarungan fisik secara langsung atau saling menyerang antara mereka. Tetapi itu diproyeksikan kepada daerah lain yang menjadi pendukung-pendukungnya. Seperti di Yaman dan Indonesia. Orang-orang Wahabi dan Syi’ah sama-sama mencari dukungan, dan sama-sama mengirimkan dana ke beberapa negara lain yang kemudian orang-orang yang ada di suatu daerah itu berada di satu pihak dengan mereka. Mereka yang mendapat kiriman dana inilah yang kemudian membesar-besarkan konflik antar paham agama ini.
___________________
Dr Ahmad Najib Burhani, PhD, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
http://suaramuhammadiyah.com/editorial/sajian-utama/2016/01/09/agama-jadi-topeng-dan-kemasan-konflik/