Dedicated to boosting research and scholarship on the Muhammadiyah and strengthening this movement
Friday, July 29, 2011
Lakum dīnukum wa-liya dīnī: the Muhammadiyah's stance towards interfaith relations
Abstract
The Muhammadiyah claims, and has been considered by many, to be one of the champions of moderate Islam. However, the movement's position in relation to religious pluralism has not yet been clarified. This article examines the Muhammadiyah's stance towards interfaith relations by looking closely at three events after the 1998 ‘Reformation’ in Indonesia: the publication of Tafsir tematik al-Qur'an tentang hubungan sosial antarumat beragama (Thematic exegesis of the Qur'an on interfaith relations), Din Syamsuddin's offer to Christians of the use of the Muhammadiyah's buildings for their Christmas services, and the publication of Kristen Muhammadiyah (Christian Muhammadiyah). This article argues that, contrary to the common perception, the guiding principle of the Muhammadiyah's approach to interfaith relations is not fa-istabiqū al-khayrāt (compete with one another in good works), but lakum dīnukum wa-liya dīnī (unto you your religion, and unto me my religion). As a consequence of this principle, the Muhammadiyah's theological approach to religious others is different from their sociological approach. Although several efforts have been made to develop the Muhammadiyah into a pluralist movement, this organization might more appropriately be considered an inclusivist movement.
Keywords: interfaith, pluralism, inclusivism, Christian Muhammadiyah, Christmas, lakum dīnukum wa-liya dīnī , fa-istabiqū al-khayrāt
Available at: http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/09596410.2011.586512
Wednesday, July 13, 2011
The Thinker: Islam in Office
If poverty levels and the state of service delivery are any indication, there is room for improvement. More than 100 million people live on less than $2 a day. Twenty-five percent of children under five are malnourished, only 48 percent of the rural poor have access to clean water and only 55 percent of poor children complete junior high school.
One explanation for this poor performance is low capacity. Indeed, 70 percent of lawmakers elected in 2009 had never before served in the legislature. Celebrities, former officials’ wives and shop owners were all in the mix. But low capacity is not the primary cause of poor governance, and therefore pure technical assistance is not the most effective solution.
As any policy maker knows, law and policy making are political processes influenced by many competing interests. Recently, political scientists and development theorists have argued that to deliver truly effective governance it is not enough to reform institutions, or to provide officials with technical assistance, but that political elites must be engaged and mobilized. This call for “politics” to be brought back into development looks at the problem of vested interests and argues that unless reformers have powerful political leverage, government policy and spending will often undermine the interests of the majority, especially the poor.
Scholarly work on two large mass-based organizations, Nahdlatul Ulama and Muhammadiyah (with a shared membership of 70 million people) has often not addressed the groups’ engagement in governance reform. During the reformasi period, these Muslim groups used their influence to encourage democratic reform. More recently, they have worked toward encouraging governance reform. Soon after Suharto’s fall, both groups joined efforts to promote democratic education, influence legislation related to religious freedom and ensure free and fair elections.
As democratic values have become increasingly integrated within political culture, NU and Muhammadiyah activists have turned their attention to more technical issues of governance reform, especially anticorruption efforts and pro-poor budget advocacy at the district level. The Asia Foundation has supported these efforts, on the premise that their political clout is necessary in order to counter vested interests at the local government level. Preliminary evidence indicates this is an effective strategy. For example, when a district head in the country’s east was resistant to civil society efforts to allocate line items toward health and education, NU, Nahdlatul Wathon and Muhammadiyah leaders convened 5,000 people for an istigosah (religious rally), after which the district head promised to increase the health and education budgets.
This activity on the part of NU and Muhammadiyah is not only relevant to service-delivery and technical governance reform, but also provides insights into their changing political role. There is a perception expressed within both organizations that they are facing an identity crisis as the country modernizes and integrates increasingly into the global economy and community. After the 2009 elections, many analysts argued that NU and Muhammadiyah were no longer the political brokers they had been for the past seven decades. Both groups publicly endorsed former Vice President Jusuf Kalla, who garnered less than 12 percent of the vote.
If the primary influence of NU and Muhammadiyah remains at the local level, presumably this dynamic contributes to the further decentralization of power. Scholars have argued that while vertical accountability has improved with direct local elections in the post-reformasi era, horizontal accountability remains very weak — this indicates room for a reformist role for these organizations. Furthermore, if engaging political elites is an effective approach, decentralized power could be an opportunity for civil society organizations within NU and Muhammadiyah to effect reform and improve governance.
These groups have played an important role in democratic reform. The indications are that they will continue to play an equally important role in governance reform.
East Asia Forum
Robin Bush is the Asia Foundation’s representative for Indonesia.
http://www.thejakartaglobe.com/columns/the-thinker-islam-in-office/450483 (Accessed 7/13/2011)
Tuesday, July 12, 2011
Muhammadiyah dan Semangat Independensi
Oleh: Dr KH A Hasyim Muzadi |
Kita ucapkan selamat dan sukses atas terselenggaranya muktamar ke-46 dan sekaligus perayaan Satu Abad Muhammadiyah. Muhammadiyah merupakan saudara tua NU, ini tidak saja dilihat dari tahun berdirinya kedua ormas Islam ini. Sebab, pendiri Muhammadiyah dan NU,KH Achmad Dahlan dan Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari,pernah satu madrasah dan satu pesantren ketika mencari ilmu di Arab Saudi. Hanya setelah pulang ke Tanah Air, bidang pengabdiannya saja yang berbeda, Kiai Dahlan berkiprah di wilayah perkotaan, sedangkan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari di perdesaan. Muhammadiyah mempunyai ribuan sekolah mulai dari TK hingga perguruan tinggi, rumah sakit dan panti asuhan yatim piatu. NU mempunyai ribuan madrasah dan pesantren. Secara sosiologis Muhammadiyah lebih bercorak modernis, sedangkan NU kental sebagai gerakan tradisional walau kategori semacam ini masih diperdebatkan. Namun, yang jelas, kontribusi Muhammadiyah terhadap bangsa dan negara ini luar biasa besar.Kalau kita mau jujur melihat dari banyaknya jumlah amal usaha yang didedikasikan Muhammadiyah dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial,hal itu justru sudah berlangsung jauh sebelum Indonesia merdeka. Semangat Independensi Dedikasi dan pengabdian Muhammadiyah terhadap bangsa dan negara ini yang tak pernah berhenti bisa berjalan terus hingga kini karena selama ini Muhammadiyah selalu bisa dan mampu mempertahankan semangat independensinya. Muhammadiyah tak pernah tergantung pada kekuatan politik kekuasaan apa pun dan siapa pun selama ini. Ribuan sekolah, rumah sakit dan lembaga sosial tersebar di seluruh Tanah Air didasarkan pada kemampuan sendiri. Karena itulah, kita akan mendukung terus semangat independensi ini. Dalam diskusi yang digelar PP Muhammadiyah 25 Juni 2010, kami juga menekankan agar Muhammadiyah terus menjaga independensi nya terutama dalam penyelenggaraan muktamar yang akan berlangsung di Yogyakarta tanggal 3–8 Juli 2010.Namun,kami tidak ingin mengatakan Muktamar NU Ke-32 di Makassar yang berlangsung pada akhir Maret lalu ada intervensi atau tidak. Agar tidak subjektif dan spekulatif, sebaiknya umat langsung yang mengadakan penilaian. Baik umat warga Nahdliyin maupun yang lain karena ini masalah perjuangan. Insya Allah satu dua bulan mendatang umat sudah bisa menilai. Justru kami sangat menghormati keteguhan Muhammadiyah dalam berjuang melawan intervensi. Karena ini menyangkut kehormatan dan jati diri organisasi. Apa pasal? Karena setiap intervensi akan berakibat buruk pada perjuangan karena: pertama,melahirkan pemimpin yang tak tahu arah karena akan diarahkan. Kedua, hilangnya kemandirian padahal kemandirian merupakan syarat mutlak (conditio sine quanon) untuk terselenggaranya amar ma’ruf nahi munkar. Organisasi agama didirikan untuk mencegah yang mungkar dan menyokong yang makruf oleh karenanya tidak bisa ditempatkan pada posisi oposisi kepada pemerintah dan tidak pula bagian dari pemerintah. Loyalitas mutlak sebuah organisasi agama/civil society adalah kepada negara sedangkan kepada penyelenggara negara bersifat partisipatif-kritis. Inilah dilema antara organisasi sosial keagamaan dengan kekuasaan. Ketiga, Intervensi dapat menggeser ideologi ( aqidah syari’ah) menjadi ideologi pelangi yang pasti melemahkan keimanan serta menggeser toleransi antar agama menjadi pluralisme teologis. Keempat, Intervensi menciptakan polarisasi konflik intern organisasi sehingga lemah dan melelahkan. Biasanya, intervensi dilakukan melalui power sharing, finance, black maildan devide et impera.Dan tata laksananya melalui teknis dan deregulasi aturan organisasi.Pada zaman Orde Baru, cukup banyak intervensi kekuasaan ke partai dan ormas.Pemimpin yang tampil melalui kendaraan intervensi biasanya hanya sesaat menikmati dan selanjutnya diabaikan kalau kebutuhan sudah selesai dan sulit kembali dipercaya masyarakat. Hemat kami, bukan hanya Muhammadiyah yang harus melawan intervensi, tapi semua kelompok independen harus membantu Muhammadiyah dalam hal ini untuk tegaknya amar ma’ruf nahi munkar. Di NU sendiri (zaman Orde Baru) pernah beberapa kali mengalami intervensi, misalnya zaman perbedaan pandangan antara KH Idham Khalid dengan Subhan ZE, pada Muktamar 27 Situbondo tahun 1984, Muktamar NU 1994 di Cipasung Jabar. Adapun di zaman “orde paling baru” seperti sekarang ini, “Bagaimana kita lihat saja?” Kalau kita berhitung terhadap “manfaat”intervensi paling-paling satu-dua orang dapat jabatan atau fasilitas yang menetesnya terhadap umat sangat relatif atau mungkin disanjung-sanjung.Namun, akibat buruknya merusak organisasi, prinsip perjuangan, umat dan agama. Pihak yang melakukan intervensi tentu tidak mengaku, karena kalau mengaku namanya bukanintervensi,tapi “silaturahmi”. Intervensi adalah sesuatu yang tidak dikehendaki karena kalau dikehendaki namanya kolaborasi sehingga yang terpenting adalah kesatuan/ persatuan intern. Kolaborasi Perlunya melawan intervensi dan menjaga independensi masing-masing ormas ini untuk menjaga keseimbangan antara kekuatan negara dengan kelompok civil society dalam konteks pembangunan bangsa dan negara ke depan. Memang dalam konteks demokratisasi, yang berperan secara langsung untuk mengisi dan mewarnai kekuatan struktur kekuasaan adalah partai politik. Kita memang percaya kaderkader parpol mempunyai visi dan misi yang sama untuk membangun bangsa dan negara ini agar lebih baik ke depan.Tetapi dalam perjalanan, kita juga melihat fakta di lapangan, ternyata parpol juga berkompromi dengan “mafiamafia” dengan alasan pragmatisme: pemilu hight cost atau mahalnya biaya demokrasi. Jika itu hanya terkait masalah dana mungkin tidak begitu merisaukan, tetapi kalau “mafia-mafia”itu sendiri masuk dalam struktur kekuasaan, menjadi anggota parlemen misalnya. Kelompok mana lagi yang sanggup mengontrolnya? Di sinilah sebenarnya pangkal persoalannya. Ormas-ormas terutama Muhammadiyah dan NU harus menjaga independensinya. Muhammadiyah dan NU harus berkolaborasi untuk amar ma’ruf nahi munkar. Kita akan mendukung semua proyek amar ma’ruf di negeri ini, tetapi mari kita bersama- sama juga harus melawan dan mencegah segala kemungkaran yang digerakkan secara sistemik oleh mafia-mafia kejahatan di republik ini. Karena sistemik, memang sulit membedakan antara untuk tujuan kejahatan atau kemaslahatan. Karena itu,kelompok independen harus mempunyai kecanggihan juga melihat dan memetakan kekuatan-kekuatan jahat ini. Dengan kata lain, hanya kelompok dan pemimpin yang independen yang sanggup memperjuangkan visi-misi amar ma’ruf nahi munkar ini. Wallhu a’lam bishshawab.(*) URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/335785/
|
Dr KH A Hasyim Muzadi Sekjen International Conference of Islamic |
Keterangan Artikel Sumber: Koran Sindo Tanggal: 05 Jul 10 Catatan: - |
URL Artikel : http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=11908&coid=1&caid=34 |
Sunday, July 10, 2011
Fatwa rokok & dilema negara
Oleh: Fajar Kurnianto |
Masalah rokok masih terus menimbulkan kontroversi. PP Muhammadiyah baru-baru ini mengeluarkan fatwa haram rokok, meski baru di tingkat majelis tarjih. Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun lalu mengeluarkan fatwa serupa untuk wanita hamil, anak-anak, dan anggota MUI sendiri. Di lingkaran PB Nahdlatul Ulama (NU), fatwa rokok sebatas makruh, tidak haram. Bagaimana sesungguhnya relasi fatwa dan hukum negara (undang-undang)? Sebuah fatwa tidak lahir di ruang kosong. Fatwa hadir untuk merespons pengaduan dan masukan dari masyarakat. Fatwa sebenarnya sifatnya tidak jauh beda dengan opini. Namun, fatwa adalah opini dari seseorang yang dianggap tokoh agama paling berpengaruh dan kompeten mengenai hukum agama, Selain itu tokoh tadi dianggap punya otoritas kuat karena kemampuan yang dimiliki untuk menanggapi aduan masyarakat sebagai pegangan nantinya. Karena sifatnya yang sama dengan opini, maka fatwa itu sifatnya personal/individual. Oleh karena sifatnya personal, fatwa berbeda dengan hukum negara--meskipun fatwa juga memiliki daya pengaruh seperti hukum negara. Jika fatwa sudut pandangnya kajian agama atau teks-teks agama, hukum negara sudut pandangnya adalah kompilasi pertimbangan dari berbagai aspek seperti sosiologis, psikologis, politis, geografis, budaya dan agama. Oleh karena itu, ruang lingkup fatwa tidak seluas ruang lingkup hukum negara. Fatwa lebih tertuju pada orang-orang yang punya ikatan keagamaan tertentu dengan sang pemberi fatwa. Saling menopang Meski begitu, daya dorong fatwa terkadang melebihi daya dorong hukum negara--meskipun fatwa tidak tertulis seperti hukum negara. Ini biasanya terjadi di negara-negara teokrasi, atau negara yang masyarakat religiusnya cukup fanatik dengan tokoh sentral agama. Di Indonesia-dengan kultur masyarakat religius dan tingkat fanatisme pada tokoh agama cukup tinggi-fatwa dan hukum negara tidak bersaing secara dominatif. Justru, keduanya berperan saling menopang. Terkadang malah fatwa mengisi hukum negara yang tak menyentuh, atau, menyentuh tapi terkesan ragu-ragu dan tidak tegas. Sebagai sesuatu yang sifatnya sama dengan opini, fatwa bisa menjadi kritik. Kritik terhadap hukum negara yang tidak tegas. Atau hukum negara yang di atas kertas begitu tegas, tetapi dalam pelaksanaannya memble. Bisa juga ada begitu banyak kepentingan politik, ekonomi, kultur, budaya, dan seterusnya, yang bermain bahkan dominatif dan status quo. Sebagai opini, fatwa juga tak kebal tanggapan dan kritik. Fatwa sendiri punya landasan argumen yang tentu saja masih dapat diperdebatkan. Fatwa bukan sesuatu yang sakral, tetapi menjadi diskursus ruang publik yang bisa diakses semua orang. Dalam konteks Indonesia, beberapa ormas keagamaan (baca: Islam) memiliki bagian-bagian pengeluar fatwa, seperti NU dan Muhammadiyah. Negara juga punya institusi pengeluar fatwa agama bernama MUI. Ada MUI pusat, wilayah, dan cabang yang menyebar di daerah-daerah. Semua lembaga-baik ormas maupun lembaga di bawah negara-berhak dan memang mengemban tugas untuk memberi fatwa. Namun, fatwa itu, jika dikaitkan dengan negara, statusnya sama dengan rekomendasi. Rekomendasi bisa ditolak dan bisa diterima sampai menjadi hukum negara. Karena rekomendatif, masyarakat tidak perlu euforia atau berdebar-debar takut-ketika sebuah fatwa belum benar-benar menjadi hukum negara. Jika kita mencermati fatwa MUI, NU, dan Muhammadiyah, sebenarnya muaranya sama yakni berupaya mengerem makin meluasnya rokok dikonsumsi orang. Fatwa makruh, bahkan haram, secara psikologis diharapkan bisa mengerem peluasan konsumsi rokok. Fatwa seperti ini jauh lebih baik daripada fatwa boleh atau bahkan halal. Sederhananya, rokok difatwa haram saja masih banyak yang merokok. Apalagi dibolehkan atau bahkan dihalalkan. Tidak terbayangkan jika fatwa yang keluar soal rokok adalah halal. Sayangnya, Muhammadiyah sepertinya terlalu terburu-buru mengeluarkan fatwa haram rokok tanpa melihat dampak dari fatwa tadi. Jika rokok haram, maka aktivitas terkait dengan rokok juga haram seperti menjual, membeli, mengantarkan, hingga mengumpulkan bahan-bahan untuk produksi, termasuk pengadaan tembakau dan cengkih. MUI dan NU agak lebih moderat. MUI hanya mengharamkan rokok untuk tiga jenis orang, sedangkah NU hanya fatwa makruh. Fatwa MUI dan NU bisa jadi sejalan dengan yang diinginkan pemerintah. Dilematis Paling tidak, pesan pemerintah agar MUI mengeluarkan fatwa rokok tidak membuat kebeberadaan perusahaan-perusahaan rokok menjadi goyang, sehingga memengaruhi perekonomian negara. Mengingat sudah menjadi rahasia umum bahwa pemasukan devisa negara dari pajak dalam negeri perusahaan rokok cukup besar, bahkan sangat besar. Sponsor event dan siaran langsung olahraga seperti sepak bola, tinju, bulu tangkis, bola voli, dan seterusnya, juga banyak dari perusahaan rokok. Di atas semua itu, masalah substansial yang sesungguhnya dari kontroversi fatwa rokok, terletak pada fatwa yang sifatnya tidak mengikat, sehingga dianggap angin lalu atau badai sesaat yang kemudian hilang. Di sisi lain, negara masih riskan untuk membuat hukum negara yang total melarang rokok, yang itu artinya pengharaman atas adanya perusahaan-perusahaan rokok. Pemerintah hanya bisa memberi peringatan di bungkus-bungkus rokok. Peringatan sumbang dari pemerintah tadi sering kali tidak pernah dibaca secara baik-baik oleh perokok. Peringatan itu sendiri menjadi gambaran nyata dilematisnya negara menyikapi rokok. URL Source: http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL
|
OLEH FAJAR KURNIANTO |
Keterangan Artikel Sumber: Bisnis Indonesia Tanggal: 24 Mar 10 Catatan: - |
URL Artikel : http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=11757&coid=1&caid=34 |
Thursday, July 7, 2011
Islam dan Jeratan Kemiskinan
URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0703/16/opini/3387315.htm
Zuly Qodir Pengajar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Wednesday, July 6, 2011
Tengoklah Sejarah Ahmadiyah
Terdapat beberapa keganjilan dalam menyikapi Ahmadiyah. Berbagai pertanyaan timbul. Pertama, ajaran ini sudah masuk ke Tanah Air sejak 1920-an dan selama hampir seabad tidak mengalami konflik kekerasan dengan kelompok lain.
Mengapa sekarang kelompok ini diserang dan dibunuhi? Mengapa pada zaman penjajahan, aliran ini mendapat dukungan dari Pemerintah Belanda. Apa sebab pada era pemerintahan Soekarno dan Soeharto boleh dikatakan tidak ada penyerangan fisik terhadap penganut Ahmadiyah? Reaksi yang cukup keras agar aliran menyatakan diri bukan agama Islam muncul dari beberapa tokoh seperti Hasyim Muzadi dan Slamet Effendi Jusuf. Ali Maschan Musa dari PKB tampil di sebuah saluran televisi swasta bersama seorang mantan dai Ahmadiyah yang pernah mengembangkan ajaran itu selama 10 tahun namun kemudian menyatakan keluar dari kelompok tersebut. Mengapa terkesan bahwa belakangan ini reaksi keras justru muncul dari kalangan NU, bukan dari Muhammadiyah?
Kalau dilihat proses kedatangan Ahmadiyah ini ke Indonesia, memang kelompok ini bersinggungan langsung dengan Muhammadiyah, bukan dengan NU. Utusan Ahmadiyah Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad menghadiri Kongres Muhammadiyah Ke-13 di Yogyakarta Maret 1924. Mereka diberi kesempatan berbicara dalam pertemuan tersebut dan mengatakan bahwa Messias atau Al Masih yang disebut-sebut akan datang ke bumi sepeninggal Nabi Muhammad tak lain dari Mirza Ghulam Ahmad.Pemikiran ini gampang dicerna karena konsep Ratu Adil kita ketahui juga berkembang di kalangan masyarakat Jawa. Oleh Ahmadiyah aliran Lahore, Mirza Ghulam Ahmad dianggap mujjadid (pembaharu),sedangkan aliran Qadiyan memosisikannya sebagai nabi. Sebab itu, secara historis di kalangan umat Islam terdapat perbedaan sikap terhadap dua aliran Ahmadiyah tersebut.
Tampaknya dalam wacana anti-Ahmadiyah akhir-akhir ini tidak dibedakan lagi antara kelompok Lahore dan Qadiyan tersebut. Sumber lain di internet menyebutkan bahwa Ahmadiyah dikembangkan sejak 1926 di Padang oleh beberapa pemuda Sumatera Thawalib yang sebelumnya merantau ke India. Jadi menurut versi ini, ajaran tersebut mulai berkembang dari Sumatera. Perbedaan ini apakah menyangkut aliran yang mereka kembangkan, di Padang aliran Qadiyan sedangkan di Yogyakarta aliran Lahore? Mengapa Ahmadiyah didukung oleh penjajah Belanda? Pertama, ini kaitan dengan pandangan mereka yang khas tentang jihad.Bagi penganut Ahmadiyah, jihad bersenjata memerangi musuh (orang kafir) tidaklah wajib kecuali untuk mempertahankan diri.Kedua,kalangan Ahmadiyah bersifat loyal kepada pemerintah yang berkuasa.
Ini pulalah yang menyebabkan hubungan yang semula erat antara Ahmadiyah dan HOS Tjokroaminoto menjadi renggang karena Syarikat Islam bersikap keras terhadap Pemerintah Belanda. Walaupun secara kelembagaan Ahmadiyah pada masa awal tidak bersinggungan dengan NU, secara garis keturunan,para perintis organisasi ini memiliki hubungan darah. Pendiri Ahmadiyah pada 1928 adalah tokoh Muhammadiyah,Raden Ngabehi H M Djojosoegito,saudara sepupu dari Hasyim Asy’ari (kakek dari Abdurrachman Wahid) dan Wahab Chasballah. Hasyim Asy’ari dan Wahab Chasballah yang juga bersaudara sepupu adalah pendiri NU (Nahdlatul Ulama) pada 1926.Selain dari ketua Djojosoegito terdapat nama Erfan Dahlan sebagai pengurus Ahmadiyah.
Erfan Dahlan adalah putra H Achmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) yang belajar tentang Ahmadiyah di Lahore (Herman L Beck dalam Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde, 2005: 210- 246). Sikap Muhammadiyah tegas terhadap Ahmadiyah. Pada 1925, Haji Rasul,ayah dari Buya Hamka, mengatakan bahwa Ahmadiyah menyimpang dari ajaran Islam. Pandangan yang serupa juga dikemukakan oleh sang putra ketika memimpin Majelis Ulama Indonesia. Pernyataan bahwa barangsiapa yang mempercayai nabi setelah Muhammad adalah kafir sudah dikeluarkan Muhammadiyah pada 1929. Sebelumnya bahkan disampaikan larangan bagi warga Muhammadiyah untuk mengikuti ceramah Ahmadiyah.Walaupun demikian, ada nuansa perbedaan sikap terhadap aliran Qadiyan dengan aliran Lahore.
Tidak ada penyerangan dan pembunuhan terhadap kelompok Ahmadiyah pada masa Orde Baru tentu terkait faktor keamanan yang sangat ketat.Unsur SARA dicegah menjadi konsumsi publik. Pada masa Soekarno,Ahmadiyah justru diperlakukan dengan baik. Yang menarik dicatat bahwa Soekarno ketika diasingkan Belanda di Ende, Flores pernah diisukan sebagai pendiri Ahmadiyah cabang Sulawesi. Bung Karno menolak tuduhan tersebut, dia bukan penganut Ahmadiyah dan menolak Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi. Meskipun tidak setuju dengan beberapa aspek ajaran Ahmadiyah itu, Soekarno tidak lupa memberikan apresiasi secara tulus kepada golongan ini yang dianggapkan cukup berjasa dalam mendakwahkan Islam di Eropa.
“Ahmadiyah tentu ada cacatcacatnya, dulu pernah saya terangkan di dalam surat kabar Pemandangan apa sebabnya misalnya saya tidak mau masuk Ahmadiyah, tetapi satu hal adalah nyata sebagai batu karang yang menembus air laut: Ahmadiyah adalah satu faktor penting dalam pembaruan pengertian Islam di India dan satu faktor penting di dalam propaganda Islam di benua Eropa khususnya, di kalangan intelektual seluruh dunia umumnya.” (tulisan Soekarno dalam Panji Islam pada 1940). Dalam tulisannya sebelumnya yang berjudul “Tidak Percaya Bahwa Mirza Gulam Ahmad adalah Nabi”yang ditulis dari Ende,25 November 1936, Soekarno telah mengupas kekurangan dan kelebihan Ahmadiyah itu lebih rinci. Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari uraian di atas.
Pertama, Ahmadiyah adalah organisasi keagamaan yang usianya di Tanah Air tidak jauh berbeda dengan Muhammadiyah, Syarikat Islam,dan NU.Pendiri Ahmadiyah itu bersaudara sepupu dengan pendiri NU. Sebab itu, persoalan yang timbul seyogianya diselesaikan dengan persaudaraan pula. Kedua, Muhammadiyah dari semula memiliki sikap yang jelas terhadap Ahmadiyah yakni tegas, namun tidak beringas.Di kalangan Ahmadiyah terdapat beda keyakinan antara aliran Lahore dan Qadiyan yang belakangan ini dipukul rata saja oleh para pengkritisi ajaran ini. Ketiga, sikap Muhammadiyah terhadap Ahmadiyah itu dapat disederhanakan menjadi “sepakat untuk tidak bersepakat”. Belakangan ini pemaksaan kehendak secara sepihak terlihat dari pernyataan yang menyuruh agar warga Ahmadiyah pindah agama atau menyatakan mereka tidak beragama Islam.
Bilamana hal itu dilakukan, mereka justru akan lebih sering diserang karena memiliki masjid, padahal bukan beragama Islam dan mengerjakan salat padahal beragama lain. Keempat, sikap Soekarno sebagai seorang negarawan patut dicontoh, dia mengeritik Ahmadiyah dalam kasus Mirza Gulam Ahmad, namun memuji jasa kelompok ini dalam mempropagandakan Islam di Eropa.(*)
Asvi Warman Adam
Sejarawan LIPI
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/index2.php?option=com_content&task=view&id=383284&pop=1&page=0 (Accessed 7/6/2011)
Tuesday, July 5, 2011
Muhammadiyah dan Ahmadiyah
Oleh Ahmad Khoirul Fata *
Tulisan Asvi Warman Adam Belajar dari Sejarah Ahmadiyah (JP, 24/04/08) patut dikritisi. Sebab, dalam tulisan itu, Asvi membuat kesimpulan bahwa sejak dulu Muhammadiyah tidak memiliki problem serius dengan Ahmadiyah, terutama Lahore. Resistansi Muhammadiyah baru muncul saat MUI mengeluarkan fatwa kesesatan Ahmadiyah pada 1984.
Kesimpulan tersebut tentu saja layak diperdebatkan. Beberapa literatur justru menunjukkan bahwa sikap resistan Muhammadiyah muncul jauh sebelum dekade 1980-an. Selain itu, tampaknya, Asvi hanya menyampaikan fakta sejarah yang sepenggal.
Buya HAMKA dalam buku Peladjaran Agama Islam (PAI) (terbit kali pertama pada 1956) menulis Ahmadiyah -baik Qadiani maupun Lahore- masuk ke Indonesia sejak 1920-an. Qadiani masuk melalui Tapak Tuan, kemudian ke Minangkabau pada zaman kejayaan Sumatera Thawalib di Padang Panjang sekitar 1923.
Awalnya, beberapa pelajar Sumatera Thawalib melanjutkan studi ke luar negeri. Di sana mereka secara intens dibina Qadiani hingga bisa bertemu dengan Khalifatul Masih II. Setelah dinilai matang dalam ajaran Ahmadiyah Qadiani, mereka pun disuruh pulang ke Minangkabau ditemani seorang dai Qadiani, Maulvi Rahmat Ali. Di tanah kelahirannya, mereka menggelar berbagai perdebatan tentang keyakinannya dengan ulama lokal.
Tentu saja, keyakinan menyimpang yang mereka bawa ditentang para ulama. Karena hanya memperoleh beberapa puluh pengikut di Sumatera, Rahmat Ali pindah ke Jawa dan mendapat beberapa orang pengikut. Namun, akhirnya usaha di Jawa juga mendapat tentangan keras, terutama, dari tokoh Persis, A. Hassan. Dalam sebuah perdebatan di Bandung, A. Hassan membuka semua kekeliruan Qadiani dan terbongkarlah semua kepalsuannya oleh pendebat ulung itu.
Hampir bersamaan dengan Qadiani, aliran Lahore juga hadir di Indonesia. Pada 1924, dua orang utusan Lahore datang ke Jogja, yaitu Maulana Ahmad dan Mirza Ali Ahmad Beig. Menurut HAMKA, ada dua tokoh Muhammadiyah yang mengikuti ajaran itu, yaitu M. Ngabehi Joyosugito dan M. Yunus Anis. Saat itu, belum ada sikap tegas dari Muhammadiyah atas kedua tokohnya itu.
Pada 1925, Syaikh Abdul Karim Amrullah datang ke Jogja dan sempat berdebat dengan Ahmad Beig di hadapan H Fakhruddin. Dari perdebatan itu, H Fakhruddin baru tahu bahwa Qadiani dan Lahore tidak jauh berbeda. Meski demikian, Muhammadiyah tetap belum bisa mengambil sikap tegas.
Selang dua tahun kemudian, mubalig terkenal dari India, Maulana Abdul Aleem As-Shiddiqi, datang ke Jogja dan berceramah tentang hakikat Ahmadiyah Qadiani dan Lahore. Baru setelah itu Muhammadiyah bersikap tegas dengan mengeluarkan kedua tokohnya yang terjangkit penyakit Ahmadiyah itu.
Agama Ahmadiyah
Ada satu kenyataan yang tidak disinggung Asvi dalam tulisan itu bahwa keluarnya fatwa MUI tentang kesesatan Ahmadiyah pada 1984 tidak lepas dari peran penting tokoh Muhammadiyah, yaitu Buya HAMKA yang saat itu menjabat ketua MUI.
Sikap itu sesungguhnya adalah akumulasi dari resistansi HAMKA dan Muhammadiyah terhadap Ahmadiyah. Dalam buku PAI tersebut, HAMKA secara panjang lebar membahas Ahmadiyah, mulai sejarah kemunculan, ajaran, hingga masuknya ajaran itu ke Indonesia.
Ada dua kesimpulan penting dalam buku itu; 1) lahirnya nabi palsu pada zaman modern (Mirza Ghulam Ahmad) tidak lepas dari dukungan kolonial Inggris untuk melemahkan perlawanan umat Islam. 2) Ahmadiyah lebih berbahaya daripada Bahai. Sebab, Bahai secara jantan menyatakan bahwa dirinya bukan bagian dari Islam, sedangkan Ahmadiyah tetap menempel pada Islam. Dengan status seperti itu, Kaum Ahmadi dinilai berpotensi merusak Islam dari dalam.
Karena itulah, HAMKA menulis Ahmadiyah sebagai "agama" bukan "aliran". Sebagai "agama", HAMKA melihat Ahmadiyah memiliki akidah dan syariat yang berbeda dengan Islam. Akidah Ahmadiyah berinti pada keyakinan akan kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Sedangkan syariatnya bertumpu pada upaya mengekalkan kolonialisme Inggris di India dengan menghapuskan ajaran jihad. Allahu a'lam
*. Ahmad Khoirul Fata, koordinator Jaringan KB Muda PII Jawa Timur