Oleh Ahmad Najib Burhani*
Dedicated to boosting research and scholarship on the Muhammadiyah and strengthening this movement
Thursday, January 20, 2011
Catatan Pasca Muktamar Muhammadiyah ke-45: Kemana Dien Syamsuddin Hendak Membawa Muhammadiyah?
Oleh Ahmad Najib Burhani*
Wednesday, January 19, 2011
Dien Syamsuddin, JIMM dan Radikal Islam
Oleh Ahmad Najib Burhani*
Masa Depan Liberalisme
Tidak Mengarah ke Terorisme
Tuesday, January 18, 2011
Competing in Goodness: Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama
Sunday, January 16, 2011
Ahmad Syafii Maarif: Pengarusutamaan Moderasi Islam Indonesia
Hilman Latief
Latief, Hilman. 2009. “Ahmad Syafii Maarif: Pengarusutamaan Moderasi Islam Indonesia.” In Ahmad Suaedy and Raja Juli Antoni. Para Pembaharu: Pemikiran dan Gerakan Islam Asia Tenggara. Jakarta: Seamus. Pp. 251-291
Di tengah tarik-menarik kepentingan ideologis antara dunia Timur dan Barat, sekularisme dan Radikalisme, spiritualisme dan materialism, konsep Islam moderat selalu dihadapkan pada dilemma prinsipil dan strategis. Sebagian orang boleh jadi berasumsi bahwa moderasi hanya sebuah “strategi” untuk survive, prinsip yang gamang, tidak tegas, dan cenderung kompromistis. Padahal, dalam ranah pemikiran, tidak semua hal bisa dikompromikan. Bahkan sebuah prinsip atau “cara berpikir” fundamental filosofis sejatinya tidak kompromistik., tidak seperti “logika berpolitik” yang nature-nya memang kompromistik. Di satu sisi, kelompok moderat sering dianggap terlalu lunak oleh kalangan garis keras fundamentalis, dan tidak tegas dalam bersikap menurut kelompok liberal di sisi lain. Posisi Syafii sebagai tokoh yang tak henti mengarusutamakan moderasi Islam, juga tidak lepas dari kritik. Ia kerap diasumsikan sebagai pendukung gerakan liberal karena gagasan-gagasannya tentang pluralisme dan demokrasi yang cenderung kurang ramah terhadap penggagas gerakan Islamisasi. Tidak sedikit yang sinis dan menyebutnya terlalu terbuka dan lebih dekat dengan Barat ketimbang kubu lainnya, serta cenderung sekuler. Atau, bahasa lain yang juga sering muncul di lapangan adalah, Syafii lebih mendukung eksistensi nonmuslim, lebih dekat dengan tokoh-tokoh Kristen ketimbang membela “kepentingan” umat. Gaya Syafii dalam menulis maupun berpidato yang lugas, polos dan tanpa tedeng aling-aling dengan menggunakan berbagai diksi yang bombastis dan menohok memang menjadi factor lain yang, dalam beberapa hal, menyebabkan gagasannya berujung pada sebuah resistensi. Meski demikian, kontribusi Syafii dalam mengarusutamakan moderasi Islam di Indonesia tidak dapat diabaikan, setidaknya berdasarkan beberapa poin berikut ini.
Pertama, Syafii tampil sebagai intelektual Muslim yang cukup gigih melakukan “pengarusutamaan” Islam moderat di Indonesia.
Kedua, Syafii masih meyakini bahwa Islam adalah warana dominan masyarakat Indonesia yang harus dapat menemukan kompatibilitas dengan modernitas.
Ketiga, kontribusi lainnya dapat dicermati dalam Persyarikatan Muhammadiyah, tempat Syafii mengabdi dan berdakwah.
Keempat, kehadiran Syafii membawa iklim dialog agama di kalangan pemimpin-pemimpin agama di Indonesia ke dalam situasi yang lebih intim dan harmonis.
Friday, January 14, 2011
Muhammadiyah Menembus Pluralitas
Kompas, Senin, 10 Januari 2011 | 21:08 WIB
Judul Buku : Muhammadiyah & Pluralitas Agama Di Indonesia
Penulis : Syarif Hidayatullah, M.Ag., MA.
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : xxiv + 237 halaman
Peresensi : Supriyadi*)
Muhammadiyah adalah sebuah oraganisasi masyarakat (ormas) Islam besar di Indonesia. Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada 18 November 1912. Dalam perjalanannya, Muhammadiyah telah melintasi berbagai periode dan masa di Indonesia. Sepak terjang Muhammadiyah juga telah terlihat di dalam berbagai bidang sosial masyarakat, seperti pembangunan rumah sakit, sekolah, panti asuhan, dan lain sebagainya.
Syarif Hidayatullah, M.Ag., MA dalam bukunya yang berjudul “Muhammadiyah & Pluralitas Agama Di Indonesia” memaparkan identitas Muhammadiyah sebagai organisasi masyarakat Islam yang berpengaruh di Indonesia. Ormas Islam besar di Indonesia ini telah memainkan peranannya sebagai penuntun umat Islam semenjak kelahirannya pada 1912. Dalam perjalanannya, Muhammadiyah telah tumbuh dan berkembang menjadi ormas Islam yang mampu mempertahankan eksistensinya di Indonesia.
Alwi Shihab dalam penelitian disertasinya menyimpulkan bahwa pada intinya Muhammadiyah memainkan empat peran penting yang saling tekait: pertama, sebagai gerakan pembaruan; kedua, sebagai agen perubahan sosial; ketiga, sebagai kekuatan politik; dan yang paling menonjol, keempat, sebagai pembendung paling aktif misi-misi Kristenisasi di Indonesia (hlm. 2).
Sementara itu, citra Muhammadiyah yang menonjol adalah bahwa Muhammadiyah itu adalah sebuah gerakan pembaruan yang modernis. Selain memodernisasi ajaran Islam, Muhammadiyah juga terkenal sebagai gerakan pemurnian (purifikasi). Yang dimaksud dalam pemurnian dalam hal ini adalah bahwa Muhammadiyah itu merupakan sebuah gerakan modernis yang berusaha untuk memurnikan ajaran Islam yang murni, sesuai dengan tuntunan Qur’an dan hadits.
Dalam konteks Indonesia yang memilki kemajemukan (heterogenitas) yang kaya, Muhammadiyah berdiri sebagai gerakan pemurnian yang memfilter ajaran agama Islam ketika Islam berinteraksi dengan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia. Dalam sejarahnya, sebelum Islam masuk ke nusantara, agama Hindu dan Buddha telah menjadi keyakinan masyarakat. Ketika Islam masuk, terjadilah akulturasi dan asimilasi antara ajaran Islam dengan budaya lokal yang masih sarat dengan dinamisme dan animisme.
Fenomena seperti ini melahirkan pluralitas dalam keberagamaan masyarakat. Akibatnya ajaran Islam sering kali tercampuri oleh budaya lokal yang menjadikan ajaran Islam sendiri tidak murni. Dari realitas itulah KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah sebagai wadah gerakan pemurniannya. Beliau berusaha memurnikan Islam dari apa yang biasa disebut TBC (Takhayul, Bid’ah, dan Churofat) utuk menjadi Islam yang murni seperti Islam pada zaman Nabi Muhammad saw. Pada saat itu, meskipun Islam sudah lama menjadi agama yang mayor di nusantara, Islam masih bercampur dengan tradisi dari Hindu, Buddha, keyakinan animisme, dan dinamisme. KH. Ahmad Dahlan sebagai tokoh yang beragama, tergugah hatinya guna menyelamatkan ajaran Islam di Indonesia. Beliau ingin membersihkan Islam dan umat Islam baik secara fisik maupun mental spiritual dengan memberantas tradisi-tradisi tersebut.
Sontak masyarakat Yogyakarta yang sangat kental dengan tradisi keraton, pada saat itu, banyak yang tidak menerima dakwah KH. Ahmad Dahlan. Namun demikian, beliau tetap teguh dan akhirnya, Muhammadiyah didirikan yang salah satu misinya adalah sebagai gerakan pemurnian Islam. Membaca sejarah berdirinya Muhammadiyah tersebut seakan memperingatkan kepada kita bahwa ternyata fakta pluralitas budaya di nusantara pada masa lalu ingin dipisahkan dengan ajaran Islam oleh KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dengan gerakan pemurniannya. Oleh karenanya, Muhammadiyah cenderung eksklusif terhadap budaya dan pluralitas agama di Indonesia.
Kini, pengaruh Muhammadiyah pun telah tersebar ke berbagai kawasan di Indonesia. Muhammadiyah yang sekarang pun berbeda dengan Muhammadiyah yang dulu di mana dulu Muhammadiyah masih dalam prosesnya untuk terus berkembang. Kini, Muhammadiyah telah menjadi ormas besar di Indonesia. Oleh karenanya, Muhammadiyah juga harus mampu untuk melakukan dakwah secara kultural dan peka terhadap isu-isu aktual kontemporer.
Sebuah isu aktual yang juga harus diselesaikan oleh Muhammadiyah pada era sekarang adalah pluralitas. Semenjak kelahirannya, Muhammadiyah memang sangat eksklusif terhadap keberagaman budaya karena memosisikan diri sebagai gerakan pemurnian Islam sehingga Muhammadiyah cenderung kaku terhadap pluralitas. Isu pluralitas yang kini menjadi isu aktual pun harus mendapat tempat khusus di Muhammadiyah.
Saatnya kini Muhammadiyah menembus pluralitas agama. Muhammadiyah telah belajar banyak mengingat usianya sudah hampir satu abad. Tentunya, di usia Muhammadiyah yang sudah lama tersebut, Muhammadiyah sudah banyak “makan garam”. Oleh karenanya, Muhammadiyah harus melakukan refleksi terhadap zaman sekarang dengan berbagai problematika kekinian.
Tantangan Muhammadiyah kini tidak lagi sekadar memurnikan ajaran Islam, akan tetapi juga menembus permasalahan kekinian yang dihadapi oleh umat Islam baik di Indonesia maupun di dunia. Muhammadiyah harus mampu beradaptasi dengan berbagai peliknya problematika umat yang semakin hari semakin kompleks.
Akhirnya, dengan membaca buku yang berjudul “Muhammadiyah & Pluralitas Agama Di Indonesia”, para pembaca diajak untuk melihat bagaimana sepak terjang Muhammadiyah pada masa lalu dan berefleksi dengan isu pluralitas di masa sekarang. Muhammadiyah kini harus semakin peka terhadap problematika kekinian yang semakin kompleks karena dinamika kehidupan pun semakin cepat. Kini saatnya Muhammadiyah harus berani menembus pluralitas agama di Indonesia demi kemaslahatan umat Islam yang semakin terserang oleh globalisasi.
*) Peresensi adalah Pengamat Sosial pada Yayasan Ali Maksum, Yogyakarta
http://oase.kompas.com/read/2011/01/10/21084276/Muhammadiyah.Menembus.Pluralitas-3
Saturday, January 8, 2011
Women of Muhammadiyah
Doorn-Harder, Pieternella van. 2006. Women shaping Islam: Indonesian women reading the Qur'an. Urbana: University of Illinois Press.
Studying the women’s efforts, one readily concludes that they have had an enormous impact on Indonesian society. During the past two decades, Indonesian allegiances have shifted to a middle ground: Muslim believers are less interested in traditionalist Fiqh-based reasoning and have little patience for extended Javanese rituals, but the somewhat rigid Muhammadiyah patterns are not entirely acceptable either. In this middle ground, some students have become interested in the Islam Baru groups, and others study Sufism, but the majority is simply traying to be more conscientious in practicing their religion, fasting regularly, reading the Qur’an, and learning about Islam. During this process of renewed Islamization, `Aisyiyah preachers were ready, preaching, teaching, and providing Islamic alternatives for the indigenous rites of passage in the life cycles of women and children. At birth, `Aisyiyah midwives knew the correct religious formulas to whisper in the baby’s ears; at death its leaders prepared a woman’s body properly for burial. They performed the rituals in simple, economical ways that saved time and money, precious commodities in Indonesia, now and in the past. The upshot was that women gained understanding of the Islamic rituals and principles without having to delve into the time-consuming practices traditionalists followed….
`Aisyiyah women live their lives at the fault lines of interpretation about what it means to be a “good Muslim woman.” While trying to strengthen a woman’s position, they espouse the view that women complement men. With this primary tenet in mind, its programs make sense. Women working side-by-side with men can bring about the true Islamic nation. But the togetherness has its limits. Women can and do help build hospitals, elementary schools, and universities; but when directors of such programs are chosen, they have to stay in their own quarters with the clinics, preschools, and nursing colleges. They addressed the plight of women via the harmonious family model but had to perform hermeneutic acrobatics to create a spouse who complements her husband, yet is equal in some sense.
This lack of consistency does not go down well with younger feminists, male and female, so we see a storm of criticism over the family program. In their indignation, many of its critics forget the benefits the harmonious family has brought to thousands of women. Paradoxically, the criticism is a sign of `Aisyiyah’s success: it impresses on women the importance of knowing the Islamic sources that define their role and position. Students of the sources took them to a higher level; now they not only read the texts but reread them as well. And while rereading, they demand clear answers to their questions about gender, not unclear reformist talk that dodges the difficult points (pp. 127-9)
Chapter on "Women of Muhammadiyah" pp. 87-130
Wednesday, January 5, 2011
The Reformist Ideology of Muhammadiyah
Nakamura, Mitsuo. 1980. "The Reformist Ideology of Muhammadiyah." in Fox, James J. Indonesia, the making of a culture. Indonesia, Australian perspectives, v. 1. Canberra: Research School of Pacific Studies, Australian National University. pp. 273-86.
Muhammadiyah in Indonesia today is a highly visible, religious, educational and social movement based upon the teachings of Islam. In almost every urban community of the country buildings are found bearing the sign of Muhammadiyah: mosques and prayer houses, schools and kindegardens, clinics and hospitals, orphanages and poorhouses, offices and meeting halls. There are a number of well-known Muhammadiyah members working in politics, business, mass media, academia, and arts and culture. Muhammadiyah occupy an important part in the social, cultural and spiritual life of contemporary Indonesia.
This paper discusses the Muhammadiyah movement with an emphasis on its ideology. Efforts are made to delineate major features of Muhammadiyah's ideology; how it has been expressed in the fields of belief, ritual, education, social welfare activities, and politics of the movement; how it has interacted with historical reality; and what impact it has had on Indonesian society. A brief speculation on the future of Muhammadiyah concludes this paper.
At the outset it seems necessary to qualify the term 'reformist' in its application to the Muhammadiyah movement. In Muslim perception, Islam rejects any reform in its tenets. The truth of the teachings of Allah, revealed to His messenger Muhammad in the words of the Koran and exemplified by his deeds and sayings, the Hadith, has eternal validity. The members of Muhammadiyah, like those many other pious Muslim movements, strive to live up to the teachings of Allah in contemporary social conditions and to adapt their lives accordingly. It never occurs to Muhammadiyah that Islam be reformed or modernized. But it is true that its efforts towards strict adherence to the teachings of Islam have often eventuated in a number of reforms and innovations in individual and collective human conduct as well as in social institutions. However, even in such cases, the intention of Muhammadiyah has not been social reform per se. Rather, social or institutional reform has been an expression of religious devotion in the social dimension, or a means to achieve a religious goal. Therefore, what is intended by the title of this paper is the religious ideology of Muhammadiyah and social reforms derived therefrom.