Dedicated to boosting research and scholarship on the Muhammadiyah and strengthening this movement
Thursday, July 30, 2015
Wednesday, July 29, 2015
Thursday, July 23, 2015
Islam Berkemajuan ala Bung Karno
Islam Dalam Pemikiran Soekarno
BerdikariOnline.com Kamis, 15 Maret 2012 | 19:00 WIB
Seperti yang kita ketahui bersama, Soekarno adalah seorang Muslim. Namun, ternyata Soekarno bukanlah lahir dari keluarga yang kental nuansa Islamnya. Sang ayahanda, Raden Sukemi Sosrodihardjo, lebih dikenal sebagai penganut kepercayaan teosofi Jawa atau Kejawen, meskipun secara formal beragama Islam. Sementara ibunda Soekarno, Idayu, bukan penganut Islam. Ibunda Bung Karno adalah seorang pemeluk agama Hindu-Bali.
Jadi, bila merujuk pada kategorisasi umat Islam Indonesia yang digagas oleh Antropolog Amerika Clifford Geertz, dapat dikatakan bahwasanya Soekarno berasal dari kalangan Islam abangan. Penganut Islam abangan sendiri memiliki arti secara identitas-formal menganut Islam, namun dalam praktiknya masih melakukan hal-hal maupun ritual yang bukan berasal dari agama Islam atau lebih tepatnya dari tradisi pra-Islam. Berdasarkan latar belakang keluarga seperti itu, maka bisa disimpulkan bila Islam yang dianut Soekarno merupakan Islam akulturatif, atau Islam yang telah berakulturasi dengan kultur lokal (Jawa).
Pro-Pluralisme dan Anti-Taqlidisme
Seiring dengan waktu, pemahaman Soekarno terhadap Islam secara lebih mendalam pun muncul tatkala Soekarno menginjak usia remaja dan tinggal di kediaman H.O.S Tjokroaminoto, tokoh Sarekat Islam (SI), di Surabaya. Melalui berbagai diskusi dan bacaan, Soekarno mulai mengenal Islam secara intensif ketika itu. Kesadaran diri sebagai seorang Muslim datang beriringan dengan kesadaran anti kolonialisme dalam diri Soekarno di masa remajanya.
Hal ini sangat dipengaruhi oleh keterlibatannya dalam kegiatan pergerakan yang diselenggarakan SI sebagai organisasi bergaris massa yang paling maju tendensi anti kolonialnya pada masa itu. Sehingga Islam yang berkembang dalam diri Soekarno adalah Islam yang anti penindasan dan anti penjajahan.
Tetapi, tetap saja cakrawala berpikir Soekarno tidak terbatas pada satu paradigma religiusitas ke-Islam-an saja. Ia juga menyerap ajaran-ajaran teologis lainnya yang hidup dalam alam pikiran masyarakat nusantara, dan itu makin memperkaya keyakinannya akan Sang Khalik.
Dalam buku “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat” (1966), Soekarno berujar :
Upaya Soekarno mengkaji ajaran Islam makin intens ketika putra ‘sang fajar’ itu dibuang ke Ende, Flores oleh penguasa kolonial pada tahun 1933. Pada saat yang sama pula, Soekarno mulai menyatakan berbagai pemikirannya tentang Islam kepada para sahabatnya, salah satunya A.Hassan dari organisasi Persatuan Islam (Persis).
Ketika itu, beliau sering melakukan komunikasi via surat dengan para sahabatnya itu. Dalam surat-surat tersebut yang dikemudian hari dikenal sebagai “Surat-Surat Islam Dari Ende”–menjadi bagian dari buku Di Bawah Bendera Revolusi (DBR) Jilid I, Soekarno mengutarakan pandangannya mengenai Islam serta korelasinya dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Salah satu pandangannya yang menarik adalah mengenai hukum syariat dan era kekhalifahan yang banyak diklaim kalangan Islamis sebagai masa ‘keemasan’ Islam. Berikut pandangan Soekarno mengenai hal itu seperti yang tertulis dalam Surat-Surat Islam Dari Ende (DBR Jilid I, 1964) :
Terkait hal tersebut, Soekarno memang seorang Muslim yang modernis dan rasionalis. Ia secara tegas menganjurkan umat Islam untuk menyerap perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan (IPTEK) meskipun bukan produk peradaban Islam. Oleh karena itu pula Soearno sangat menentang kultur taklid dalam umat Islam. Taklid merupakan pola pengajaran agama Islam tanpa referensi yang logis dan mudah dipahami.
Api Islam
Soekarno sendiri tidak senang dengan sebagian kalangan Islam yang gemar sekali melontarkan kata-kata atau tudingan ‘kafir’ sebagai refleksi ketidaksenangannya terhadap kaum non-Islam. Padahal realitasnya hal itu justru menggambarkan sikap mereka yang terbelakang dan anti-kemajuan. Dalam Surat Ende 1936, Soekarno menegaskan :
Progresifitas Soekarno juga terlihat ketika ia menanggapi adanya pemikiran sebagian orang islam yang hanya memperhatikan hal-hal yang tidak substansial dalam agama. Terhadap kaum Islam yang semacam ini, Soekarno menjuluki mereka sebagai Islam Sontoloyo. Ia pun menuliskan pandangannya mengenai Islam Sontoloyo itu dalam sebuah artikel berjudul sama yang dimuat media Pandji Islam (1940) :
Ada juga tindakan dan pemikiran Soekarno lainnya yang menentang diskriminasi terhadap kaum perempuan yang acapkali berlangsung atas nama Islam. Di awal tahun 1939, Soekarno telah membuat suatu ‘kehebohan’ dikalangan Islam. Kehebohan itu berawal ketika Ia dengan sikap tegas meninggalkan rapat umum organisasi Islam Muhammadiyah sebagai wujud protesnya terhadap pemasangan tabir antara laki-laki dan perempuan oleh panitia rapat.
Kekesalan itu ia tuangkan dalam sebuah tulisan yang muncul di Pandji Islam pada tahun yang sama. Tulisan itu ia beri judul ‘Tabir adalah Lambang Perbudakan’. Berikut uraian pendapat Soekarno mengenai tabir dalam tulisan tersebut :
Demikianlah sebagian pemikiran Soekarno yang dapat dikatakan merepresentasikan pemikirannya secara keseluruhan terhadap Islam. Islam yang modernis, rasional, progresif, pluralis, humanis dan substansial. Paradigma ke-Islam-an semacam itulah yang dibutuhkan umat Islam Indonesia kini. Paradigma yang berbasiskan pada api Islam, bukan abu nya.
HISKI DARMAYANA
Penulis adalah kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumedang*)
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/bung-karnoisme/20120315/islam-dalam-pemikiran-soekarno.html#ixzz3glFjy1Vr
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook
BerdikariOnline.com Kamis, 15 Maret 2012 | 19:00 WIB
Seperti yang kita ketahui bersama, Soekarno adalah seorang Muslim. Namun, ternyata Soekarno bukanlah lahir dari keluarga yang kental nuansa Islamnya. Sang ayahanda, Raden Sukemi Sosrodihardjo, lebih dikenal sebagai penganut kepercayaan teosofi Jawa atau Kejawen, meskipun secara formal beragama Islam. Sementara ibunda Soekarno, Idayu, bukan penganut Islam. Ibunda Bung Karno adalah seorang pemeluk agama Hindu-Bali.
Jadi, bila merujuk pada kategorisasi umat Islam Indonesia yang digagas oleh Antropolog Amerika Clifford Geertz, dapat dikatakan bahwasanya Soekarno berasal dari kalangan Islam abangan. Penganut Islam abangan sendiri memiliki arti secara identitas-formal menganut Islam, namun dalam praktiknya masih melakukan hal-hal maupun ritual yang bukan berasal dari agama Islam atau lebih tepatnya dari tradisi pra-Islam. Berdasarkan latar belakang keluarga seperti itu, maka bisa disimpulkan bila Islam yang dianut Soekarno merupakan Islam akulturatif, atau Islam yang telah berakulturasi dengan kultur lokal (Jawa).
Pro-Pluralisme dan Anti-Taqlidisme
Seiring dengan waktu, pemahaman Soekarno terhadap Islam secara lebih mendalam pun muncul tatkala Soekarno menginjak usia remaja dan tinggal di kediaman H.O.S Tjokroaminoto, tokoh Sarekat Islam (SI), di Surabaya. Melalui berbagai diskusi dan bacaan, Soekarno mulai mengenal Islam secara intensif ketika itu. Kesadaran diri sebagai seorang Muslim datang beriringan dengan kesadaran anti kolonialisme dalam diri Soekarno di masa remajanya.
Hal ini sangat dipengaruhi oleh keterlibatannya dalam kegiatan pergerakan yang diselenggarakan SI sebagai organisasi bergaris massa yang paling maju tendensi anti kolonialnya pada masa itu. Sehingga Islam yang berkembang dalam diri Soekarno adalah Islam yang anti penindasan dan anti penjajahan.
Tetapi, tetap saja cakrawala berpikir Soekarno tidak terbatas pada satu paradigma religiusitas ke-Islam-an saja. Ia juga menyerap ajaran-ajaran teologis lainnya yang hidup dalam alam pikiran masyarakat nusantara, dan itu makin memperkaya keyakinannya akan Sang Khalik.
Dalam buku “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat” (1966), Soekarno berujar :
“ Tahun 1926 adalah tahun dimana aku memperoleh kematangan dalam kepercayaan. Aku beranjak berpikir dan berbicara tentang Tuhan. Sekalipun di negeri kami sebagian terbesar rakyatnya beragama Islam, namun konsepku tidak disandarkan semata-mata kepada Tuhannya orang Islam. Pada waktu aku melangkah ragu memulai permulaan jalan yang menuju kepada kepercayaan, aku tidak melihat Yang Maha Kuasa sebagai Tuhan kepunyaan perseorangan. Menurut jalan pikiranku, maka kemerdekaan seseorang meliputi juga kemerdekaan beragama,”Dari pernyataannya ini, tampak jelas pengakuan Soekarno akan eksistensi ajaran teologis dari agama selain Islam yang hidup dalam masyarakat nusantara sejak lama. Selain itu, Soekarno juga telah mengakui adanya kemerdekaan beragama sebagai bagian dari kemerdekaan individu. Dalam pengertian lain, Soekarno telah menghargai pluralisme beragama sejak ia muda.
Upaya Soekarno mengkaji ajaran Islam makin intens ketika putra ‘sang fajar’ itu dibuang ke Ende, Flores oleh penguasa kolonial pada tahun 1933. Pada saat yang sama pula, Soekarno mulai menyatakan berbagai pemikirannya tentang Islam kepada para sahabatnya, salah satunya A.Hassan dari organisasi Persatuan Islam (Persis).
Ketika itu, beliau sering melakukan komunikasi via surat dengan para sahabatnya itu. Dalam surat-surat tersebut yang dikemudian hari dikenal sebagai “Surat-Surat Islam Dari Ende”–menjadi bagian dari buku Di Bawah Bendera Revolusi (DBR) Jilid I, Soekarno mengutarakan pandangannya mengenai Islam serta korelasinya dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Salah satu pandangannya yang menarik adalah mengenai hukum syariat dan era kekhalifahan yang banyak diklaim kalangan Islamis sebagai masa ‘keemasan’ Islam. Berikut pandangan Soekarno mengenai hal itu seperti yang tertulis dalam Surat-Surat Islam Dari Ende (DBR Jilid I, 1964) :
“Islam harus berani mengejar jaman, bukan seratus tahun, tetapi seribu tahun Islam ketinggalan jaman. Kalau Islam tidak cukup kemampuan buat mengejar seribu tahun itu, niscaya ia akan tetap hina dan mesum. Bukan kembali pada Islam glory yang dulu, bukan kembali pada ‘zaman chalifah’, tetapi lari ke muka, lari mengejar jaman. Itulah satu-satunya jalan buat menjadi gilang gemilang kembali. Kenapa toch kita selamanya dapat ajaran, bahwa kita harus mengkopi ‘zaman chalifah’ yang dulu-dulu? Sekarang toch tahun 1936 dan bukan tahun 700 atau 800 atau 900?
Mengapa kita musti kembali ke zaman ‘kebesaran Islam’ yang dulu-dulu? Hukum Syariat? Lupakah kita, bahwa hukum Syariat itu bukan hanya haram, makruh, sunnah, dan fardlu saja? Lupakah kita, bahwa masih ada juga barang ‘mubah’ atau ‘jaiz’? Alangkah baiknya, kalau umat Islam lebih ingat pula kepada apa yang mubah atau yang jaiz ini! Alangkah baiknya kalau ia ingat bahwa ia di dalam urusan dunia, di dalam urusan statemanship, ‘boleh berqias, boleh berbid’ah, boleh membuang cara-cara dulu, boleh mengambil cara-cara baru, boleh beradio, boleh berkapal udara, boleh berlistrik, boleh bermodern, boleh berhyper-hyper modern’, asal tidak nyata di hukum haram atau makruh oleh Allah dan Rasul! Adalah suatu perjuangan yang paling berfaedah bagi ummat Islam, yakni berjuang menentang kekolotan. Kalau Islam sudah bisa berjuang mengalahkan kekolotan itu, barulah ia bisa lari secepat-kilat mengejar zaman yang seribu tahun jaraknya ke muka itu. Perjuangan menghantam orthodoxie ke belakang, mengejar jaman ke muka, perjuangan inilah yang Kemal Attaturk maksudkan, tatkala ia berkata, bawa ‘Islam tidak menyuruh orang duduk termenung sehari-hari di dalam mesjid memutarkan tasbih, tetapi’ Islam adalah perjuangan.’ Islam is progress: Islam itu kemajuan!”Soekarno secara tegas menolak pandangan sebagian kalangan Islam yang memandang ‘kembali ke era khalifah’ sebagai tolok ukur kemajuan Islam. Ia juga menolak interpretasi hukum syariat secara kaku karena hal itu akan menyebabkan umat Islam menentang modernitas.
Terkait hal tersebut, Soekarno memang seorang Muslim yang modernis dan rasionalis. Ia secara tegas menganjurkan umat Islam untuk menyerap perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan (IPTEK) meskipun bukan produk peradaban Islam. Oleh karena itu pula Soearno sangat menentang kultur taklid dalam umat Islam. Taklid merupakan pola pengajaran agama Islam tanpa referensi yang logis dan mudah dipahami.
“Taqlid adalah salah satu sebab yang terbesar dari kemunduran Islam sekarang ini. Semenjak ada aturan taqlid, disitulah kemunduran Islam cepat sekali. Tak heran! Dimana genius dirantai, dimana akal fikiran diterungku, disitulah datang kematian.Pandangan Soekarno tersebut mencerminkan sikap Soekarno yang tidak ‘mengharamkan’ produk kebudayaan modern seperti IPTEK yang notabene ‘lahir’ dari masyarakat non-Islam atau yang sering disebut sebagian umat Islam sebagai masyarakat ‘kafir’. Soekarno berpandangan bila hal itu baik bagi kemajuan umat Islam, maka tak ada salahnya diadopsi, meskipun tanpa menanggalkan sikap kritis umat Islam tentunya.
….Saya sendiri, sebagai seorang terpelajar, barulah mendapat lebih banyak penghargaan kepada Islam, sesudah saya mendapat membaca buku-buku Islam modern dan scientific. Apa sebab umumnya kaum terpelajar Indonesia tak senang Islam? Sebagian besar, ialah oleh karena Islam tak mau membarengi jaman, karena salahnya orang-orang yang mempropagandakan Islam: mereka kolot, mereka orthodox, mereka anti-pengetahuan dan memang tidak berpengetahuan, takhayul, jumud, menyuruh orang bertaqlid saja, menyuruh orang percaya saja, mesum mbahnya mesum!
Bagi saya anti-taqlidisme itu berarti : bukan saja ‘kembali’ kepada Qur’an dan Hadits, tetapi ‘kembali kepada Qur’an dan Hadits dengan mengendarai kendaraannya pengetahuan umum.” –Soekarno dalam Surat Ende 1936 (DBR Jilid I, 1964).
Api Islam
Soekarno sendiri tidak senang dengan sebagian kalangan Islam yang gemar sekali melontarkan kata-kata atau tudingan ‘kafir’ sebagai refleksi ketidaksenangannya terhadap kaum non-Islam. Padahal realitasnya hal itu justru menggambarkan sikap mereka yang terbelakang dan anti-kemajuan. Dalam Surat Ende 1936, Soekarno menegaskan :
“Kita royal sekali dengan perkataan ‘kafir’. Pengetahuan Barat-kafir; radio dan kedokteran –kafir; pantolan dan dasi dan topi-kafir; sendok dan garpu dan kursi-kafir; tulisan Latin-kafir; ya pergaluan dengan bangsa yang bukan Islam pun-kafir! Padahal apa yang kita namakan Islam? Bukan roh Islam yang berkobar-kobar, bukan api Islam yang menyala-nyala, bukan amal Islam yang mengagumkan, tetapi dupa dan kurma dan jubah dan celak mata! Siapa yang mukanya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan, siapa matanya dicelak dan jubahnya panjang dan menggenggam tasbih yang selalu berputar-dia, dialah yang kita namakan Islam. Astagafirullah! Inikah Islam? Inikah agama Allah? Ini? Yang mengkafirkan pengetahuan dan kecerdasan, mengkafirkan radio dan listrik, mengkafirkan kemoderenan dan ke-up-to-date-an? Yang mau tinggal mesum saja, tinggal kuno saja, yang terbelakang saja, tinggal ‘naik onta’ dan ‘makan zonder sendok’ saja ‘seperti di jaman Nabi dan Chalifahnya’? Yang menjadi marah dan murka kalau mendengar kabar tentang aturan-aturan baru di Turki atau di Iran atau di Mesir atau di lain-lain negeri Islam di tanah Barat?”Soekarno sangat tidak sepakat dengan kecenderungan sebagian orang Islam kala itu (bahkan hingga kini) yang terlalu gegabah menolak segala hal berbau modern sebagai produk kafir yang haram digunakan umat Islam. Dalam hal ini, watak progresif dalam keberagamaan Soekarno tampak dengan jelas melampaui zamannya.
Progresifitas Soekarno juga terlihat ketika ia menanggapi adanya pemikiran sebagian orang islam yang hanya memperhatikan hal-hal yang tidak substansial dalam agama. Terhadap kaum Islam yang semacam ini, Soekarno menjuluki mereka sebagai Islam Sontoloyo. Ia pun menuliskan pandangannya mengenai Islam Sontoloyo itu dalam sebuah artikel berjudul sama yang dimuat media Pandji Islam (1940) :
“Islam melarang kita memakan babi. Islam juga melarang kita menghina kepada si miskin, memakan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, menyekutukan Tuhan yang Esa itu. Malahan yang belakangan ini dikatakan dosa yang terberat, dosa datuknya dosa. Tetapi apa yang kita lihat? Coba tuan menghina si miskin, makan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, musyrik didalam tuan punya pikiran dan perbuatan, maka tidak banyak orang yang menunjuk kepada tuan dengan jari seraya berkata: tuan menyalahi Islam. Tetapi coba tuan makan daging babi, walau hanya sebesar biji asampun dan seluruh dunia akan mengatakan tuan orang kafir! Inilah gambaran jiwa Islam sekarang ini: terlalu mementingkan kulit saja, tidak mementingkan isi.”Jadi, menurut Soekarno, seorang Muslim yang sejati haruslah paham substansi dari ajaran Islam. Karena bila tidak ada pemahaman semacam itu, maka yang terjadi adalah penyempitan makna islam hanya sebatas ‘pengharaman babi’ atau ‘penutupan aurat’ belaka.
Ada juga tindakan dan pemikiran Soekarno lainnya yang menentang diskriminasi terhadap kaum perempuan yang acapkali berlangsung atas nama Islam. Di awal tahun 1939, Soekarno telah membuat suatu ‘kehebohan’ dikalangan Islam. Kehebohan itu berawal ketika Ia dengan sikap tegas meninggalkan rapat umum organisasi Islam Muhammadiyah sebagai wujud protesnya terhadap pemasangan tabir antara laki-laki dan perempuan oleh panitia rapat.
Kekesalan itu ia tuangkan dalam sebuah tulisan yang muncul di Pandji Islam pada tahun yang sama. Tulisan itu ia beri judul ‘Tabir adalah Lambang Perbudakan’. Berikut uraian pendapat Soekarno mengenai tabir dalam tulisan tersebut :
“Saya anggap tabir itu sebagai suatu simbol. Simbolnya perbudakan perempuan. Keyakinan saya ialah, bahwa Islam tidak mewajibkan tabir itu. Islam memang tidak mau memperbudakkan perempuan. Sebaliknya Islam mau mengangkat derajat perempuan. Tabir adalah salah satu contoh dari hal yang tidak diperintahkan oleh Islam, tetapi diadakan umat Islam.”Bayangkan, tabir pemisah antara laki-laki dan perempuan yang memang lazim digunakan dalam acara-acara yang diselenggarakan organisasi Islam pada masa itu (termasuk organisasi yang mengklaim diri modernis seperti Muhammadiyah), justru ditentang oleh Soekarno. Ia bahkan dengan tegas menyebut hal semacam itu sebagai simbol perbudakan perempuan. Sebuah sikap yang sangat progresif dan revolusioner , terutama dalam konteks zaman itu.
Demikianlah sebagian pemikiran Soekarno yang dapat dikatakan merepresentasikan pemikirannya secara keseluruhan terhadap Islam. Islam yang modernis, rasional, progresif, pluralis, humanis dan substansial. Paradigma ke-Islam-an semacam itulah yang dibutuhkan umat Islam Indonesia kini. Paradigma yang berbasiskan pada api Islam, bukan abu nya.
HISKI DARMAYANA
Penulis adalah kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumedang*)
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/bung-karnoisme/20120315/islam-dalam-pemikiran-soekarno.html#ixzz3glFjy1Vr
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook
Thursday, July 16, 2015
Wahabisasi Sebagai Agenda Politik Arab Saudi
Wahabisasi Sebagai Agenda Politik Arab Saudi
Reportase Tadarus JIL
IslamLib 13 hours ago 86 Views
Penyebaran ideologi Wahabi oleh Saudi Arabia tidak murni beralasan agama. Ada banyak motif, namun dorongan paling kuat sarat dengan unsur politik. Demikian disampaikan Najib Burhani saat menjadi narasumber dalam Tadarus Ramadan JIL, Rabu (01/07) lalu.
Najib yang mengisi sesi ke dua tadarus dengan tema “Pengaruh Wahabisme di Dunia Islam” menjelaskan bagaimana wahabisasi bermula dari ambisi Saudi Arabia untuk menjadi leader di seluruh dunia Islam.
Ada tiga masa dimana Arab Saudi begitu gencar menyebarkan Wahabi. pertama, setelah kudetanya yang berhasil menguasai Arabia tahun 1924. Kedua, setelah jamal Abdul Naser menyebarkan Arab Socialist Nationalism tahun 1950-an. Dan ketiga, setelah keberhasilan Revolusi Iran tahun 1979.
Terjadinya kontestasi kekhilafahan Islam saat itu (1924), menyebabkan dinasti ini memutuskan untuk berkoalisi dengan Wahabi. Ketika Jamal Abdul Naseer menggulirkan ide Arab Socialist Nationalism pada tahun 50-an, segera saja Wahabisasi dilakukan lebih gencar lagi oleh pemerintahan Arab Saudi. Hal tersebut dilakukan demi mengatasi semangat sosialisme Arab yang ingin dikembangkan secara luas menjadi doktrin yang dianut bukan hanya di Mesir tetapi juga di seluruh dunia Islam.
Untuk mengkonter gagasan Jamal Abdul Nashir itu maka, diantaranya, dibentuklah OKI (Organisasi Konferensi Islam) pada 1957, disusul lima tahun kemudian (1962) dengan lahirnya Rabithah Alam Islami yang semakin menguatkan Wahabisasi di kancah internasional.
Najib lantas menjelaskan bahwa mulanya cara Wahabi berhadapan dengan politk adalah melalui sikap yang pasif, atau biasa dikenal dengan political quietism, mereka enggan berpartisipasi aktif dalam politik. Namun dalam praktiknya, meski gerakan ini cenderung bersikap kritis terhadap rezim-rezim di luar Arab Saudi, tetapi mereka juga menghamba terhadap pemerintahan yang didukungnya, yakni Arab Saudi.
Maka doktrin hizbiyah inilah cara berpolitik kalangan Wahabi yang diamini pemerintah Arab Saudi untuk menegaskan pengaruh dan kekuasaannya di dunia Islam. (Evi Rahmawati)
http://islamlib.com/mazhab/wahabisme/wahabisasi-sebagai-agenda-politik-arab-saudi/
Tuesday, July 14, 2015
Beberapa Alasan Muhammadiyah “Dekat” dengan Wahabi
Beberapa Alasan Muhammadiyah “Dekat” dengan Wahabi Reportase Tadarus JIL
IslamLib
Pada tadarus sebelumnya, Najib Burhani membantah tuduhan bahwa Muhammadiyah berafiliasi kepada Wahabi. Alih-alih berasosiasi dengan Wahabi, Muhammadiyah, menurut Najib, lebih merujuk kepada pemikiran sang modernis, Muhammad Abduh.
Abdul Moqsith Ghazali pada pertemuan terakhir tadarus ramadan JIL, Rabu (8/7) lalu, menguraikan beberapa poin yang menunjukkan persinggungan doktrin, yang nampak dekat namun memiliki konsekuensi berkebalikan, antara Wahabisme dan Abduhisme.
Pertama, baik pengikut Wahabi maupun Abduh sama-sama menggunakan slogan “al-ruju’ ila al-quran wa al-hadits” atau kembali kepada Quran dan Hadis. Kalangan Wahabi menerapkan doktrin ini dengan melakukan penafsiran atas Quran dan hadis secara tekstual.
Sementara bagi para pengikut Muhammad Abduh, di Indonesia diwakili oleh Harun Nasution misalnya, menjalankan doktrin tersebut dengan mengutamakan argumen rasional. Karenanya, produk pemikiran yang dilahirkan keduanya akan berbeda, bahkan bisa dikatakan bertolak-belakang.
Misalnya dalam persoalan poligami, orang-orang yang berkiblat kepada Muhammad bin Abdul Wahab akan menafsirkan ayat Quran tentang poligami sebagai justifikasi atas perilaku ini, tetapi bagi kelompok Abduh tentu artikulasi penafisrannya akan berbeda.
Persamaan kedua, baik Wahabisme maupun Abduhisme sama-sama menolak bermazhab. Namun berbeda dengan kelompok Abduh yang mendukung kebebasan berpikir, kelompok Wahabi justru mendirikan mazhab baru. Menurut Moqsith, konsekuensi dari sikap anti-mazhab oleh Wahabi ini bisa berakibat fatal.
Sebab melalui doktrin tersebut, mereka terkungkung dalam lingkar pemikiran tiga ulama yang menjadi rujukan utamanya: Nasirudin al-Albani, Muhammad bin Abdul Wahab dan Abdullah bin Baz. Sehingga, lanjut Moqsith, parameter kebenaran bagi kalangan Wahabi hanya terbatas pada pemikiran tiga ulama tersebut.
Persinggungan selanjutnya antara para pengikut Abduh dengan Wahabi adalah penolakan mereka terhadap aliran tasawuf. “Di sinilah Wahabi dengan Abduh ketemu, menghajar kelompok-kelompok tradisionalis. Islam Nusantara kena juga di sini,” jelas Moqsith.
Baik Wahabi maupun Abduh, sama-sama memiliki penekanan yang kuat terhadap ajaran tauhid, inilah persinggungan mereka berikutnya. Namun lagi-lagi konsekuensinya sangat bertolak-belakang bagi kedua kubu ini. “Dengan menuhankan Tuhan yang satu, Allah yang esa, dampak dari konsep tauhid dalam pemikiran Muhammad Abduh adalah merelatifkan selain Allah,” terang Moqsith.
Ia melanjutkan, “nanti ujungnya, orang seperti Ali Abd al-Raziq, misalnya, menolak segala tindakan dan perilaku politik Nabi Muhammad ketika berada di Madinah. Karena tindakan politik Nabi di Madinah itu tidak menjadi bagian dari risalah kenabian.”
Tetapi pemikiran demikian tidak ada pada kalangan Wahabi. Konsekuensi buruk dari konsep tauhid yang mereka anut malah melahirkan takfiri, mengafirkan orang-orang Islam yang memiliki pandangan berbeda dengan mereka. Sehingga, Wahabi dianggap memerangi orang-orang Islam dan membiarkan para penyembah berhala.
Di dalam sejarahnya, orang-orang Wahabi memanfaatkan kerja sama dengan Barat untuk menghajar kalangan Muslim tertentu. Ini juga yang menjadi persinggungan selanjutnya antara kalangan Wahabi dengan para pengikut Abduh, kedekatan mereka dengan Barat.
Tetapi para pengikut Abduhi adalah mereka yang terkagum-kagum terhadap kemajuan ilmu pengetahuan Barat, di sinilah perbedaannya. Lain halnya dengan pengikut Abduh yang bersintesa dengan Barat untuk mengambil aspek ilmu pengetahuan mereka, kelompok Wahabi memanfaatkan kerjasama dengan Barat untuk memerangi kelompok Islam sendiri.
Kecenderungan yang sama dari dua kubu ini juga bisa terlihat dari sikap ketus yang mereka tunjukkan terhadap kebudayaan lokal. Banyak tradisi masyarakat yang tidak mendapatkan tempatnya dalam ajaran dua kelompok ini. Misalnya seperti ziarah kubur, yang bagi masyarakat Indonesia, Jawa khususnya, ini merupakan tradisi yang sulit dipangkas begitu saja.
Moqsith juga menjelaskan bahwa Muhammadiyah seringkali berada di antara dua posisi itu, kadang dia mendekat kepada Wahabisme, kadang dia mendekat kepada Abduhisme. Karena itu, lanjut Moqsith, di Indonesia terdapat 14 ma’had (pesantren) yang berafiliasi kepada LIPIA, dan semuanya berada di bawah naungan perguruan tinggi milik Muhammadiyah.
Ke-14 ma’had tersebut memang menamakan diri sebagai lembaga bahasa, namun seringkali ideologi Wahabi menyelinap masuk di dalam contoh-contoh gramatikal bahasa arab yang mereka ajarkan. (Evi Rahmawati)
http://islamlib.com/ormas/muhammadiyah/beberapa-alasan-muhammadiyah-dekat-dengan-wahabi/
Catatan Muhammadiyah Studies:
Pertama, tidak hanya dengan Wahabi, Muhammadiyah juga pernah dituduh dekat dengan Pemerintah Kolonial Belanda karena mengikuti sistem pendidikan gaya Belanda. Bahkan KH Ahmad Dahlan pernah dianggap sebagai Kristen Putih karena berteman dengan orang-orang Kristen dan meminta mereka menjadi dokter dan guru di Muhammadiyah. Adanya kesamaan tidaklah berarti keduanya merupakan entitas yang tunggal. Islam memiliki banyak persamaan dengan Kristen dan Kristen pun memiliki banyak persamaan dengan Yahudi. Tapi ketiganya adalah entitas yang berbeda; Islam bukanlah Kristen, dan Kristen bukanlah Yahudi. Demikian pulan halnya antara Muhammadiyah dan Wahabi. Memang ada titik-titik persinggungan, tapi keduanya adalah entitas yang berbeda.
Kedua, selain beberapa persamaan, Muhammadiyah juga memiliki sejumlah perbedaan dengan Wahabi. Selain perbedaan pemahaman terhadap konsep yang sama seperti tertulis dalam catatan di atas, perbedaan lain antara Muhammadiyah dan Wahabi adalah pada peran perempuan. Tentu Wahabi tidak mengenal organisasi semisal 'Aisyiah. Wahabi membatasi gerak perempuan dan lebih menempatkan mereka di rumah. Muhammadiyah membebaskan perempuan dan memberi ruang untuk beraktivitas sosial di masyarakat. Memang tak dipungkiri bahwa Muhammadiyah masih membedakan antara organisasi kaum laki-laki dan perempuan. namun dalam IPM dan IMM, laki-laki dan perempuan berada dalam organisasi yang sama.
Ketiga, Muhammadiyah bukanlah organisasi yang berorientasi kuat pada ideologi atau teologi, ideology-oriented. Muhammadiyah adalah organisasi amal, praktis. Tekanannya pada amal sosial seperti feeding kesejahteraan sosial seperi pendirian panti asuhan dan rumah anak jalanan), schooling (pendidikan dan pengajaran), dan healing (rumah sakit dan balai kesehatan). Memang, ideologi penting, namun selama ini Muhammadiyah lebih banyak bergerak pada implementasi dari ideologi itu.
IslamLib
Pada tadarus sebelumnya, Najib Burhani membantah tuduhan bahwa Muhammadiyah berafiliasi kepada Wahabi. Alih-alih berasosiasi dengan Wahabi, Muhammadiyah, menurut Najib, lebih merujuk kepada pemikiran sang modernis, Muhammad Abduh.
Abdul Moqsith Ghazali pada pertemuan terakhir tadarus ramadan JIL, Rabu (8/7) lalu, menguraikan beberapa poin yang menunjukkan persinggungan doktrin, yang nampak dekat namun memiliki konsekuensi berkebalikan, antara Wahabisme dan Abduhisme.
Pertama, baik pengikut Wahabi maupun Abduh sama-sama menggunakan slogan “al-ruju’ ila al-quran wa al-hadits” atau kembali kepada Quran dan Hadis. Kalangan Wahabi menerapkan doktrin ini dengan melakukan penafsiran atas Quran dan hadis secara tekstual.
Sementara bagi para pengikut Muhammad Abduh, di Indonesia diwakili oleh Harun Nasution misalnya, menjalankan doktrin tersebut dengan mengutamakan argumen rasional. Karenanya, produk pemikiran yang dilahirkan keduanya akan berbeda, bahkan bisa dikatakan bertolak-belakang.
Misalnya dalam persoalan poligami, orang-orang yang berkiblat kepada Muhammad bin Abdul Wahab akan menafsirkan ayat Quran tentang poligami sebagai justifikasi atas perilaku ini, tetapi bagi kelompok Abduh tentu artikulasi penafisrannya akan berbeda.
Persamaan kedua, baik Wahabisme maupun Abduhisme sama-sama menolak bermazhab. Namun berbeda dengan kelompok Abduh yang mendukung kebebasan berpikir, kelompok Wahabi justru mendirikan mazhab baru. Menurut Moqsith, konsekuensi dari sikap anti-mazhab oleh Wahabi ini bisa berakibat fatal.
Sebab melalui doktrin tersebut, mereka terkungkung dalam lingkar pemikiran tiga ulama yang menjadi rujukan utamanya: Nasirudin al-Albani, Muhammad bin Abdul Wahab dan Abdullah bin Baz. Sehingga, lanjut Moqsith, parameter kebenaran bagi kalangan Wahabi hanya terbatas pada pemikiran tiga ulama tersebut.
Persinggungan selanjutnya antara para pengikut Abduh dengan Wahabi adalah penolakan mereka terhadap aliran tasawuf. “Di sinilah Wahabi dengan Abduh ketemu, menghajar kelompok-kelompok tradisionalis. Islam Nusantara kena juga di sini,” jelas Moqsith.
Baik Wahabi maupun Abduh, sama-sama memiliki penekanan yang kuat terhadap ajaran tauhid, inilah persinggungan mereka berikutnya. Namun lagi-lagi konsekuensinya sangat bertolak-belakang bagi kedua kubu ini. “Dengan menuhankan Tuhan yang satu, Allah yang esa, dampak dari konsep tauhid dalam pemikiran Muhammad Abduh adalah merelatifkan selain Allah,” terang Moqsith.
Ia melanjutkan, “nanti ujungnya, orang seperti Ali Abd al-Raziq, misalnya, menolak segala tindakan dan perilaku politik Nabi Muhammad ketika berada di Madinah. Karena tindakan politik Nabi di Madinah itu tidak menjadi bagian dari risalah kenabian.”
Tetapi pemikiran demikian tidak ada pada kalangan Wahabi. Konsekuensi buruk dari konsep tauhid yang mereka anut malah melahirkan takfiri, mengafirkan orang-orang Islam yang memiliki pandangan berbeda dengan mereka. Sehingga, Wahabi dianggap memerangi orang-orang Islam dan membiarkan para penyembah berhala.
Di dalam sejarahnya, orang-orang Wahabi memanfaatkan kerja sama dengan Barat untuk menghajar kalangan Muslim tertentu. Ini juga yang menjadi persinggungan selanjutnya antara kalangan Wahabi dengan para pengikut Abduh, kedekatan mereka dengan Barat.
Tetapi para pengikut Abduhi adalah mereka yang terkagum-kagum terhadap kemajuan ilmu pengetahuan Barat, di sinilah perbedaannya. Lain halnya dengan pengikut Abduh yang bersintesa dengan Barat untuk mengambil aspek ilmu pengetahuan mereka, kelompok Wahabi memanfaatkan kerjasama dengan Barat untuk memerangi kelompok Islam sendiri.
Kecenderungan yang sama dari dua kubu ini juga bisa terlihat dari sikap ketus yang mereka tunjukkan terhadap kebudayaan lokal. Banyak tradisi masyarakat yang tidak mendapatkan tempatnya dalam ajaran dua kelompok ini. Misalnya seperti ziarah kubur, yang bagi masyarakat Indonesia, Jawa khususnya, ini merupakan tradisi yang sulit dipangkas begitu saja.
Moqsith juga menjelaskan bahwa Muhammadiyah seringkali berada di antara dua posisi itu, kadang dia mendekat kepada Wahabisme, kadang dia mendekat kepada Abduhisme. Karena itu, lanjut Moqsith, di Indonesia terdapat 14 ma’had (pesantren) yang berafiliasi kepada LIPIA, dan semuanya berada di bawah naungan perguruan tinggi milik Muhammadiyah.
Ke-14 ma’had tersebut memang menamakan diri sebagai lembaga bahasa, namun seringkali ideologi Wahabi menyelinap masuk di dalam contoh-contoh gramatikal bahasa arab yang mereka ajarkan. (Evi Rahmawati)
http://islamlib.com/ormas/muhammadiyah/beberapa-alasan-muhammadiyah-dekat-dengan-wahabi/
Catatan Muhammadiyah Studies:
Pertama, tidak hanya dengan Wahabi, Muhammadiyah juga pernah dituduh dekat dengan Pemerintah Kolonial Belanda karena mengikuti sistem pendidikan gaya Belanda. Bahkan KH Ahmad Dahlan pernah dianggap sebagai Kristen Putih karena berteman dengan orang-orang Kristen dan meminta mereka menjadi dokter dan guru di Muhammadiyah. Adanya kesamaan tidaklah berarti keduanya merupakan entitas yang tunggal. Islam memiliki banyak persamaan dengan Kristen dan Kristen pun memiliki banyak persamaan dengan Yahudi. Tapi ketiganya adalah entitas yang berbeda; Islam bukanlah Kristen, dan Kristen bukanlah Yahudi. Demikian pulan halnya antara Muhammadiyah dan Wahabi. Memang ada titik-titik persinggungan, tapi keduanya adalah entitas yang berbeda.
Kedua, selain beberapa persamaan, Muhammadiyah juga memiliki sejumlah perbedaan dengan Wahabi. Selain perbedaan pemahaman terhadap konsep yang sama seperti tertulis dalam catatan di atas, perbedaan lain antara Muhammadiyah dan Wahabi adalah pada peran perempuan. Tentu Wahabi tidak mengenal organisasi semisal 'Aisyiah. Wahabi membatasi gerak perempuan dan lebih menempatkan mereka di rumah. Muhammadiyah membebaskan perempuan dan memberi ruang untuk beraktivitas sosial di masyarakat. Memang tak dipungkiri bahwa Muhammadiyah masih membedakan antara organisasi kaum laki-laki dan perempuan. namun dalam IPM dan IMM, laki-laki dan perempuan berada dalam organisasi yang sama.
Ketiga, Muhammadiyah bukanlah organisasi yang berorientasi kuat pada ideologi atau teologi, ideology-oriented. Muhammadiyah adalah organisasi amal, praktis. Tekanannya pada amal sosial seperti feeding kesejahteraan sosial seperi pendirian panti asuhan dan rumah anak jalanan), schooling (pendidikan dan pengajaran), dan healing (rumah sakit dan balai kesehatan). Memang, ideologi penting, namun selama ini Muhammadiyah lebih banyak bergerak pada implementasi dari ideologi itu.
Monday, July 13, 2015
Wahabi Indonesia dari Generasi ke Generasi
Wahabi Indonesia dari Generasi ke Generasi
Reportase Tadarus Ramadan JIL
IslamLib
Proses wahabisasi di Indonesia banyak memanfaatkan jalur lembaga pendidikan, terutama pesantren. Najib Burhani dalam Tadarus Ramadan JIL bertema “Pengaruh Wahabisme di Dunia Islam” menjelaskan, sejak tahun 1995-2000 puluhan pesantren Wahabi tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, pesantren tertuanya adalah Ihya al-Sunnah di Yogyakarta.
Pesantren-pesantren wahhabi ini biasanya bersifat eksklusif, mereka tidak bersosialisasi dengan masyarakat di sekitarnya, apakah karena dikucilkan atau memang terdapat larangan dari kyai mereka sendiri, terang Najib.
Menurut Najib, ajaran-ajaran yang ditekankan di pesantren-pesantren yang berasosiasi dengan Wahabi ini pada umumnya menolak pengaruh Barat dan membenci kitab kuning. Sementara kitab-kitab yang ditulis Muhammad bin Abdul Wahab merupakan referensi utama dalam kurikulum pembelajaran mereka.
Bahkan menurut Najib, para santri diharuskan menghafal kitab tauhid Muhammad bin Abdul Wahab yang didistribusikan secara gratis oleh pemerintahan Arab Saudi, sebelum beranjak mempelajari kitab-kitab lainnya.
Pada perkembangan selanjutnya, wahabisasi di Indonesia menguat lewat Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang didirikan sejak tahun 1967. Muhammad Natsir sebagai pendiri organisasi ini bahkan pernah mendapat penghargaan dari pemerintah Arab Saudi atas jasanya dalam menyebarkan Islam juga melawan Ahmadiyah dan Syiah.
Sementara bagi Orde Baru, penyebaran wahabisme menjadi keuntungan tersendiri karena bisa dimanfaatkan untuk mengatasi gelombang komunisme. Sebab itu pergerakan kelompok ini mendapat restu dari Soeharto, bahkan mereka diberi izin untuk mendirikan lembaga pendidikan asing yang saat itu sangat sulit untuk didirikan di Indonesia.
Generasi Baru Wahabi. Penyebaran Wahabi ke Indonesia pada generasi ke dua masuk melalui Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA). Dari lembaga pendidikan inilah generasi baru Wahabi bermunculan. Aktivitas dauroh dan halaqah yang dilakukan selama jeda perkuliahan, berhasil menjaring kader-kader yang potensial.
Mereka kemudian dikirim ke Arab Saudi untuk mengimport pemahaman Wahhabi. Sebelum pulang ke Indonesia, sebagaian dari kader-kader ini melakukan field work ke Afganistan dan terlibat dalam peperangan.
Najib menyebut aktivitas ini sebagai baptisme of fire, yakni pembaptisan untuk menjadikan mereka sebagai kader Wahabi dengan terlibat dalam peperangan, setelah itu mereka termaklumat sebagai generasi baru Wahabi.
Abu Nida, Ahmad Faiz Ainur Rafiq, Gufron, adalah nama-nama yang disebut Najib sebagai generasi ke dua penyebar Wahabi di Indonesia. Mereka merupakan aktor intelektual yang brilian dan memiliki pemahaman cukup baik tentang Islam. Atas kegigihan para generasi ke dua inilah wahabisasi berhasil merangsek ke berbagai universitas negeri di Indonesia
Selain melalui institusi pendidikan, Wahabi juga masuk melalui yayasan. Najib memaparkan bahwa yayasan yang berafiliasi dengan Wahabi tersebar cukup luas di Indonesia, salah satunya adalah As-Shafwah. Yayasan-yayasan inilah di antaranya yang menyalurkan dana bantuan untuk pembangunan mesjid-mesjid dan pesantren.
Melalui kontribusinya dalama pendanaan tersebut, mereka biasanya terlibat dalam pembentukan kepengurusan mesjid (imam, takmir, dsb.) atau dalam pembentukan kurikulum, jika yang didanai adalah pesantren atau madrasah.
Itulah proses masuknya Wahhabi di Indonesia sejak tahun 1930-an hingga sekarang. Perbedaan paling mendasar antara generasi terdahulu dengan generasi sekarang adalah bagaimana ke dua generasi ini berhadapan dan memperlakukan pemahamannya tentang Wahabisme.
Jika generasi pertama cukup pada tahap mengaguminya sebagai sebuah gerakan baru yang berhasil di dunia Islam, generasi ke dua atau generasi baru ini, dengan sangat gigihnya menjiwai dan menyebarkan paham mereka ke berbagai pelosok Indonesia. Karena itulah bermunculan pesantren-pesantren, madrasah, bahkan universitas yang bercorak Wahabi, demikian Najib menutup penjelasannya. (Evi Rahmawati)
http://islamlib.com/mazhab/wahabisme/wahabi-indonesia-dari-generasi-ke-generasi/
Reportase Tadarus Ramadan JIL
IslamLib
Proses wahabisasi di Indonesia banyak memanfaatkan jalur lembaga pendidikan, terutama pesantren. Najib Burhani dalam Tadarus Ramadan JIL bertema “Pengaruh Wahabisme di Dunia Islam” menjelaskan, sejak tahun 1995-2000 puluhan pesantren Wahabi tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, pesantren tertuanya adalah Ihya al-Sunnah di Yogyakarta.
Pesantren-pesantren wahhabi ini biasanya bersifat eksklusif, mereka tidak bersosialisasi dengan masyarakat di sekitarnya, apakah karena dikucilkan atau memang terdapat larangan dari kyai mereka sendiri, terang Najib.
Menurut Najib, ajaran-ajaran yang ditekankan di pesantren-pesantren yang berasosiasi dengan Wahabi ini pada umumnya menolak pengaruh Barat dan membenci kitab kuning. Sementara kitab-kitab yang ditulis Muhammad bin Abdul Wahab merupakan referensi utama dalam kurikulum pembelajaran mereka.
Bahkan menurut Najib, para santri diharuskan menghafal kitab tauhid Muhammad bin Abdul Wahab yang didistribusikan secara gratis oleh pemerintahan Arab Saudi, sebelum beranjak mempelajari kitab-kitab lainnya.
Pada perkembangan selanjutnya, wahabisasi di Indonesia menguat lewat Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang didirikan sejak tahun 1967. Muhammad Natsir sebagai pendiri organisasi ini bahkan pernah mendapat penghargaan dari pemerintah Arab Saudi atas jasanya dalam menyebarkan Islam juga melawan Ahmadiyah dan Syiah.
Sementara bagi Orde Baru, penyebaran wahabisme menjadi keuntungan tersendiri karena bisa dimanfaatkan untuk mengatasi gelombang komunisme. Sebab itu pergerakan kelompok ini mendapat restu dari Soeharto, bahkan mereka diberi izin untuk mendirikan lembaga pendidikan asing yang saat itu sangat sulit untuk didirikan di Indonesia.
Generasi Baru Wahabi. Penyebaran Wahabi ke Indonesia pada generasi ke dua masuk melalui Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA). Dari lembaga pendidikan inilah generasi baru Wahabi bermunculan. Aktivitas dauroh dan halaqah yang dilakukan selama jeda perkuliahan, berhasil menjaring kader-kader yang potensial.
Mereka kemudian dikirim ke Arab Saudi untuk mengimport pemahaman Wahhabi. Sebelum pulang ke Indonesia, sebagaian dari kader-kader ini melakukan field work ke Afganistan dan terlibat dalam peperangan.
Najib menyebut aktivitas ini sebagai baptisme of fire, yakni pembaptisan untuk menjadikan mereka sebagai kader Wahabi dengan terlibat dalam peperangan, setelah itu mereka termaklumat sebagai generasi baru Wahabi.
Abu Nida, Ahmad Faiz Ainur Rafiq, Gufron, adalah nama-nama yang disebut Najib sebagai generasi ke dua penyebar Wahabi di Indonesia. Mereka merupakan aktor intelektual yang brilian dan memiliki pemahaman cukup baik tentang Islam. Atas kegigihan para generasi ke dua inilah wahabisasi berhasil merangsek ke berbagai universitas negeri di Indonesia
Selain melalui institusi pendidikan, Wahabi juga masuk melalui yayasan. Najib memaparkan bahwa yayasan yang berafiliasi dengan Wahabi tersebar cukup luas di Indonesia, salah satunya adalah As-Shafwah. Yayasan-yayasan inilah di antaranya yang menyalurkan dana bantuan untuk pembangunan mesjid-mesjid dan pesantren.
Melalui kontribusinya dalama pendanaan tersebut, mereka biasanya terlibat dalam pembentukan kepengurusan mesjid (imam, takmir, dsb.) atau dalam pembentukan kurikulum, jika yang didanai adalah pesantren atau madrasah.
Itulah proses masuknya Wahhabi di Indonesia sejak tahun 1930-an hingga sekarang. Perbedaan paling mendasar antara generasi terdahulu dengan generasi sekarang adalah bagaimana ke dua generasi ini berhadapan dan memperlakukan pemahamannya tentang Wahabisme.
Jika generasi pertama cukup pada tahap mengaguminya sebagai sebuah gerakan baru yang berhasil di dunia Islam, generasi ke dua atau generasi baru ini, dengan sangat gigihnya menjiwai dan menyebarkan paham mereka ke berbagai pelosok Indonesia. Karena itulah bermunculan pesantren-pesantren, madrasah, bahkan universitas yang bercorak Wahabi, demikian Najib menutup penjelasannya. (Evi Rahmawati)
http://islamlib.com/mazhab/wahabisme/wahabi-indonesia-dari-generasi-ke-generasi/
Muhammadiyah Tidak Berafiliasi Kepada Wahabi
Pengurus Muhammadiyah 1918-1921 (Foto: mpi.muhammadiyah.or.id) |
Reportase Tadarus Ramadan JIL
IslamLib
Apakah Muhammadiyah merepresentasikan Wahabisme? Demikian pertanyaan yang kerap diungkapkan sebagian kalangan terhadap organisasi yang didirikan oleh Kyai Haji ahmad Dahlan ini.
Najib Burhani pada tadarus ramadan JIL beberapa waktu lalu mengajukan bantahan atas klaim tersebut. Ia menguraikan asal-mula mengapa timbul anggapan demikian terhadap organisasi yang dihidupinya selama ini.
Najib mengakui bahwa pada masa-masa awal berdirinya, organisasi ini sangat mengapresiasi kehadiran Wahabi di Indonesia. Jika merujuk pada buku yang ditulis Hamka: “Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman” ataupun sejarah Imam Bonjol dan Haji Rosul, bisa terlihat bagaimana apresiasi itu mengental di kalangan mereka.
Bahkan dalam buku Hamka tersebut dikisahkan bagaimana saat Muktamar Muhammadiyah di Banjarmasin, orang-orang lokal menyambut kedatangan mereka dengan pujian sebagai orang Wahabi.
Namun itu tidak berarti bahwa Muhammadiyah serta-merta bisa diafiliasikan kepada Wahabi, bantah Najib. Lebih lanjut ia menerangkan bahwa pendiri Muhammadiyah sendiri, Kyai Haji Ahmad Dahlan, mengadopsi nama Ahmad Zaini Dahlan yang terkenal sebagai kritikus aliran Wahabisme.
Kyai Haji Ahmad Dahlan mengubah namanya dari Raden Ngabehi Muhammad Darwis sekembalinya dari ibadah haji, ungkap Najib. Lebih lanjut Najib menjelaskan bahwa dalam Muhammadiyah sendiri dapat ditemukan dua karakter yang berbeda, antara Haji Rosul yang kemudian diikuti oleh anaknya, Buya HAMKA.
Muhammadiyah Sumatera lebih teologis, dan Jawa lebih kepada social movement. Maka ada pernyataan bahwa Muhammadiyah lahir di Jawa tetapi ideologinya dibangun di Sumatera. Ini mengisyaratkan bahwa kalangan Muhammadiyah yang berbasis di daerah Jawa tidak terlibat cukup aktif dalam hal ideologi.
Mereka cenderung mengabaikan ideologi, tetapi lebih aktif dalam kegiatan sosial, demikian papar Najib. Karenanya, jika berbicara karakter, Muhammadiyah mengandung dua unsur yang berbeda, antara puritanisme dan modernisme.
Mungkin benar bahwa Muhammadiyah sedikit bersinggungan dengan Wahabisme, tetapi itu terutama pada aspek puritanisme dari Wahabi, dengan meletakkan tauhid atau strict monotheism pada posisi sentral. Efek positif Wahabisme untuk Muhammadiyah dari adopsi strict monotheism itu berwujud pada rasionalisasi. Ini terejawantahkan diantaranya dalam wujud perlawanan terhadap apapun yang dianggap tidak rasional seperti takhayul dan khurafat. Dari rasionalisasi inilah lantas berkembang menjadi modernisasi. Makna positif kedua dari tauhid ala Wahabi adalah sekularisasi, bahwa hanya Allah yang sakral sementara yang lain adalah profan. Ini yang kemudian terus didengungkan oleh Cak Nur (Nurcholis Madjid).
Umumnya para sarjana membagi Wahabisme kepada tiga kelompok: purist, politic, dan jihadist. Pengaruh Wahabisme di Muhammadiyah adalah dari golongan yang pertama itu, yaitu purist atau kelompok pemurnian.
Untuk karakter pemikiran, Muhammadiyah lebih berasosiasi kepada Muhammad Abduh yang mencoba mereformulasikan khazanah Islam, menekankan pada independent reasoning, ijtihad, juga mensintesiskan antara Islam dengan Barat, lanjut Najib.
Karena itu, jika melihat pada klasifikasi tentang revivalisme Islam gaya Fazlur Rahman, kriteria Muhammadiyah tidak sama dengan fundamentalisme atau neo-fundamentalism yang diasosiasikan kepada Muhammad Ibn Abdul Wahhab dan Muhammad Rasyid Ridha, pungkasnya. (Evi Rahmawati)
http://islamlib.com/ormas/muhammadiyah/muhammadiyah-tidak-berafiliasi-kepada-wahabi/
Delving deeper into Ahmad Syafii Maarif’s thoughts
Novia D. Rulistia, The Jakarta Post, Jakarta | On The Shelves | Mon, July 13 2015, 10:16 AM
Muslim intellectual Ahmad Syafii Maarif has endlessly encouraged pluralism and peaceful coexistence among mankind through his writings and criticism.
Now 80, the former leader of the country’s second-largest Islamic organization, Muhammadiyah, continues to dedicate his time and energy to the betterment of the country, as he leads the independent team tasked with advising President Joko “Jokowi” Widodo on many issues, including the recent standoff between the Corruption Eradication Commission (KPK) and the National Police.
His ideas and teachings have been compiled and evaluated in Muazin Bangsa dari Makkah Darat: Biografi Intelektual Ahmad Syafii Maarif (The Nation’s Muazin from Makkah Darat: The Intellectual Biography of Ahmad Syafii Maarif), released to celebrate his 80th birthday this year.
In general, a muazin is someone who is a reminder, while in Islam, a muazin is a person who performs the Muslim call to prayer in Arabic. While Makkah Darat is the historical nickname for his birthplace in Sampur Kudus, West Sumatra.
Maarif Institute executive director Fajar Riza Ul Haq said the book’s title was inspired by the writings of Alois A. Nugroho, one of the book’s contributors who named Maarif the nation’s morality muazin.
“Buya Syafii never asked for this book, but we in the Maarif Institute wanted to express our gratitude and support for his dedication to this country through this book,” Fajar said during the book launch at Bentara Budaya Jakarta in Jakarta.
“It’s an effort to record Maarif’s intellectual history that has been developed in this society,” he said.
The launch was attended by a wide spectrum of society, from Jakarta Governor Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, interim KPK chairman Taufiequrachman Ruki, People’s Consultative Assembly (MPR) Speaker Zulkifli Hasan, historian Anhar Gonggong, philosopher and priest Franz Magnis-Suseno as well as activists, journalists and teenagers — indicating how his thoughts have touched and are respected by many people.
Fifteen scholars have contributed to the 429-page book, namely: Amin Abdullah, Noorhaidi Hasan, Munim A Sirry, Hilman Latief, Akhmad Sahal, Alois A. Nugroho, Ahmad Najib Burhani, Ahmad Norma Permata, Rahmawati Husein, Sudirman Nasir, Neng Dara Afifah, Muhammad Ali, Sumanto Al Qurtuby, Abdul Munir Mulkhan dan William Frederick, who have elaborated in detail on Maarif’s thoughts.
The book’s editor, Ahmad Fuad Fanani, said Muazin Bangsa was initially planned for release in 2011 to celebrate Maarif’s 76th birthday, but it had not been easy for the team to get it together.
“It took four years to complete the book, but the time is also good now as this year is Buya’s 80th birthday,” he said.
A discussion on the book, published by the Maarif Institute and Serambi, also took place during the launch, featuring Alois; State Islamic University (UIN) rector Komaruddin Hidayat; and Rahmawati disaster risk mitigation professor at the Yogyakarta Muhammadiyah University.
In the discussion, Alois, the professor of political communication ethics from Atmajaya Catholic University, highlighted Maarif’s commitment to upholding the value of ethics in society.
“He has never tired of showing and reminding us about what’s right and wrong. In this country, we need a muazin who can explain right from wrong to anyone without exception,” he said.
“His writings are always sharp, but there’s no hatred in them.”
Alois said that for the book, he had divided Maarif’s thoughts into four categories to help readers grasp the gist of his teachings.
First are the ethics of political democracy that focus on civic life; second are the ethics of politicians and bureaucrats that highlight his call for moral integrity among politicians; third are the social ethics that respect pluralism and equality in all aspects of life; the last are global ethics that center on his thoughts on upholding international humanism.
Meanwhile, Rahmawati delves deeper into Maarif’s stance on environmental exploitation.
She said that although Maarif did not produce a lot of writing about the environment, he had pointed out that moral issues were behind environmental destruction.
“Buya Syafii argues that greed has triggered the destruction; environmental exploitation in the regions takes place because of the corruption in local government, and Buya is loud and clear in addressing this issue,” Rahmawati said.
The book also talks about his pivotal years when his life took a turn from being a hardliner into a pluralist who always emphasized tolerance.
Komaruddin Hidayat said Maarif developed his intellectualism during his studies at Chicago University in the US, where he found out how different Islam in the West was from the Middle East.
“I believe if he went to Egypt instead of the US, he wouldn’t be like he is today,” he said.
“With his knowledge, experience of globalization in the West, and his leadership of Muhammadiyah, he is very humble — that’s what makes him a charismatic, respected person.”
Maarif studied at Mu’allimin Yogyakarta, an Islamic boarding school run by Muhammadiyah.
Like many of his Muhammadiyah fellows and other intellectualized Muslims, including the late Nurcholish Madjid, he was infatuated with the Islamic party Masyumi, thinking that he was a hardliner fighting for the idea of creating an Islamic state, but never supported violence.
He then brought that idea to the US, but discarded it after encountering Pakistani thinker Fazlur Rahman — the most influential person in the development of Maarif’s Islamic and political thought — who was also a lecturer at Chicago University.
It was during his discussions with Rahman that he was able to leave the path of fundamentalism, which was filled with fiery spirit but lacked deep, contemplative thoughts.
“This book peels every layer of my thoughts. I have come to realize, am I still substantial enough? Can I still go on? I don’t know,” Maarif said.
“I only hope this nation can always survive.”
- See more at: http://www.thejakartapost.com/news/2015/07/13/delving-deeper-ahmad-syafii-maarif-s-thoughts.html#sthash.YzaWCoBi.dpuf
Muslim
intellectual Ahmad Syafii Maarif has endlessly encouraged pluralism and
peaceful coexistence among mankind through his writings and criticism.
Now 80, the former leader of the country’s second-largest Islamic organization, Muhammadiyah, continues to dedicate his time and energy to the betterment of the country, as he leads the independent team tasked with advising President Joko “Jokowi” Widodo on many issues, including the recent standoff between the Corruption Eradication Commission (KPK) and the National Police.
His ideas and teachings have been compiled and evaluated in Muazin Bangsa dari Makkah Darat: Biografi Intelektual Ahmad Syafii Maarif (The Nation’s Muazin from Makkah Darat: The Intellectual Biography of Ahmad Syafii Maarif), released to celebrate his 80th birthday this year.
In general, a muazin is someone who is a reminder, while in Islam, a muazin is a person who performs the Muslim call to prayer in Arabic. While Makkah Darat is the historical nickname for his birthplace in Sampur Kudus, West Sumatra.
Maarif Institute executive director Fajar Riza Ul Haq said the book’s title was inspired by the writings of Alois A. Nugroho, one of the book’s contributors who named Maarif the nation’s morality muazin.
“Buya Syafii never asked for this book, but we in the Maarif Institute wanted to express our gratitude and support for his dedication to this country through this book,” Fajar said during the book launch at Bentara Budaya Jakarta in Jakarta.
“It’s an effort to record Maarif’s intellectual history that has been developed in this society,” he said.
The launch was attended by a wide spectrum of society, from Jakarta Governor Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, interim KPK chairman Taufiequrachman Ruki, People’s Consultative Assembly (MPR) Speaker Zulkifli Hasan, historian Anhar Gonggong, philosopher and priest Franz Magnis-Suseno as well as activists, journalists and teenagers — indicating how his thoughts have touched and are respected by many people.
Fifteen scholars have contributed to the 429-page book, namely: Amin Abdullah, Noorhaidi Hasan, Munim A Sirry, Hilman Latief, Akhmad Sahal, Alois A. Nugroho, Ahmad Najib Burhani, Ahmad Norma Permata, Rahmawati Husein, Sudirman Nasir, Neng Dara Afifah, Muhammad Ali, Sumanto Al Qurtuby, Abdul Munir Mulkhan dan William Frederick, who have elaborated in detail on Maarif’s thoughts.
The book’s editor, Ahmad Fuad Fanani, said Muazin Bangsa was initially planned for release in 2011 to celebrate Maarif’s 76th birthday, but it had not been easy for the team to get it together.
“It took four years to complete the book, but the time is also good now as this year is Buya’s 80th birthday,” he said.
A discussion on the book, published by the Maarif Institute and Serambi, also took place during the launch, featuring Alois; State Islamic University (UIN) rector Komaruddin Hidayat; and Rahmawati disaster risk mitigation professor at the Yogyakarta Muhammadiyah University.
In the discussion, Alois, the professor of political communication ethics from Atmajaya Catholic University, highlighted Maarif’s commitment to upholding the value of ethics in society.
“He has never tired of showing and reminding us about what’s right and wrong. In this country, we need a muazin who can explain right from wrong to anyone without exception,” he said.
“His writings are always sharp, but there’s no hatred in them.”
Alois said that for the book, he had divided Maarif’s thoughts into four categories to help readers grasp the gist of his teachings.
First are the ethics of political democracy that focus on civic life; second are the ethics of politicians and bureaucrats that highlight his call for moral integrity among politicians; third are the social ethics that respect pluralism and equality in all aspects of life; the last are global ethics that center on his thoughts on upholding international humanism.
Meanwhile, Rahmawati delves deeper into Maarif’s stance on environmental exploitation.
She said that although Maarif did not produce a lot of writing about the environment, he had pointed out that moral issues were behind environmental destruction.
“Buya Syafii argues that greed has triggered the destruction; environmental exploitation in the regions takes place because of the corruption in local government, and Buya is loud and clear in addressing this issue,” Rahmawati said.
The book also talks about his pivotal years when his life took a turn from being a hardliner into a pluralist who always emphasized tolerance.
Komaruddin Hidayat said Maarif developed his intellectualism during his studies at Chicago University in the US, where he found out how different Islam in the West was from the Middle East.
“I believe if he went to Egypt instead of the US, he wouldn’t be like he is today,” he said.
“With his knowledge, experience of globalization in the West, and his leadership of Muhammadiyah, he is very humble — that’s what makes him a charismatic, respected person.”
Maarif studied at Mu’allimin Yogyakarta, an Islamic boarding school run by Muhammadiyah.
Like many of his Muhammadiyah fellows and other intellectualized Muslims, including the late Nurcholish Madjid, he was infatuated with the Islamic party Masyumi, thinking that he was a hardliner fighting for the idea of creating an Islamic state, but never supported violence.
He then brought that idea to the US, but discarded it after encountering Pakistani thinker Fazlur Rahman — the most influential person in the development of Maarif’s Islamic and political thought — who was also a lecturer at Chicago University.
It was during his discussions with Rahman that he was able to leave the path of fundamentalism, which was filled with fiery spirit but lacked deep, contemplative thoughts.
“This book peels every layer of my thoughts. I have come to realize, am I still substantial enough? Can I still go on? I don’t know,” Maarif said.
“I only hope this nation can always survive.”
- See more at: http://www.thejakartapost.com/news/2015/07/13/delving-deeper-ahmad-syafii-maarif-s-thoughts.html#sthash.YzaWCoBi.dpuf
Now 80, the former leader of the country’s second-largest Islamic organization, Muhammadiyah, continues to dedicate his time and energy to the betterment of the country, as he leads the independent team tasked with advising President Joko “Jokowi” Widodo on many issues, including the recent standoff between the Corruption Eradication Commission (KPK) and the National Police.
His ideas and teachings have been compiled and evaluated in Muazin Bangsa dari Makkah Darat: Biografi Intelektual Ahmad Syafii Maarif (The Nation’s Muazin from Makkah Darat: The Intellectual Biography of Ahmad Syafii Maarif), released to celebrate his 80th birthday this year.
In general, a muazin is someone who is a reminder, while in Islam, a muazin is a person who performs the Muslim call to prayer in Arabic. While Makkah Darat is the historical nickname for his birthplace in Sampur Kudus, West Sumatra.
Maarif Institute executive director Fajar Riza Ul Haq said the book’s title was inspired by the writings of Alois A. Nugroho, one of the book’s contributors who named Maarif the nation’s morality muazin.
“Buya Syafii never asked for this book, but we in the Maarif Institute wanted to express our gratitude and support for his dedication to this country through this book,” Fajar said during the book launch at Bentara Budaya Jakarta in Jakarta.
“It’s an effort to record Maarif’s intellectual history that has been developed in this society,” he said.
The launch was attended by a wide spectrum of society, from Jakarta Governor Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, interim KPK chairman Taufiequrachman Ruki, People’s Consultative Assembly (MPR) Speaker Zulkifli Hasan, historian Anhar Gonggong, philosopher and priest Franz Magnis-Suseno as well as activists, journalists and teenagers — indicating how his thoughts have touched and are respected by many people.
Fifteen scholars have contributed to the 429-page book, namely: Amin Abdullah, Noorhaidi Hasan, Munim A Sirry, Hilman Latief, Akhmad Sahal, Alois A. Nugroho, Ahmad Najib Burhani, Ahmad Norma Permata, Rahmawati Husein, Sudirman Nasir, Neng Dara Afifah, Muhammad Ali, Sumanto Al Qurtuby, Abdul Munir Mulkhan dan William Frederick, who have elaborated in detail on Maarif’s thoughts.
The book’s editor, Ahmad Fuad Fanani, said Muazin Bangsa was initially planned for release in 2011 to celebrate Maarif’s 76th birthday, but it had not been easy for the team to get it together.
“It took four years to complete the book, but the time is also good now as this year is Buya’s 80th birthday,” he said.
A discussion on the book, published by the Maarif Institute and Serambi, also took place during the launch, featuring Alois; State Islamic University (UIN) rector Komaruddin Hidayat; and Rahmawati disaster risk mitigation professor at the Yogyakarta Muhammadiyah University.
In the discussion, Alois, the professor of political communication ethics from Atmajaya Catholic University, highlighted Maarif’s commitment to upholding the value of ethics in society.
“He has never tired of showing and reminding us about what’s right and wrong. In this country, we need a muazin who can explain right from wrong to anyone without exception,” he said.
“His writings are always sharp, but there’s no hatred in them.”
Alois said that for the book, he had divided Maarif’s thoughts into four categories to help readers grasp the gist of his teachings.
First are the ethics of political democracy that focus on civic life; second are the ethics of politicians and bureaucrats that highlight his call for moral integrity among politicians; third are the social ethics that respect pluralism and equality in all aspects of life; the last are global ethics that center on his thoughts on upholding international humanism.
Meanwhile, Rahmawati delves deeper into Maarif’s stance on environmental exploitation.
She said that although Maarif did not produce a lot of writing about the environment, he had pointed out that moral issues were behind environmental destruction.
“Buya Syafii argues that greed has triggered the destruction; environmental exploitation in the regions takes place because of the corruption in local government, and Buya is loud and clear in addressing this issue,” Rahmawati said.
The book also talks about his pivotal years when his life took a turn from being a hardliner into a pluralist who always emphasized tolerance.
Komaruddin Hidayat said Maarif developed his intellectualism during his studies at Chicago University in the US, where he found out how different Islam in the West was from the Middle East.
“I believe if he went to Egypt instead of the US, he wouldn’t be like he is today,” he said.
“With his knowledge, experience of globalization in the West, and his leadership of Muhammadiyah, he is very humble — that’s what makes him a charismatic, respected person.”
Maarif studied at Mu’allimin Yogyakarta, an Islamic boarding school run by Muhammadiyah.
Like many of his Muhammadiyah fellows and other intellectualized Muslims, including the late Nurcholish Madjid, he was infatuated with the Islamic party Masyumi, thinking that he was a hardliner fighting for the idea of creating an Islamic state, but never supported violence.
He then brought that idea to the US, but discarded it after encountering Pakistani thinker Fazlur Rahman — the most influential person in the development of Maarif’s Islamic and political thought — who was also a lecturer at Chicago University.
It was during his discussions with Rahman that he was able to leave the path of fundamentalism, which was filled with fiery spirit but lacked deep, contemplative thoughts.
“This book peels every layer of my thoughts. I have come to realize, am I still substantial enough? Can I still go on? I don’t know,” Maarif said.
“I only hope this nation can always survive.”
- See more at: http://www.thejakartapost.com/news/2015/07/13/delving-deeper-ahmad-syafii-maarif-s-thoughts.html#sthash.YzaWCoBi.dpuf
Novia
D. Rulistia, The Jakarta Post, Jakarta | On The Shelves | Mon, July 13
2015, 10:16 AM - See more at:
http://www.thejakartapost.com/news/2015/07/13/delving-deeper-ahmad-syafii-maarif-s-thoughts.html#sthash.YzaWCoBi.dpuf
Novia
D. Rulistia, The Jakarta Post, Jakarta | On The Shelves | Mon, July 13
2015, 10:16 AM - See more at:
http://www.thejakartapost.com/news/2015/07/13/delving-deeper-ahmad-syafii-maarif-s-thoughts.html#sthash.YzaWCoBi.dpuf
Novia
D. Rulistia, The Jakarta Post, Jakarta | On The Shelves | Mon, July 13
2015, 10:16 AM - See more at:
http://www.thejakartapost.com/news/2015/07/13/delving-deeper-ahmad-syafii-maarif-s-thoughts.html#sthash.YzaWCoBi.dpuf
Sunday, July 12, 2015
Kembalinya Keluarga Besar dari Rantau
JAWA POS, 09 Juli 2015
Achmad Jainuri ;
Guru besar Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel;
Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jawa Timur
MINGGU, 5 Juni yang baru lalu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin mengundang sekitar empat ratus intelektual Muhammadiyah berkumpul dalam acara ’’Silaturahmi Intelektual Muhammadiyah’’ di Hotel Sahid, Jakarta. Sebagian besar di antara mereka adalah warga Muhammadiyah ’’kultural’’ dengan berbagai maknanya, yang berada secara diaspora di luar struktur organisasi Muhammadiyah.
Mereka berasal dari pejabat tinggi negara, pengusaha, ilmuwan dari perguruan tinggi, pemerhati, dan politikus. Tujuannya adalah meng himpun masukan bagi muktamar Muhammadiyah yang digelar di Makassar pada 3–7 Agustus mendatang.
Kegiatan itu merupakan rangkaian seminar pramuktamar yang telah dilaksanakan di berbagai perguruan tinggi Muhammadiyah di Malang, Jogjakarta, Jakarta, Medan, Makassar, Surabaya, dan Tangerang. Berbagai ungkapan yang disampaikan 20 perwakilan peserta yang duduk di panggung depan memberikan testimoni pengalaman diri masingmasing, kritik, saran, dan harapan terhadap Muhammadiyah.
Secara ideologis, mereka bisa dikelompokkan sebagai Muhammadiyah kultural, Muhammadiyah akomodatif, Muhammadiyah apresiatif, dan Muhammadiyah sosial. Yang pertama adalah mereka yang dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan keluarga Muhammadiyah, yang pandangan dan perilaku kesehariannya didasarkan pada nilai serta etika yang ditanamkan Muhammadiyah. Mereka yang termasuk dalam kelompok itu adalah Badrodin Haiti, Irman Gusman, Dewi Fortuna Anwar, Zulkifli Hasan, Hajriyanto Thohari, Komaruddin Hidayat, Andrianof Chaniago, dan Siti Nurbaya.
Kedua, mereka yang lahir dari keluarga Muhammadiyah, tetapi juga terbiasa melakukan ritus sosial sebagaimana yang dilakukan kaum nahdliyin karena faktor lingkungan. Yang termasuk dalam kelompok itu adalah Salim Said. Ketiga, mereka yang lahir dari keluarga Muhammadiyah dan mengenyam pendidikan Muhammadiyah. Dalam hidup berkeluarga sekarang, kelompok tersebut berbeda secara ideologis dengan pasangan hidup mereka. Istri Muhammadiyah, suami nahdliyin; suami Muhammadiyah, istri nahdliyin. Namun, keduanya saling memahami pilihan masing-masing. Bahkan dalam banyak hal, mereka saling memberi dan mengambil pelajaran dari pasangannya. Hal itu, antara lain, dialami Siti Zuhro, pemerhati dan peneliti LIPI, yang mencontohkan wirid maksimalis yang dilakukan suaminya setelah salat rawatib.
Keempat, mereka yang dilahirkan dan dibesarkan dari keluarga bukan Muhammadiyah, namun lingkungan sosialnya orang-orang Muhammadiyah. Karena seharihari selalu bergaul dengan orang Muhammadiyah, mereka terbiasa berpandangan dan beribadah ala Muhammadiyah. Mereka itu berkeinginan kuat untuk diakui sebagai warga Muhammadiyah. Yang termasuk kelompok itu adalah Jimly Asshiddiqie. Secara kelakar, berkali-kali dia meminta diakui sebagai anggota Muhammadiyah, tetapi tidak ada respons pasti dari Muhammadiyah.
Secara ideologis, kelompok itu juga bisa dikatakan sebagai Muhammadiyah konversi. Jimly sendiri, sebagaimana yang dikatakannya, akan mendirikan ranting Muhammadiyah di tempat tinggalnya sekarang bersama dengan Din Syamsuddin apabila yang disebut terakhir itu selesai mengemban amanah kepemimpinan Muhammadiyah Agustus mendatang.
Pengalaman mereka semua selama berada di luar struktur organisasi Muhammadiyah diungkapkan dalam kritik serta harapan terhadap Muhammadiyah. Jenderal Badrodin Haiti, yang tugas kesehariannya berkaitan dengan keamanan masyarakat, mengkritisi kecenderungan radikalisme sebagian kalangan muslim sementara ini yang dikaitkan dengan Muhammadiyah. Setidaknya, kaum radikalis itu memiliki kesamaan ideologis, walaupun mereka beraktivitas di luar organisasi Muhammadiyah.
Kritik Pak Jenderal tersebut bukannya tidak disadari pimpinan Muhammadiyah. Memang, indikasi tindakan radikal itu tidak ditemukan pada anggota pimpinan struktural organisasi Muhammadiyah. Namun, dalam beberapa kasus, sebagian pelaku teridentifikasi berasal dari keluarga Muhammadiyah. Amrozi adalah salah satu contohnya.
Kritik yang tidak kalah penting juga ditujukan terhadap program Muhammadiyah melalui amal usaha pendidikan dan rumah sakit, yang tampak hanya bisa dimanfaatkan kalangan kelas menengah. Dalam kaitan itu, Muhammadiyah dinilai belum bisa memberikan layanan sosial bagi masyarakat bawah.
Lembaga pendidikan dan rumah sakit yang dimiliki organisasi seakan berlomba menjadi sekolah dan pusat pengobatan elite dengan biaya yang tidak terjangkau rakyat kecil. Terhadap lembaga perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM) yang jumlahnya sekitar 196 di seluruh Indonesia, kritik disampaikan karena belum satu pun PTM, termasuk 8 PTM besar, yang kualitasnya bisa disejajarkan dengan lembaga pendidikan tinggi dunia, dilihat dari lulusan serta hasil kajian ilmiah.
Sederet amal usaha seperti yang sudah berlangsung selama ini memang tidak harus diganti dengan yang baru, tetapi lebih pada pemberian makna bagi semua lapisan masyarakat tanpa menghilangkan lembaga sosial yang ada. Demikian pula, pemahaman agama yang berorientasi pada filsafat keterbukaan, toleran, dan pluralis yang telah lama dilakukan Muhammadiyah tetap menjadi acuan sikap keberagamaan warga anggota Muhammadiyah.
Pandangan dasar keagamaan seperti itu memang bisa diterima kalangan menengah terdidik, tetapi mungkin tidak bagi masyarakat bawah. Terhadap kelompok masyarakat kecil itu, Muhammadiyah mengalami kesulitan karena minimnya media serta bahasa dakwah yang bisa sampai kepada mereka.
Meskipun, benar sebagian besar di antara mereka telah memanfaatkan amal usaha sosial Muhammadiyah dan merasakan hangatnya interaksi dengan orang Muhammadiyah melalui kebaikan pelayanannya. Namun, kata mereka, ’’sayang, orang yang baik seperti itu kok Muhammadiyah.’’
Achmad Jainuri ;
Guru besar Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel;
Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jawa Timur
MINGGU, 5 Juni yang baru lalu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin mengundang sekitar empat ratus intelektual Muhammadiyah berkumpul dalam acara ’’Silaturahmi Intelektual Muhammadiyah’’ di Hotel Sahid, Jakarta. Sebagian besar di antara mereka adalah warga Muhammadiyah ’’kultural’’ dengan berbagai maknanya, yang berada secara diaspora di luar struktur organisasi Muhammadiyah.
Mereka berasal dari pejabat tinggi negara, pengusaha, ilmuwan dari perguruan tinggi, pemerhati, dan politikus. Tujuannya adalah meng himpun masukan bagi muktamar Muhammadiyah yang digelar di Makassar pada 3–7 Agustus mendatang.
Kegiatan itu merupakan rangkaian seminar pramuktamar yang telah dilaksanakan di berbagai perguruan tinggi Muhammadiyah di Malang, Jogjakarta, Jakarta, Medan, Makassar, Surabaya, dan Tangerang. Berbagai ungkapan yang disampaikan 20 perwakilan peserta yang duduk di panggung depan memberikan testimoni pengalaman diri masingmasing, kritik, saran, dan harapan terhadap Muhammadiyah.
Secara ideologis, mereka bisa dikelompokkan sebagai Muhammadiyah kultural, Muhammadiyah akomodatif, Muhammadiyah apresiatif, dan Muhammadiyah sosial. Yang pertama adalah mereka yang dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan keluarga Muhammadiyah, yang pandangan dan perilaku kesehariannya didasarkan pada nilai serta etika yang ditanamkan Muhammadiyah. Mereka yang termasuk dalam kelompok itu adalah Badrodin Haiti, Irman Gusman, Dewi Fortuna Anwar, Zulkifli Hasan, Hajriyanto Thohari, Komaruddin Hidayat, Andrianof Chaniago, dan Siti Nurbaya.
Kedua, mereka yang lahir dari keluarga Muhammadiyah, tetapi juga terbiasa melakukan ritus sosial sebagaimana yang dilakukan kaum nahdliyin karena faktor lingkungan. Yang termasuk dalam kelompok itu adalah Salim Said. Ketiga, mereka yang lahir dari keluarga Muhammadiyah dan mengenyam pendidikan Muhammadiyah. Dalam hidup berkeluarga sekarang, kelompok tersebut berbeda secara ideologis dengan pasangan hidup mereka. Istri Muhammadiyah, suami nahdliyin; suami Muhammadiyah, istri nahdliyin. Namun, keduanya saling memahami pilihan masing-masing. Bahkan dalam banyak hal, mereka saling memberi dan mengambil pelajaran dari pasangannya. Hal itu, antara lain, dialami Siti Zuhro, pemerhati dan peneliti LIPI, yang mencontohkan wirid maksimalis yang dilakukan suaminya setelah salat rawatib.
Keempat, mereka yang dilahirkan dan dibesarkan dari keluarga bukan Muhammadiyah, namun lingkungan sosialnya orang-orang Muhammadiyah. Karena seharihari selalu bergaul dengan orang Muhammadiyah, mereka terbiasa berpandangan dan beribadah ala Muhammadiyah. Mereka itu berkeinginan kuat untuk diakui sebagai warga Muhammadiyah. Yang termasuk kelompok itu adalah Jimly Asshiddiqie. Secara kelakar, berkali-kali dia meminta diakui sebagai anggota Muhammadiyah, tetapi tidak ada respons pasti dari Muhammadiyah.
Secara ideologis, kelompok itu juga bisa dikatakan sebagai Muhammadiyah konversi. Jimly sendiri, sebagaimana yang dikatakannya, akan mendirikan ranting Muhammadiyah di tempat tinggalnya sekarang bersama dengan Din Syamsuddin apabila yang disebut terakhir itu selesai mengemban amanah kepemimpinan Muhammadiyah Agustus mendatang.
Pengalaman mereka semua selama berada di luar struktur organisasi Muhammadiyah diungkapkan dalam kritik serta harapan terhadap Muhammadiyah. Jenderal Badrodin Haiti, yang tugas kesehariannya berkaitan dengan keamanan masyarakat, mengkritisi kecenderungan radikalisme sebagian kalangan muslim sementara ini yang dikaitkan dengan Muhammadiyah. Setidaknya, kaum radikalis itu memiliki kesamaan ideologis, walaupun mereka beraktivitas di luar organisasi Muhammadiyah.
Kritik Pak Jenderal tersebut bukannya tidak disadari pimpinan Muhammadiyah. Memang, indikasi tindakan radikal itu tidak ditemukan pada anggota pimpinan struktural organisasi Muhammadiyah. Namun, dalam beberapa kasus, sebagian pelaku teridentifikasi berasal dari keluarga Muhammadiyah. Amrozi adalah salah satu contohnya.
Kritik yang tidak kalah penting juga ditujukan terhadap program Muhammadiyah melalui amal usaha pendidikan dan rumah sakit, yang tampak hanya bisa dimanfaatkan kalangan kelas menengah. Dalam kaitan itu, Muhammadiyah dinilai belum bisa memberikan layanan sosial bagi masyarakat bawah.
Lembaga pendidikan dan rumah sakit yang dimiliki organisasi seakan berlomba menjadi sekolah dan pusat pengobatan elite dengan biaya yang tidak terjangkau rakyat kecil. Terhadap lembaga perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM) yang jumlahnya sekitar 196 di seluruh Indonesia, kritik disampaikan karena belum satu pun PTM, termasuk 8 PTM besar, yang kualitasnya bisa disejajarkan dengan lembaga pendidikan tinggi dunia, dilihat dari lulusan serta hasil kajian ilmiah.
Sederet amal usaha seperti yang sudah berlangsung selama ini memang tidak harus diganti dengan yang baru, tetapi lebih pada pemberian makna bagi semua lapisan masyarakat tanpa menghilangkan lembaga sosial yang ada. Demikian pula, pemahaman agama yang berorientasi pada filsafat keterbukaan, toleran, dan pluralis yang telah lama dilakukan Muhammadiyah tetap menjadi acuan sikap keberagamaan warga anggota Muhammadiyah.
Pandangan dasar keagamaan seperti itu memang bisa diterima kalangan menengah terdidik, tetapi mungkin tidak bagi masyarakat bawah. Terhadap kelompok masyarakat kecil itu, Muhammadiyah mengalami kesulitan karena minimnya media serta bahasa dakwah yang bisa sampai kepada mereka.
Meskipun, benar sebagian besar di antara mereka telah memanfaatkan amal usaha sosial Muhammadiyah dan merasakan hangatnya interaksi dengan orang Muhammadiyah melalui kebaikan pelayanannya. Namun, kata mereka, ’’sayang, orang yang baik seperti itu kok Muhammadiyah.’’
Islam Tengahan: Nusantara atau Berkemajuan?
Solo Pos, Kamis, 9 Juli 2015 10:00 WIB
Oleh Azaki Khoirudin
Wacana Islam Nusantara dan Islam
Berkemajuan semakin menarik untuk diperbincangkan di republik ini. Dimana
akhir-akhir ini, 'Islam Nusantara', menjadi
istilah khas NU, sedangkan ‘Islam Berkemajuan’ menjadi idiom khas
Muhammadiyah. Kedua wacana ini muncul saat kedua ormas besar Islam ini akan menggelar
hajatan Muktamar. Gagasan Islam Nusantara menemukan momentumnya saat PBNU tema
Muktamar ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur, pada 1-5 Agustus 2015. Tema itu
persisnya berbunyi “Meneguhkan Islam Nusantara sebagai Peradaban Indonesia dan
Dunia”. Sementara, gaung “Islam Berkemajuan juga menemukan relevansinya dengan
Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makasar, Sulawesi Selatan, 3-8 Agustus
2015.
Muhammadiyah mengusung tema, “Gerakan Pencerahan menuju Indonesia Berkemajuan”. Kedua tema ini menarik untuk
ditelaah dan diperbandingkan kekhasannya masing-masing, terutama relevansinya
dengan kondisi Islam Indonesia, bahkan dunia.
Islam Nusantara ala NU
Islam Nusantara adalah Islam yang ramah,
terbuka, dan inklusif. Dikatakan pula sebagai mampu memberi solusi terhadap
masalah-masalah besar bangsa dan negara. Islam yang dinamis dan bersahabat
dengan lingkungan kultur, sub-kultur, dan agama yang multi. Islam bukan hanya
cocok diterima bumi Nusantara, tetapi juga mewarnai bersifat akomodatif
terhadap budaya Nusantara, yakni rahmatan lil ‘alamin. Abdul Mun’im DZ
(2010) menandaskan, Islam Nusantara adalah paham keislaman yang berdialog dan
menyatu dengan kebudayaan Nusantara, melalui proses seleksi, akulturasi dan
adaptasi.
Sebenarnya istilah 'Islam Nusantara' pada
dasarnya tidaklah baru. Menurut Azyumardi Azra (2015) istilah ini mengacu pada
Islam di gugusan kepulauan atau benua maritim (nusantara) yang mencakup tidak
hanya kawasan Indonesia, tetapi juga wilayah Muslim Malaysia, Thailand Selatan
(Patani), Singapura, Filipina Selatan (Moro), dan juga Champa (Kampuchea). Bagi
Azra, “Islam Nusantara adalah Islam distingtif sebagai hasil interaksi,
kontekstualisasi, indigenisasi dan vernakularisasi Islam universal dengan
realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia. Ortodoksi Islam Nusantara
(kalam Asy'ari, fikih mazhab Syafi'i, dan tasawuf Ghazali) menumbuhkan karakter
wasathiyah yang moderat dan toleran. Islam Nusantara yang kaya dengan
warisan Islam (Islamic legacy) menjadi harapan renaisans
peradaban Islam global”
Islam nusantara bukan Islam lokal. Ahmad Baso,
(2015) menegaskan Islam nusantara sebagai cara bermadzhab secara qauli
dan manhaji dalam ber-istimbath tentang Islam dari dalil-dalilnya yang
disesuaikan dengan teritorial, kondisi alam, dan cara pengamalannya penduduk
kita. Islam nusantara itu sejajar dengan kajian Islam India, Islam Turki, Islam
Yaman dan sebagainya. Jika Islam Nusantara merupakan proses berkelanjutan, maka
bentuk paradigma dan etika Islam yang selalu senada dengan gerak sejarah.
Islam Berkemajuan ala Muhammadiyah
Islam Berkemajuan Muhammadiyah telah dibawa sejak Kyai Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah.
Gerakan mengembalikan umat pada sumber ajaran Al - Quran dan Sunnah Nabi
yang otentik. Sebagaimana risalah Nabi Muhammad yang
membawa pencerahan dari bangsa Arab yang jahiliyah menjadi bangsa yang
tercerahkan sehingga lahir Al-Madinah Al-Munawwarah, sebagai kota
peradaban yang cerah dan mencerahkan titik peradaban "al-munawwarah"
tatkala dunia Barat kala itu masih teridur lelap di era kegelapan. Gerakan pencerahan (tanwir) merupakan praksis
Islam yang berkemajuan untuk membebaskan, memberdayakan, dan memajukan
kehidupan.
Muhammadiyah bukan gerakan yang mendewakan
masa lampau, bahkan konsep masa
lalu sebagai konsep ideal (romantisisme), misalnya Khilafah Islamiyah
(Negara Islam). Akan tetapi,
cita-cita ideal Muhammadiyah adalah “Masyarakat Islam Yang Sebenar-Benarnya”.
Untuk itu Islam berkemajuan membawa spirit “Teologi Berkemajuan”. Karena
hakekat Islam adalah agama kemajuan (dinul hadlarah). Dimana “Teologi
Berkemajuan” Muhammadiyah selalu
berorientasi ke masa depan. Meminjam
istilah Din Syamsuddin (2015), bahwa berkemajuan menyiratkan adanya
keberlangsungan, dan bahkan perkembangan, sebagai usaha yang terus-menerus
untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang bermakna (sustainable
development with meaning).
Paling tidak, dalam melakukan
transformasi Islam
berkemajuan di abad kedua,
Muhammadiyah harus melakukan
berbagai hal berikut: pertama, menyekolahkan generasi mudanya ke berbagai
negara maju dan berkemajuan. Kedua, pemberdayaan ekonomi. Tanpa gerakan
ekonomi yang kuat, Muhammadiyah tak akan mampu menjalankan gerakan al-Ma’un.
Pendidikan Muhammadiyah harus inklusif yang mampu menampung kaum lemah, tak
hanya orang-orang kaya yang mampu sekolah di Muhammadiyah. Ketiga,
kekuatan Muhammadiyah sebagai masyarakat sipil sangat penting bagi pembangunan
kemandirian masyarakat.
Islam Tengahan
Dikotomi antara “Islam Tradisionalis” dan
“Islam Modernis”, jika menilik wacana Islam Nusantara NU vs Islam Berkemajuan Muhammadiyah
semakin melemah. NU tradisional dan
Muhammadiyah modern adalah pandangan yang sudah umum. Tradisional karena dalam
praktek keagamaan NU banyak praktek ritual yang campur-aduk dengan
budaya-budaya yang Nusantara. Sebaliknya, Muhammadiyah terkenal modern karena
golongan ini mencoba membawa Islam agar sesuai dengan tuntutan dan keadaan
zaman..
Kenyataan membuktikan bahwa untuk konteks
sekarang ternyata NU semakin tradisionalis, terutama dalam hal merawat tadisi
dan budaya. Memang di NU sudah banya lompatan, misalnya dengan muncul istilah
”pemaknaan ulang ahlus Sunnah Waljamaah” dan ”pemaknaan ulang konsep
bermazdhab”. Akan tetapi, kemunculan Islam
Nusantara Islam khas ala Indonesia, serta integrasi nilai Islam teologis dengan
nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat di Tanah Air menjadi
paradok. Islam Tradisionalis itulah dengan Islam Nusantara.
Kedua arus Islam ini, baik “Nusantara” ataupun
“Berkemajuan” harus bersama-sama menjadi kekuatan Islam moderat (tengahan) di
Indonesia. Pertama, melihat wajah Islam di dunia saat ini, Islam Nusantara yang
mengedepankan jalan tengah dengan tawasut (moderat), tidak ekstrim, inklusif,
toleran dan damai, serta menerima demokrasi. Islam Nusantara jika ingin menjadi
alternatif peradaban dunia Islam tidak cukup hanya mengembangkan tradisi lokal.
Akan tetapi, Islam yang damai itu tidak cukup, karena Islam adalah agama
peradaban, maka selain ramah, santun, dan toleran, Islam juga harus berkemajuan
dan berkeunggulan di segala bidang kehidupan seperti ekonomi, politik, dan
budaya di level lokal dan global.
Berbeda dengan
kedua, Islam berkemajuan yang bersifat cosmopolitan. Muhammadiyah juga
dapat menjadi teologi tengahan dengan karakteristik sebagai berikut: pertama, Muhammadiyah
mengakui kebinnekaan (diversity), menjadi masyarakat madani (civil
society), memiliki Perguruan Tinggi Islam, dan menjunjung tinggi konstitusi
yang ada. Dalam konteks tersebut, tolak ukur atau indikatornya paling tidak
Muhammadiyah harus fokus dan menjadikan isu-isu berikut sebagai agenda besar,
seperti: pendidikan yang selalu mengembangkan paradigma baru; penghormatan
kepada hak asasi manusia (al-karomah al-insaniyah) dengan bertumpu pada
maqasid syari’ah, bukan sekedar hukum syariah; membangun relasi harmonis antar
umat beragama; dan gender serta anak-anak.
Baik NU maupun
Muhammadiyah harus bersama-sama memnghadirkan Islam sebagai yang ber sikap
tengahan (wasithiyah). NU dan Muhammadiyah diharapkan bersatu
mengamalkan nilai-nilai Islam yang ramah dan berporos pada jalan tengah atau
aqidah washatiyah. Saling menghargai sebagai Islam rahmatan lil
alamin untuk kesejahteraan seluruh alam semesta.
AZAKI KHOIRUDIN
Koord. JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) Solo
Alumni Pondok Hajjah Nuriyyah Shabran UMS
Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah
http://www.solopos.com/2015/07/09/gagasan-islam-nusantara-dan-islam-berkemajuan-622052